Oleh Felix Degei*
Ide untuk menulis tulisan ini muncul setelah membaca dan memahami salah satu komentar kritis obyektif dari Seorang Insinyur Arsitek di Tanah Papua, yakni Bapak Ir. Yan Ukago, MT., pada akun pribadi Media Jejaring Sosial facebook kemarin, Selasa (04/12). Ia berkomentar seputar nasib ‘Noken’ di Papua kelak, karena kebetulan bertepatan dengan ‘Hari Noken Sedunia Ke-6’ tanggal 04 Desember 2018.
Berikut ini adalah kutipan langsung dari catatan pada status tersebut. Ia menarasikan komentarnya dengan judul ‘Gimana Nasibmu Noken Kini’? Tulisan ini diulas atas ijin pemilik status. Sehingga, marilah kita membaca dan memahaminya dengan saksama!
Gimana nasibmu noken kini?
“Badan dunia tdk menilai dr berapa banyak org bawa noken di Papua, tapi berapa hektar pohon yg udah dan sedang ditanam utk bhn baku industri noken di tanah Papua dan bagaimana industri pintal dan merajutnya, apakah masih tradisonal atau sdh dipikirkan yg modern?Sejak noken masuk dlm salah satu warisan dunia melalui unesco 4 des 2012, kita bisa lihat berapa dana APBD Papua yg dianggarkan utk tanam pohon yg dpt dijadikan bahan baku noken? Lalu apakah lembaga Perguruan tinggi seperti Uncen atau Unipa ada dpat dana utk penelitian ttg proses olah noken? Trus bagaimana kesejahteraan para perajut, tangan tradisional Papua dll?
Surat edaran agar pake noken bagi PNS itu bukan indikator perhatian pemerintah. Klau pemda Papua tdk serius olah industri noken tradisonal Papua, misalnya sebuah kemajuan olah pakai ttg noken yg bisa diukur maka gelar noken sbg warisan dunia terancam bisa dicabut dlm dua tiga tahun mendatang. Perjuangan sdr Titus Pekei, bisa sia2.
Saat ini temanya bukan bagaiman membawa2 noken tp Keberlanjutan noken itu penting, Klau pohon noken su habis, Gimana kita dan siapa kita?”
Jika menyimak dengan saksama ulasan refleksi di atas, penulis merasa patut dibahas secara khusus dalam sebuah tulisan khusus pula. Alasannya karena ia benar-benar mengkritisi realitas saat ini sekaligus menetapkan beberapa bahan refleksi penting bagi Orang Papua. Terlebih khusus menyangkut esensi dan harapan atas penetapan ‘Noken sebagai Warisan Budaya Dunia’ oleh UNECO sejak 04 Desember 2012 lalu di Paris Prancis.
Penulis menggunakan judul dengan istilah‘Quo Vadis.’Terminologi dalam Bahasa Latin ini lazim digunakan untuk menanyakan‘mau pergi kemana?’ atau ‘mau dibawa kemana arahnya?’ Jika dalam konteks tulisan refleksi ini, maka tentu hendak menanyakan nasib dari ‘Noken’ pasca dinobatkan sebagai warisan budaya dunia.
Sebagai Orang Asli Papua (OAP) seyogiyanya patut bersyukur kepada Bapak Titus Krist Pekey, SH., M. Si., yang telah berusaha keras hingga ‘Noken’ diakui di tingkat internasional. Salah satu cara berterimakasih adalah dengan mengambil bagian dalam mempertahankan eksistensi ‘Noken’ itu sendiri.
Tidaklah cukup pemerintah menerbitkan surat ataupun peraturan daerah guna mewajibkanmasyarakat mengenakan ‘Noken’. Karena hal tersebut hanya akan membentuk kebiasaan mengenakan ‘Noken’ sebagai busana semata. Padahal hal yang jauh lebih penting adalah memastikan bagaimana nasib eksistensi ‘Noken’ untuk jangka panjang. Misalnya turut ambil bagian dalam memastikan ketersediaan sumber penghasil bahan baku, berapa orang yang terampil, ketersediaan wadah atau tempat merajut dan pemasaran serta adanya kajian-kajian ilmiah tentang ‘Noken’ itu sendiri.
Oleh sebab itu, Sang Arsitek asal Suku Mee Tanah Papua ini membuat tiga pertanyaan bahan refleksi penting yang wajib diilhami oleh setiap Orang Asli Papua (OAP) berkaitan dengan bagaimana mempertahankan eksistensi ‘Noken’Papua.
Pertama:Berapa banyak hektar pohon (hutan) yang masih ada ataupun sudah dan sedang ditanam oleh Orang Papua sebagai sumber penghasil bahan baku untuk merajut ‘Noken’?
