Beranda News Nonton Bareng dan Diskusi Film “Cenderawasih di Jantung Kota”

Nonton Bareng dan Diskusi Film “Cenderawasih di Jantung Kota”

903
0
Saat Nonton Bareng Film Cenderawasih di Jantung Kota bertempat di Sekretariat Vox Point,Jayapura (Foto:Weyambur/PapuaLives)

Jayapura, Komunitas Riyana Waena dan Komunitas Papeda (Papua Pecandu Damai) mengelar sebuah acara nonton dan diskusi film dokumenter berjudul ” Cenderawasih di Jantung Kota” menceritakan tentang pencarian identitas diri sekelompok anak muda di kota Jayapura. Acara yang berlangsung pada Sabtu, (13/04/2019) di sekretariat Vox Point Papua dihadiri kurang lebih dua puluh peserta.

Film ini disutradarai oleh Yosef Levi dan Stef Abraw, merupakan sebuah Film dokumenter pertama tahun 2019 yang diproduksi oleh Komunitas Riyana. Sebelumnya, komunitas Riyana juga telah memproduksi beberapa Film dokumenter  lainnya dengan berbagai tema seperti pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Yosef Levi Koordinator Riyana Waena dan Juga Sutrada Film ini mengucapkan terimakasih kepada Vox Point Papua yang telah memberi ruang untuk acara nonton dan diskusi. Bahkan mulai bulan Mei nanti, secretariat Vox Point Papua diagendakan menjadi tempat nonton dan diskusi film yang akan diinisiasi oleh Riyana Waena dan Vox Point Papua.

” Terkait Film Cenderawasih di Jantung Kota, kami tidak melihat perjalanan si tokoh dari sisi moral. Penilaian moral hanya akan membagi manusia dalam dua kategori, baik dan buruk. Padahal, pilihan hidup yang kemudian oleh masyarakat dinilai baik atau buruk dilatari oleh berbagai faktor. Cenderawasih di Jantung Kota lebih menyoroti latarbelakang seseorang memilih jalan hidupnya lewat tokoh Desi. Desi adalah seorang perempuan yang menghadapi perubahan dengan penuh ketegangan. Dia ingin hidup bebas, memiliki banyak teman, dan bersenang-senang dengan teman-temannya. ” Kata Yosep.

Lanjutnya,untuk mecapai segala keinginannya ia terpaksa memilih jalan menjadi perempuan panggilan. Ia kemudian menemukan pendamping hidup dan berusaha meninggalkan masa lalunya. Akan tetapi hubungan mereka yang dikarunia dua orang anak kandas, kekasihnya selingkuh dengan perempuan lain. Ia kemudian memilih jalan hidup sebagaimana ia belum berkenalan dengan kekasihnya.

” Jadi ada banyak faktor yang melatari seseorang mengambil sebuah pilihan hidup, termasuk menjadi perempuan panggilan.”tuturnya.

Suasana Diskusi Film Cenderawasih di Jantung Kota bertempat di Sekretariat Vox Point, Jayapura – Papua (Foto: Weyambur/PapuaLives)

Dalam Kesempatan itu, Tokoh Utama Film ini Desi,  yang juga turut hadir dalam diskusi mengatakan bahwa ia memberanikan diri untuk difilmkan supaya masyarakat lebih bijak dan rasional menilai pilihan hidup seseorang.

” Tidak seorang perempuan pun, ingin menjadi perempuan panggilan. tetapi situasi dan kondisi bisa merubah seseorang untuk memilih jalan tersebut. ” Ungkap Desi yang juga pimpinan Komunitas Papeda juga konsen di komunitas Papeda Sebuah Komunitas yang bergerak di bidang HIV Aids dan Narkoba.

Terkait Film, Ibu Grace Makanuay, salah satu peserta diskusi mengatakan  bahwa bentuk Filmnya agak berbeda dari Film yang pernah ia tonton, termasuk Film tentang dirinya. Film ini lebih mengantar penonton untuk berpikir. Misalnya suara landing pesawat tanpa didukung oleh gambar pesawat sehingga penonton sendirilah yang berpikir bahwa dalam situasi yang sama dengan aktivitas si tokoh, ada pesawat yang mendarat di tempat lain.

” ada beberapa hal yang belum banyak ditampilkan di Film yakni keceriaan tokoh utama dan teman-temannya. Karena tokoh-tokoh tersebut yang ia kenal sangat ceria. Bahkan ada beberapa gambar kesannya ada jarak antara pembuat Film dengan si tokoh.” kesannya tentang Film ini.

Firmus Martins selaku moderator Diskusi Film juga tidak ketinggalan memberi komentar Ia menafsirkan judul dengan visual ranting pohon. Mendengar nama cenderawasih berarti bayangan orang adalah burung yang indah, hidup di hutan, bukan di jantung kota.

” Judul Cenderawasih di Jantung Kota dengan visual ranting pohon tanpa dedaunan seakan memberi isyarat bahwa cenderawasih telah kehilangan tempat bermain. Ia menghadapi tantangan baru dan memaksa dia untuk berubah wujud demi mempertahankan hidup.”tafsir Primus.

Menanggapi itu, Yosef Levi  Sutradara Film menjelaskan bahwa  Film ini berusaha menangkap kehidupan Desi secara keseluruhan dengan segala macam drama kehidupannya yang tentunya tidak bisa ditampilkan secara detail. Setidaknya lewat Film dengan durasi 36 menit kita bisa mengetahui problem yang ia hadapi.

” Film ini juga mencoba memberikan nuansa baru bagi Film dokumenter di Papua, misalnya eksperimen suara. Suara-suara seperti bunyi mesin dan klakson kapal, suara pesawat landing, takeoff tanpa didukung oleh visual yang sama sengaja dibuat agar penonton berpikir sendiri. Misalnya bunyi lonceng gereja menunjukan bahwa Jayapura sebagai kota yang sangat kental dengan ritual keagamaan. Bunyi kapal menunjukan Jayapura sebagai kota pelabuhan. Begitu juga dengan bunyi suara pesawat.”kata Yosep yang juga menjadi Finalis Eagle Awards 2018 lewat Film dokumenter Menabur Benih di Lumpur Asmat

Yosep Levi Finalis Eagle Awards 2018 itu menjelaskan juga bahwa ketersediaan sarana transportasi laut, udara membuat akses ke kota Jayapura mudah dijangkau. Khusus bunyi pesawat, boleh dikatakan sebagai tokoh abstrak yang memiliki hubungan dengan si tokoh utama, Desi.

” Itulah sebabnya bunyi pesawat berulangkali dimunculkan, baik takeoff maupun landing. Sedangkan gambar yang diambil dari jarak jauh, dikarenakan oleh teman cerita si tokoh utama tidak ingin diambil gambarnya.” jelasnya kepada peserta diskusi.

Redaksi