Beranda Daerah EFEK PELANGGARAN HAM DAN SOLUSI ”Catatan Hari HAM Sedunia 2018”

EFEK PELANGGARAN HAM DAN SOLUSI ”Catatan Hari HAM Sedunia 2018”

1335
0
Oleh : John NR Gobai

Pengantar
Dalam pengalaman bernegara, masyarakat papua telah mengalami berbagai kekerasan di berbagai daerah di Tanah Papua, karena pendekatan militeristik yang digunakan selama orde baru dalam berbagai bidang baik politik, pemerintahan dan keamanan. Kekerasan yang dirasakan oleh masyarakat papua selama ini, selalu dipendam saja, ada juga yang kecewa, bentuk kekecewaannya adalah masuk hutan, melarikan diri ke negara tetangga yang adalah serumpun yaitu Papua New Guinea, Vanuatu, Fiji,dll. Masyarakat Papua lebih banyak yang memilih bertahan dan tinggal di Tanah Papua.
Masyarakat Papua yang lainnya dengan matanya sendiri menyaksikan dan merasakan kekerasan baik fisik maupun non fisik, sehingga telah menjadi memoria passionis.

Berawal dengan UU No 12 Tahun 1969
Pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua semakin eksis terjadi dan gampang dilakukan oleh aparat keamanan sejak 1969 hingga dewasa ini diakibatkan karena lahirnya Undang Undang Nomor 12 Tahun 1969 yang di dalam penjelasannya, aantara lain disebutkan : ….”Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat (Act of Free Choice) yang dilakukan melalui Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat sebagai manifestasi aspirasi rakyat telah terlaksana dan hasilnya menunjukkan dengan positif bahwa rakyat di Irian Barat berdasarkan rasa kesadarannya yang penuh, rasa kesatuan dan rasa persatuannya dengan rakyat di Daerah-daerah lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kepercayaan kepada Republik Indonesia, telah menentukan dengan mutlak bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ….”
Statement tersebut diatas inilah yang hingga dewasa ini berubah wujud menjadi slogan NKRI Harga Mati, sehingga setiap langkah-langkah politik yang dilakukan oleh rakyat Papua dalam bentuk penyampaian aspirasi politik secara damai, senantiasa dihadapi oleh Negara dengan mengandalkan anasir-anasir kekerasan yang diperani oleh aparat keamanan dari TNI dan POLRI. Sehingga ekskalasi pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua senantiasa meningkat dari waktu ke waktu hingga dewasa ini, yang sesungguhnya sudah dimulai sejak 1 Mei 1962 dan tahun 1969.

Otsus Papua dan HAM
semenjak lahirnya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang di dalam konsideran menimbang huruf f disebutkan : …”bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya menampakkan Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua…”
Diakomodirnya keinginan luhur Negara di dalam pasal 43 dan pasal 44 mengenai Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dan pasal 45 hingga Pasal 47 mengenai Hak Asasi Manusia ternyata dalam prakteknya tidak serta merta menjadi landasan yang cukup kuat dalam mendorong Negara untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik yang terjadi di masa lalu (1963-2000) maupun yang terjadi dan terus terjadi sepanjang kebijakan otonomi khusus berlaku semenjak tahun 2001 hingga dewasa ini.
Sangat ironis karena meskipun Negara Republik Indonesia sendiri sudah memiliki Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) serta Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sebagi instrument hukum yang penting dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia.
Namun demikian khususnya bagi Tanah Papua, Pemerintah Indonesia tidak pernah memiliki kemauan politik (political will) yang sungguh dan jelas di dalam menyelesaikan berbagai tindakan dan perbuatan yang jelas-jelas masuk dalam kategori Pelanggaran HAM Berat sebagaimana diatur di dalam pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Contohnya; Kasus Paniai Berdarah, 8 Desember 2014 yang menewaskan 4 (empat) orang pelajar SMA di Enarotali, hingga hari ini belum ada penyelesaian secara hukum, meskipun Negara ini telah memiliki institusi yang berwenang secara hukum maupun aturan yang memadai untuk digunakan dalam menyeret pelakunya ke depan pengadilan yang bebas dan adil.

Dampak Siklus kekerasan
Kekerasan jika dibalas kekerasan hanya akan menghasilkan dendaman, dendaman hanya akan menghasilkan kekerasan baru, jika kekerasan itu bertahan terus maka akan timbul rasa untuk ingin berlalu dan pergi jauh dari kenyataan hidup itu. Jika kekerasan itu terjadi dalam sebuah keluarga maka, kekerasan hanya akan menghasilkan
kekerasan dan sakit hati yang pada akhirnya salah satu pihak pergi dari kehidupan keluarga, akan menjadi pilihan terakhir.
Sehingga saya harus katakan Kekerasan demi kekerasan telah menanamkan, menumbuhkan Jika itu kekerasan dilakukan oleh Negara melalui oknum aparat dengan menggunakan alat negara terhadap rakyat papua, telah menamkan kebencian rakyat papua, ditambah lagi dengan praktek impunitas terhadap oknum pelaku maka karena Pelanggaran HAM itu masyarkat papua meminta pengakuan atas kemerdekaan sebagai sebuah Negara yang pernah ada pada tahun 1961.

Solusi
Jika pemerintah belum bisa memberikan pengakuan Negara papua maka,Presiden Jokowi harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) atau melakukan amandemen terhadap UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam Perpu itu atau amandemen UU itu hal pokok yang mestinya masuk adalah atau tersurat adalah sebagai implementasi hal yang mendasar dari UU No 21 Tahun 2001. Klausul yang mesti ditetapkan adalah; Di Tanah Papua dibentuk Komisi HAM Papua yang punya kewenangan yang sama dengan Komnas HAM RI, bukan perwakilan Komnas HAM RI Perwakilan Papua; Dibentuk Pengadilan HAM, sehingga mesti ada pasal yang mengatur secara khusus dalam UU No 26 Tahun 2000 dan mengacu kepada UU No 21 Tahun 200, diibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Hal ini perlu dilaksanakan dengan norma hukum Lex spesialis, apalagi dalam UU No 21 Tahun 2001 telah tersurat pembentukan Pengadilan HAM dan KKR.

Penulis Adalah Sekretaris II Dewan Adat Papua dan Juga Menjabat sebagai Ketua Dewan Adat Kabupaten Paniai