Hal ini sangat penting karena konon sebenarnya bahan baku dasar dari ‘Noken’ tradisional sesungguhnya adalah kulit kayu, anggrek pohon dan daun pandan serta sejenisnya dari hutan. Sementara realitas kini, berjuta-juta hektar Hutan Papua telah beralih fungsi menjadi Hutan Sawit. Belum lagi penebangan hutan yang tak terkontrol (illegal logging)dan rusaknya hutan akibat pembuangan sisa hasil tambang (tailing) serta perluasan lahan untuk pembangunan akibat banyak pemekaran daerah. Sehingga, tantangan bagi Orang Papua saat ini adalah bagaimana bisa memastikan adanya tempat untuk mengambil bahan baku untuk merajut ‘Noken’ yakni hutan.Meskipun belakangan para pengrajin telah menggunakan beberapa bahan non lokal seperti benang wol, benang nilon, benang kasur, pita dan sejenisnya.
Kedua:Apakah ada tempat atau wadah (home industry) yang layak untuk menampung serta mengakomodir hasil dari para pengrajin ‘Noken’ di Papua selama ini?
Selama ini para pengrajin pada umumnya merajut ‘Noken’ secara perorangan. Tidak hanya itu, mereka juga rata-rata berjualan di sepanjang jalan ataupun titip dan jual di pasar umum. Akibat tidak adanya wadah atau tempat untuk mereka dapat berkumpul guna merajut bersama lalu jual dalam jumlah yang banyak. Padahal ketrampilan untuk merajut ‘Noken’sudah dimiliki oleh hampir semua kaum perempuan baik yang muda hingga orang tua di Papua. Lalu, siapakah yang akan mengakodir kebutuhan dari para perajut ‘Noken’ ini? Mungkinkah pemerintah, LSM atau biarkan mereka terus berkelana dengan usaha dan kerja secara perorangan? Dampak Otonomi Khusus (Otsus) harus dirasakan juga mereka melalui ketersediaan dan kemudahan dalam akses peningkatan kapasitas ketrampilan marajut hingga pemasaran.
Ketiga: Adakah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang selama ini dianggarkan oleh pemerintah daerah untuk mempertahankan eksistensi ‘Noken’ sebagai warisan budaya dunia?
Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus (Otsus) tentu memiliki pasokan dana lebih dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Dana tambahan yang diberikan adalah Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diberikan bersamaan dengan 33 provinsi lain di Indonesia. Dalam penggunaan dana tersebut hendaknya mengakomodir hak-hak dasar hidup orang asli salah satunya dengan mempertahankan eksistensi ‘Noken’ sebagai warisan budaya di Papua. Alokasi dana bisa dibagi dalam beberapa bagian misalnya penanaman pohon kembali (reboisasi) dan konservasi hutan sebagai sumber penghasil bahan baku ‘Noken’, pemberdayaan ketrampilan bagi para pangrajin serta penelitian dan kajian-kajian ilmiah tentang ‘Noken’.
Untuk kepentingan penelitian lebih lanjut bisa melibatkan dua lembaga pendidikan yang ada di Papua antara lain Universitas Cenderawasih (UNCEN) dan Universitas Negari Papua (UNIPA). Hal ini penting guna menjamin mutu pemberdayaan eksistensi ‘Noken’ selanjutnya berdasarkan data dan fakta (evidence based).
Akhir kata, tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Asalkan ada niat dan komitmen yang keras untuk berubah. Namun, hal perubahan itu akan terjadi ketika ada aksi nyata dari setiap individu. Dengan demikian, ketiga pertanyaan bahan refleksi di atas patut dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengambil langkah kongkrit dalam perlindungan serta pemberdayaan pengrajin ‘Noken’ di Papua. Ingat kita belum terlambat!
Ketiga pertanyaan bahan refleksi tersebut antara lain: a). Berapa banyak hektar pohon (hutan) yang masih ada ataupun sudah dan sedang ditanam oleh Orang Papua sebagai sumber penghasil bahan baku untuk merajut ‘Noken’? b). Apakah ada tempat atau wadah (home industry) yang layak untuk menampung serta mengakomodir hasil dari para pengrajin ‘Noken’ di Papua selama ini? Dan, c).Adakah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang selama ini dianggarkan oleh pemerintah daerah untuk mempertahankan eksistensi ‘Noken’ sebagai warisan budaya dunia?
Hanya dengan ketiga cara di atas paling tidak akan mempertahankan eksistensi ‘Noken’ sebagai warisan budaya dunia dari Tanah Papua. Oleh karena itu, mari kita semua ambil bagian dalam memastikan keberadaan bahan baku ‘Noken’, pemberdayaan para pengrajin termasuk kesejahteraannya serta melakukan kajian-kajian yang ilmiah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan oleh kita, siapa lagi yang akan peduli?
“INGAT, MEREBUT LEBIH MUDAH DARI PADA MEMPERTAHANKAN!”
*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Asli Tanah Papua yang sedang Kuliah pada Jurusan Master of Education di The University of Adelaide Australia Selatan.