
Oleh : Albert Rumbekwan
Daya tarik kehidupan di kota besar sungguh mempesona dan sangat nikmat, karena ketersediaan segala sesuatu, lengkap dengan segala kebutuhan hidup, mulai dari yang baik hingga yang jelek. Kehidupan kota jelas saja memilki pengaruh yang kuat dalam pola perubahan dan pemikiran yang lebih modern, dibanding kehidupan di kampung yang terbatas serta pemikiran yang sederhana, dan terkadang dianggap ketinggalan jaman. Namun dibalik nasihat yang sederhana tersebut memiliki makna dan arti untuk kelangsungan hidup yang lebih baik. Pesan singkat dari Korano kepada kedua orang muda untuk “Tahan Diri” ketika memasuki kehidupan kota yang modern dan serbah rumit ini, sangat menarik untuk kita cermati. Cerita ini diambil dari buku Rayori Zaman Kita, yang terbit tahun 1950-an, enak untuk dibaca dan memaknai pesan moral yang terkandung dalam kisah ini. Selamat Membaca Sobat FB. Semoga berguna.
TAHAN DIRI
Penduduk kampungnja sekarang bergerak teratur dibawah pimpinannja akan memperbaiki keadaan-keadaan jang buruk dalam kampung mereka. Benarlah, djika hendak madju, perlu kerdja banjak. Pada suatu hari datanglah dua orang pemuda kerumah Korano dengan menerangkan, bahwa mereka berdua hendak pergi keluar kampung, mengundjungi kota-kota jang raraai. Korano tidak tegahkan maksud ini, karena ia harap kemudian dengan pengalaman kedua pemuda itu, kampung mereka akan lebih madju.
Korano memberikan banjak-banjak nasihat kepada kedua pemuda ini. Diperingatkan kepada kedua pemuda itu, bahwa betul dikota-kota ada keramaian jang baik, tetapi ada djuga keramaian-keramaian jang berbahaja jang membawa kepada kerugian. Mereka harus djaga dan djauhkan diri dari keramaian-keramaian djahat itu, seumpamanja: melihat film-film, meminum minuman-minuman keras dan djuga perempuan-perempuan djalang jang mentjantikkan dirinja membudjuk banjak lelaki akan mendapat uangnja dan sebagainja. Kedua pemuda itu mendengar semua nasihat dengan baik dan mengaku akan bersama mendjaga diri dari hal-hal djahat serupa itu. Korano memberikan surat keterangan, lalu kedua pemuda itu pergi kekantor Bestuur dan disana mereka berdua mendapat surat pas perantauannja.
TIBA DI KOTA
Mereka seperti rusa masuk kampung. Mereka amat heran melihat kebagusan dan keramaian kota itu. Mereka satu dua hari tidak dapat kenalan. Tetapi beberapa hari kemudian, bukan main banjak kenalan. Kepada kenalan-kenalan itu mereka bertanja banjak keadaan-keadaan dikota. Lama-kelamaan keduanja makin biasa hidup dikota. Diantara kenalan-kenalan jang banjak itu ada jang baik, tetapi ada banjak jang mengadjak mereka dua turut keramaian-keramaian jang djahat, jang telah dinasihatkan oleh Koranonja sebelum berangkat dari kampungnja.
Mereka dua sekarang djadi bimbang. Budjukan-budjukan dari sobat-sobat mereka untuk mengundjungi film-film, rumah-rumah minuman keras, bersatu dengan perempuan-perempuan djalang ma¬kin menarik hati keduanja. Seorang diantara keduanja sering-sering tidak suka ikut lagi ketempat-tempat djahat itu. Ia sangat tergoda djuga, tetapi ia menahan dirinja dan pada telinga dan hatinja masih terdengar nasihat-nasihat dari Koranonja itu.
Ia ingin kembali kekampungnja dengan diri selamat dan hasil baik, maka itu senantiasa ia melawan keinginan-keinginan hatinja akan menurutkan budjukan kawan-kawan jang djahat itu. Seorang temannja jang lain itu, sama sekali tidak menahan diri lagi. Ia setiap kali pergi turut sobat-sobatnja itu mengundjungi tempat-tempat keramaian jang djahat itu. Lama-lama ia berpindah tinggal dengan sobat-sobat dikota itu. Ia sudah djadi seorang sama seperti orang banjak dikota jang hidup sebarang sadja.
Beberapa kali ia masuk tahanan, karena mabuk dan turut melakukan banjak pelanggaran-pelanggaran jang dilarang. Achirnja ia kena peniakit perempuan dan dengan itu ia mendjadi korban ditanah asing dan tidak pernah ia kembali lagi kekampungnja, untuk selama-selamanja. Kawannja mendengar itu, menangislah ia terseduh dipinggir ku- buran teman sekampungnja dengan banjak penjesalan. Sekarang apa dajanja, nasi djadi bubur.
Ia tidak senang tinggal lama lagi, lalu pulanglah ia kembali dengan selamat dan bahagia bertemu sanak-saudaranja dikampung. Saudara-saudari sekampungnja sebahagian terima dia dengan senang, sebahagian menangis tersedu-sedu mengingat kawannja jang mendjadi korban keramaian djahat dikota asing.
Demikian keadaan kedua pemuda itu jang pergi hidup dikota. Jang satu tahan diri melawan kedjahatan, sedang jang lain serahkan hatinja turut segaia kemanisan hidup ramai-ramai dikota, dan mendjadi korban, hingga ta’ pernah kembali kekampung halamannja. Dalam hal ini, siapakah jang menderita susah? Orang-orang muda serupa itukah? Tidak! Orang tua dikampunglah jang me¬nangis, nenjesali dan makan hati, karena kehilangan anaknja, harapan hidupnya!