Beranda Daerah Panggilan Hidup Seorang Filosof Papua

Panggilan Hidup Seorang Filosof Papua

1491
0
Buku Berpikir Filosof (Foto:Istimewa)

(Sebuah Refleksi atas Filsafat Perdamaian Berkontekstual Papua)

Oleh: Novilus K. Ningdana

Pada hakikatnya setiap orang memiliki panggilan hidup. Bahkan sejak dalamproses pembentukan kita pun dipanggil. Panggilan tidak terlepas dari tugas yang diberikan oleh seseorang yakni Tuhan, sesama dan realitas. Tugas ini harus dipertanggungjawabkan dalam seluruh eksistensi diri hingga akhir hidup. Namun manusia memiliki bentuk-bentuk panggilan yang berbeda.

 Ada yang hidup sebagai filosof, kepala keluarga, dosen, biarawan, dan lain-lain. Tugas-tugas panggilan menjadikan hidup kita berarti dan bermakna.

Hidup seorang filosof merupakan kehidupan yang diwarnai dengan berfilsafat. Berfilsafat berarti proses menjadikan hidup lebih bermakna. Karena hidup aktual ini sekali saja maka seorang filosof mengembangkan dirinya dalam bidang ilmu, iman dan moral secara bersamaan sehingga ia menjadi pencinta hidup. Seorang filosof merupakan orang yang mencintai kebijaksanaan. Kebijaksaan yang dimaksud ialah kebijaksanaan dalam membangun hidup dalam tiga pilar dasar yakni ilmu, iman dan moral. Sang filosof memiliki ilmu yang cukup untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran filosofisnya dalam berbagai dinamika kehidupan. Tempat untuk menimbah dan mengembangkan ide ialah pendidikan dan dihasilkan dalam karya-karya ilmiah.

Kualitas hidup manusia bukan diukur dari pencapaian jabatan, gelar dan kekayaan melainkan konsisten untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Filsuf Aristoteles telah terlibat di tengah masyarakat unutk mewujudkan segala potensi diri dan berbagai keutamaan manusiawi. Sang filosof memiliki iman. Iman akan prinsip tertinggi. Ia sadar akan keterbatasannya sebagai manusia aktual. Ia sadar pula bahwa kebijaksanaan yang dimiliki merupakan bagian kecil dari kebijaksanaan absolut. Dan juga sang filosof memiliki moral. Moral hidup berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat sebagai medan untuk mewujudkan moralitas manusia dan menemukan serta memperjuangkan panggilan dan makna hidup demi tercapainya hidup damai dan bahagia. Sang filosof menjadi pribadi yang bermakna karena secara konsiten berjuang agar hidupnya memancarkan kebaikan bagi sesama. Saya optimis bahwa sang filosof sebagai pencari kebijaksanaan mentransformasikan dan mengaktualisasikan tiga pila ini maka kebahagiaan dan perdamaian akan tercapai dalam kehidupan nyata walaupun tidak sesempurna mungkin.

Ketika kita merefleksikan perdamaian kita dihadapkan dengan kenyataan ketegangan yang aktual. Di sisi lain perdamaian itu sunggu nyata. Dalam praktis hidup dialaminya dalam keluarga dan relasi dengan sahabat-sahabat serta dengan alam dan Tuhan. Namun di pihak lain perdamaina mendapat ancaman, dianiaya dan sedang tercerai-berai oleh manusai sendiri. Maka kekerasan merupakan objek konkrit yang mengkikis proses untuk menegakan perdamaian dan martabat hidup manusia. Dinamika hidup yang diwarnai kekerasan ini mau membuka jalan untuk seseorang menemukan jawaban tentang asal usul kekerasan dan panggilan hidupnya. Dia menemukan bahwa kekerasan berasal dari dalam kehidupan manusia di dalam hidup bersama. Dan ia menemukan panggilan hidup karena ia menjadi korban kekerasan itu sendiri. Panggilan hidup ini mau diperjuangkan dengan tujuan agar terbebas dari kekerasan dan menemukan perdamaian dan kebahagiaan hidup.

