Beranda Daerah Apa Kriteria Pemberian ‘Gelar Adat’ di Papua ?

Apa Kriteria Pemberian ‘Gelar Adat’ di Papua ?

2020
0
Felix Degei (Foto:Dok Pribadi)

Oleh  Felix Degei*

 Di Tanah Papua belakangan ini sering dikagetkan dengan acara pemberian ataupun pengukuhan ‘gelar adat’ yang dilakukan oleh beberapa suku asli dengan mudah dan cuma-cuma. Misalnya pengukuhan sebagai ‘Anak Adat’, ‘Kepala Suku Adat’ hingga ‘Kepala Suku Besar.’  Hal yang sedikit aneh tapi nyata, ada beberapa figur yang dinobatkan notabene bukan sebagai putra asli Tanah Papua.

Dua contoh yang baru saja dilaksanakan adalah pengukuhan kepada Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit dikukuhkan sebagai ‘Kepala Suku Besar’ Papua (29/09/2018) dan Tommy Soeharto dikukuhkan sebagai ‘Anak Adat’ Sentani (11/12/2018).

Pertama, Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit dikukuhkan sebagai Kepala Suku Besar Papua di Kampung Kimbim, Distrik Kimbim Kabupaten Puncak Jaya (26/09/2018). Pengukuhan tersebut dipimpin langsung oleh Kepala Suku Besar Silo Alex Doga atas nama kurang lebih 40 Kepala Suku dari Pegunungan Tengah Papua termasuk beberapa orang perwakilan dari pesisir. Acara tersebut menjadi lebih spesial karena dilakukan dengan penyematan mahkota kepala suku besar dan disaksikan langsung oleh Wakil Bupati Kabupaten Jayawijaya John Richard Banuwa, Danrem 172/PWY Kolonel Inf J. Binsar Parluhutan Sianipar, Para Pejabat Asisten Kasdam XVII/Cenderawasih dan jajaran Dandim wilayah Kodam XVII/Cenderawasih (kabarpapua.co).

Kedua, Tommy Soeharto dikukuhkan sebagai Anak Adat Sentani (11/12/2018). Pengukuhan tersebut dilakukan oleh Abhu Afaa mewakili tiga wilayah adat di Sentani yakni Simporo, Babrongko dan Yoboi. Acara pengukuhan tersebut ditandai dengan penggalungan tas (Noken Papua). Upacara tersebut turut dihadiri oleh utusan masyarakat adat dan tamu undangan. Beberapa tamu undangan yang hadir antara lain tokoh adat dan Pengurus Partai Berkarya Provinsi Papua dan Kabupaten Jayapura seperti Pungky Sukmawati yang juga sebagai Sekertaris Bappilu Papua. “Menurut Adat Sentani, siapa saja seseorang yang diangkat menjadi keluarga adalah sah apalagi pengukuhan dilakukan dengan cara penggalungan tas (Noken) oleh Abhu Afaa” ujar Demas Tokoro (lintaspapua.com).

Menyimak kedua acara pengukuhan di atas, tidak sedikit netizen yang berkomentar via berbagai media sosial seperti facebook, WhatsApp, Twitter hingga Instagram. Mereka pada umumnya menanyakan: Bagaimana bisa seorang yang notabene bukan putra asli setempat diberikan penghargaan bahkan dinobatkan sebagai ‘Anak Adat’ juga ‘Kepala Suku Besar’ (how come)?

Sehingga tulisan ini hendak mengulas tentang betapa pentingnya pemberian ataupun pengukuhan nama gelar bagi seseorang. Penjelasannya akan lebih berfokus pada hal-hal yang lazim diperhatikan sebelum seseorang dikukuhkan dengan gelar ataupun nama baru sesuai konteks. Harapannya agar ulasan ini dapat membuka paradigma berpikir bahwa pemberian nama ataupun gelar adalah sesuatu yang tidak serta merta diberikan ataupun diterima oleh seseorang. Akan tetapi ia melalui sebuah proses perjuangan yang panjang hingga memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Ada dua contoh model penamaan yang akan dibahas dalam tulisan ini secara khusus yakni dari dunia akademik (pendidikan) dan dunia keagamaan secara khusus dalam Ajaran Agama Katolik (religi). Dalam dunia akademik maupun keagamaan pengukuhan tersebut ditandai dengan pemberian gelar. Misalnya Gelar Doktor Honoris Causa (DR H.C), Guru Besar (Profesor) dalam bidang akademik dan Santo (Sta) atau Santo (St) dalam Agama Katolik. Keduanya diberikan kepada pribadi yang telah memenuhi kriteria yang yang ditentukan ataupun memiliki prestasi yang luar biasa (outstanding achievement).

Pertama: Pengukuhan dalam Bidang Akademik (Pendidikan)

Dalam dunia akademik (pendidikan) ada dua jenis pengukuhan yang lazim diberikan oleh pihak kampus atau universitas kepada orang yang ternominasi. Mereka yang terpilih untuk dikukuhkan harus memenuhi standar minimal yang telah ditentukan oleh pihak institusi kampus ternama. Kedua jenis pengukuhan tersebut antara lain penyematan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa – DR H.C) dan penganugrahan status Guru Besar (Prof – Profesor).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 21/2013, gelar Doktor Kehormatan (DR. H.C) diberikan oleh perguruan tinggi kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial, budaya, dan atau berjasa dalam bidang kemanusiaan dan atau kemasyarakatan. Hal ini berarti bahwa yang bersangkutan tidak harus melalui pendidikan formal Strata Satu, Dua hingga Tiga. Akan tetapi, pihak kampus menilainya atas dasar jasa dan karya luar biasa yang telah dilakukan oleh pribadi penyandang Gelar Doktor Kehormatan tersebut demi kemaslahatan bagi orang banyak.

