Beranda News Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Papua

Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Papua

802
0
Menteri PPPA RI, Yohanna Susana Yembise,ketika membuka resmi kegiatan jumpa tokoh adat di wilayah mee-pago (07/06/2018), berlangsung di hotel Mahavira Nabire (Foto:Dree/PapuaLives)

Nabire,  Provinsi Papua “Tanah itu ibu, laut dan hutan adalah susu ibu yang menghidupi bumi Papua.” Begitulah ungkapan masyarakat Papua untuk menggambarkan sosok perempuan yang dianggap istimewa dalam kehidupan sosial karena mereka adalah sumber kehidupan bagi masyarakat. Namun demikian, sejumlah fakta menunjukkan kualitas hidup dan perlindungan terhadap berbagai bentuk kekerasan perempuan dan anak di Papua dinilai masih perlu ditingkatkan.

“Otonomi khusus untuk Provinsi Papua (UU No 21 Tahun 2001) dan Provinsi Papua Barat (UU No 35 Tahun 2008) memberikan perhatian khusus pada tiga hal, yakni masyarakat adat, agama, dan perempuan. UU tersebut juga mengamanatkan pada keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang asli Papua.

Hal ini menjadi penting sebagai landasan pemerintah dan seluruh stakeholder untuk mengupayakan peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak di Papua,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise (07/06/2018) Kamis, dalam acara Temu Dengar Pendapat tentang Perempuan dan Anak dengan Tokoh Adat Papua dan Lembaga Masyarakat di Kabupaten Nabire, Papua.

Di Provinsi Papua, adat, dan agama merupakan institusi sekaligus aktor yang memiliki peran penting untuk mendorong pembangunan dan pemberdayaan orang Papua. Hal tersebut karena kedua institusi ini melebur dalam struktur kehidupan masyarakat di Pulau Papua. Kepatuhan masyarakat terhadap adat dan agama memberikan keuntungan tersendiri, dimana adat dan agama dapat ditransformasikan sebagai institusi yang memiliki fungsi kontrol kehidupan sosial masyarakat di Papua. Namun dalam konteks pemberdayaan perempuan, keberadaan struktur adat dan agama di masyarakat pesisir Papua tidak memberikan posisi tawar (bargaining position) bagi perempuan. Relasi dan ikatan patriarki yang begitu dominan berlaku di masyarakat pesisir Papua menyebabkan posisi perempuan kerap terdominasi dalam struktur adat maupun agama.

Guna menyikapi kompleksnya permasalahan perempuan dan anak, maka Kemen PPPA telah menetapkan prioritas pembangunan untuk mengakhiri 3 hal yang disebut Three Ends, yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan orang, dan akhiri ketidakadilan akses ekonomi terhadap perempuan. “Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menangani permasalahan perempuan dan anak, terutama yang terjadi di sekitar kita. Kemen PPPA tentu sangat membutuhkan dukungan dan keterlibatan seluruh komponen masyarakat, termasuk tokoh adat, agama, dan lembaga masyarakat sesuai fungsi, kapasitas, dan keahlian mereka di wilayah masing-masing,” tambah Menteri Yohana.

Menteri Yohana menyayangkan, meski tokoh masyarakat, adat, dan agama di Papua telah banyak yang memiliki kepedulian dan melakukan sesuatu yang berharga bagi perempuan dan anak, namun masih sedikit dari mereka yang bekerja secara kolaboratif dan bersinergi antar lembaga masyarakat. Yohana meyakini jika kita dapat menghimpun segala potensi dan menggerakkan tokoh masyarakat, adat, dan agama yang memiliki kepedulian terhadap isu perempuan dan anak untuk bekerja secara kolaboratif dan bersinergi, maka akan memberikan kekuatan yang luar biasa dalam upaya mewujudkan perempuan dan anak yang sejahtera.

“Pertemuan tokoh adat, agama, dan lembaga masyarakat Provinsi Papua ini menjadi sangat strategis karena dapat membangun komitmen, menyamakan persepsi, dan menggugah kepedulian mereka tentang berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak. Komitmen yang sudah terbangun dan persepsi yang sama dalam menyikapi permasalahan tersebut akan menjadi bekal berharga untuk berkolaborasi dan bersinergi, baik dengan pemerintah pusat dan daerah, maupun sinergi antara tokoh adat, agama, dan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan perempuan dan anak di Papua,” tutup Menteri Yohana.

Dree