Berfilsafat merupakan proses dan perjalanan pembebasan manusia dari kekerasan. Ini menjadi salah satu jalan dan kemungkinan pilihan manusia. Manusia bisa dan tidak memilih berfilsafat. Jika seseorang memilih jalan berfilsafat maka ia menjadi filosof, sang pecinta kebijaksanaan. Seorang filosof adalah orang biasa yang menyadari dan melaksanakan tanggungjawabnya untuk membangun hidup bersama yang damai. Ia sadar bahwa tugasnya ialah mengeluarkan sesama yang terpenjara agar merasakan dunia yang aman dan damai. Pada kenyataannya banyak orang yang menghindari sebagai filosof. Namun pada hakikatnya setiap pribadi ialah filosof bagi dirinya sendiri dan sesama. Mereka yang tidak memilih merupakan pribadi yang lebih memilih kekerasan terus terjadi.

Seorang filosof Erick Weil dalam bukunya Mulyatno memperkenalkan pengertian dan makna filsafat yang relevan dan aktual. Pada hal subjek filsafat ialah manusia sebagai makhluk rasional dan sosial. Objek filsafat adalah persoalan aktual manusia di tengah masyarakat dan dunia ini. Arah dan tujuan berfilsafat adalah tercapainya hidup bermoral, bermartabat dan damai. Hidup damai terjadi ketika seseorang menyadari dan memahami hakikat diri, sesama dan dunianya. Kesadaran tersebut mendorong seseorang untuk bertanggungjawab atas pilihan, komitmen dan panggilan hidupnya di dunia.

Bercermin Pada Para Filosof Papua
Di lihat dari subjek, orang Papua merupakan sebagian manusia yang bereksistensi di dunia dan khususnya ada di tanah Papua. Tanah yang menjadi objek persoalan aktual antar manusia. Maka dalam situasi ini muncul orang yang tanggap terhadap masalah. Mereka ini ialah beberapa dari seluruh orang Papua. Mereka menemukan panggilan hidupnya dalam situasi. Refleksi kritis terhadap situasi orang Papua yang sedang mengalami penderitaan menyebabkan mereka menemukan apa arti hidup ini? Apa panggilan hidupku? Di mana akar persoalan? Bagaimana cara menyelesaikannya? Dan terus bertanya dan bertanya. Filosof Papua muncul pada masa dan situasinya dengan gaya dan konsepnya tersendiri. Mereka menekuni salah satu bidang dan menemukan diri yang berjiwa kepapuaan di profesinya. Kekuatan mereka ialah ilmu, iman dan moral. Tiga pilar ini menjadi keutuhan hidup mereka sehingga biarpun situasi menerpa mereka tetap teguh pada jalan hidup sebagai filosof. Komitmen, ketekunana, tanggungjawab dan keyakinan menjiwai mereka unruk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka berasal dari masyarakat hutan, LSM, akademisi, tokoh-tokoh masyarakat, kaum muda, adat, perempuan dan pemerintah, musisi, dan kaum religius. Misalnya Arnold Clemens Ap, Kellik Kwalik, Theys Eluay, Agus Alua, Musa Mako Tabuni, Dr. Neles Tebay, dan para pejuang-pejuang lainnya.