Sementara, gelar Guru Besar (profesor) harus melalui jenjang karir profesional dosen mulai dari Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala hingga Guru Besar (Profesor). Selain itu, mereka juga harus mengumpulkan angka kredit (Kum) sesuai pangkat dan golongan. Berdasarkan Permenpan 46/2013 (pasal 26 ayat 3) seorang yang hendak dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) harus memenuhi empat syarat: berijazah doktor atau sederajat, memiliki masa paling singkat 3 tahun setelah memiliki gelar doktor, memiliki karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi dan memiliki pengalaman kerja sebagai dosen minimal 10 tahun.

Singkat kata pengukuhan gelar dalam bidang akademik (pendidikan) memiliki beberapa ketentuan yang prinsipal. Sehingga siapa yang dianugrahi gelar hanya karena ia telah memenuhi syarat untuk menyandang status tersebut. Entah itu berupa gelar Doktor Kehormatan (DR H.C) ataupun Guru Besar (Profesor).

Kedua: Pengukuhan dalam Bidang Keagamaan (Religi)

Di bidang keagamaan terlebih khusus dalam Ajaran Agama Katolik juga memiliki tradisi pengukuhan nama secara resmi dengan sebutan Santo untuk Pria dan Santo untuk wanita. Namun, untuk pemberian nama tersebut harus melalui proses yang panjang dan lama yang disebut dengan istilah Kanonisasi. Istilah tersebut berasal dari Bahasa Latin ‘Kanon’ yang artinya hukum atau daftar. Sehingga dalam konteks pengukuhan istilah tersebut menunjuk pada sesuatu atau seseorang yang dijadikan contoh tetap bagi yang lain.

Ketika ada Umat Katolik yang hidupnya mengamalkan dengan keutamaan-keutamaan yang gagah berani bagi banyak orang maka yang bersangkutan akan dimaklumkan sebagai ‘Venerabilis’. Selanjutnya, ia akan dibeatifikasi dan dimaklumkan sebagai ‘beato’ untuk pria dan ‘beata’ untuk wanita sesuai dengan keutamaan kemartiran itu sendiri. Setelah beatifikasi, suatu mukjizat lain masih diperlukan untuk kanonisasi dan memaklumkan secara resmi sebagai seorang Santo (St) atau Santa (Sta) sesuai Ajaran Agama Katolik.

Intinya pengukuhan dalam konteks Ajaran Agama Katolik terutama untuk dinobatkan sebagai Santo ataupun Santo juga membutuhkan waktu yang sangat lama melalui prosedural yang super ketat. Selain harus memenuhi standar-standar prinsipal yang telah ditetapkan oleh gereja.

Kedua contoh pemberian gelar atau nama dari dua konteks berbeda di atas sengaja dibahas guna membangun kesadaran bahwa penganugrahan nama bukanlah sesuatu yang mudah dan serta-merta. Akan tetapi, hal tersebut membutuhkan waktu, tenaga, biaya yang banyak dan lama guna memenuhi ketentuan-ketentuan prinsipal yang telah ada. Pada hakekatnya pemberian nama dilakukan sebagai penghargaan atas capaian kerja keras ataupun pengorbanan dari seseorang untuk kemaslahatan orang banyak.

Dalam konteks pendidikan, seseorang diberikan gelar Doktor Honoris Causa (DR H.C) ataupun Guru Besar (Profesor) karena yang bersangkutan telah memenuhi standar minimal dalam kelayakan memperoleh status tersebut. Misalnya, melalui implementasi nilai dari ‘Tri Dharma Perguruan Tinggi’ Pendidikan Pengajaran, Penelitian Pengembangan dan Pengabdian Pada Masyarakat.  Selain penyelesaian pendidikan formal Strata 1, 2 dan 3 untuk Guru Besar (Profesor). Hal senada juga dalam konteks Ajaran Agama Katolik, seseorang dikukuhkan sebagai Santo (St) ataupun Santa (Sta) ketika hidupnya mengamalkan bagi banyak orang dengan gagah berani. Namun dalam penobatannya membutuhkan waktu yang lama karena harus melalui proses yang panjang hingga menunggu mujizat campur tangan Tuhan sendiri.

Jika kita berkaca pada kedua konteks di atas, maka sangatlah jelas bahwa pengukuhan ataupun pemberian gelar harus didasarkan pada beberapa hal prinsipal. Terlebih khusus pada proses dan hasil yang dicapai oleh individu yang bersangkutan. Lalu muncul pertanyaan: Bagaimana dengan konteks pemberian atau pengukuhan ‘gelar adat’ yang belakangan ramai di Tanah Papua? Apakah setiap mereka yang dinobatkan dengan ‘gelar adat’ itu telah berkarya dan berjasa demi kemanusiaan dan kemasyarakatan khusus bagi Orang Asli Papua (OAP)? Sehingga akhirnya harus disebut ‘Anak Adat’, ‘Kepala Suku Adat’ hingga ‘Kepala Suku Besar’.

Inilah rumusan pertanyaan refleksi yang krusial bagi setiap Orang Asli Papua (OAP) agar kita tidak dikata terlalu gampang dan murahan menggadai adat dan budaya. Kata orang bijak ‘budaya’ adalah jati diri sebuah bangsa.      

Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hendak mengutip salah satu komentar dari netizen pada media jejaring sosial facebook:

“Segenap Orang Asli Papua (OAP) sudah cukup Anda telah jual tanah dan dusun dengan harga yang murahan. Stop jual adat dan budaya Anda dengan murah meriah karena itulah harga dirimu juga anak cucumu kelak.”Anonim.

*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Asli Tanah Papua yang sedang Kuliah pada Jurusan Master of Education di The University of Adelaide Australia Selatan.