Mereka lahir, hidup, berkarya dan bahkan mati bersama kekerasan yang dirasakan masyarakat Papua. Saya mengambil sosok pejuang perdamaian Papua baru ini yang telah pergi ke rumah Bapa di Surga ialah Pater Neles Tebay. Ia adalah seorang filosof perdamaian Papua. Karena perjuangan hidupnya didiasarkan pada ilmu, iman dan moral. Dalam ilmu ia adalah dosen dan ketua sekolah kampus STFT Fajar timur. Ilmu yang dimilikinya diberikan kepada mahasiswa serta dipublikasikan pada media dan buku. Ia layak disebut penulis caliber karena karya-karya ilmiah yang dihasilkan menembus dunia local, nasional, regional dan internasional. Dalam iman, ia adalah seorang imam, murid Kristus yang memiliki tugas mewartakan injil dan menyelamatkan banyak orang. Totalitas dirinya dipersembahkan pada Tuhan untuk menjadi pekerja di kebun anggur-Nya. Ia juga tanggap terhadap situasi masyarakat Papua sebagai wujud moralitas bagi sesama. Ia menjadi Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) dan mengkampanyekan Papua Tanah Damai. Konsep dialog merupakan sarana penyelesaian masalah Papua yang ditawarkan. Misi perdamaian Papua menjadi perjuangan hidupnya. Itulah hidup dan karya Pater Neles sang filosof perdamaian Papua. Bercermin dari Pater Neles Tebay kita pun melihat para filosof-filosof Papua lainnay dan merefleksikan hidup dan karya mereka untuk sebuah perdamaian.

Perjuangan hidup mereka lahir dari sebuah refleksi atas dinamika hidup orang Papua yang riil bukan scenario. Ada pula yang terus berjuang hingga kini dan akan berjuan nanti. Hidup atau mati bukan menghilangkan harapan hidup orang Papua untuk menjadi filosof melainkan membangkitkan sang filosof-filosof baru Papua. Karena proses berfilsafat merupakan perjuangan terus menerus. Sehingga tak ada ujung kekerasan tetapi perdamaian hadir mengubah warna dan wajah kekerasan secara rill bagi kehidupan manusia. Bagi saya mereka ini layak disebut filosof dari Papua. Karena mereka memperjuangkan kebenaran atau kebijaksanaan hidup secara bermartabat, dialog dan damai. Dengan keyakinan dan komitmen mereka ingin mengeluarkan seluruh rakyat Papua dari penjara kekerasan menuju kemerdekaan yang damai dan bahagia. Karena hanya dengan jalan dialog damai secara bermartabat orang Papua akan diakui oleh dunia. Hanya saja objek yang menanggapinya tidak sadar dan tahu akan apa itu hakekat hidup filosof dan perjuangannya. Kekerasan dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan akan tetap memenjadikan manusia Papua tetap pada penjara yang paling kejam. Maka dalam perjuangan perdamaian manusia Papua dibutuhkan orang-orang yang berpribadi tiga pilar tadi bahwa ia memiliki ilmu, iman dan moral. Saya percaya ini akan menjawab kerinduan dan harapan orang Papua untuk merasakan perdamaian dan kebahagiaan di atas tanah sendiri.

Oleh karena itu, panggilan hidup sang filosof Papua memiliki tugas unutk berjuang menegakan perdamaian dan kebahagiaan. Perjuangan tiada henti selagi manusia dan kekerasan masih eksis di tanah Papua. Karena kata Pater Neles Tebay “Perdamaian tidak akan muncul seketika entah jatuh dari langit atau timbul dari dalam tanah. Orang harus berkorban dan bekerja untuk menciptakan perdamaian”. Perdamaian lahir dari usaha manusia buka sulap atau sihir. Maka sang filosof Papua telah selama hidup dan karya serta kematiannya telah membuktikan bahwa seorang filosof Papua menjadi figur pembaharu hidup. Lambat atau pelan mereka telah berbuat apa yang menjadi panggilan dan tanggungjawabnya bagi sesama manusia.

Kini orang Papua membutuhkan seorang filosof bahkan seribu satu filosof untuk mengeluarkan manusia Papua dari penjara kekerasan kepada hidup yang harmonis dan damai merasakan kebahagiaan. Jika sebuah utopia seribu satu filosof lahir dari Papua yang mengandalkan ilmu, iman dan moral kemungkinan apa yang akan terjadi pada kekerasan, manusia dan hidup orang Papua? saya yakin dunia akan datang belajar hidup DAMAI dari orang Papua. Hal itu terjadi maka orang Papua ialah orang yang bertanggug jawab dalam panggilan sebagai seorang filosof.

Penulis Adalah Mahasiswa Semester II  Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT)“Fajar Timur”
Abepura-Papua