
Nabire,Upaya pemerintah pusat pembentukan Daerah Otonom Baru( DOB) di Tanah Papua, terutama pemekaran Provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah adalah analisis yang keliru. Lagi- lagi Mendagri Tito Karnavian menyebutkan pemekaran ini berdasarkan analisis BIN. Apakah ada undang- undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah atau peraturan pemekaran ada nama BIN yang dicantumkan di dalam proses urusan pemekaran. “Saya pikir ini sebuah logika bernegara yang salah. Boleh saja BIN menginput informasi dan lain- lain tetapi proses harus dilakukuan menurut peraturan perundang- undangan. ” Hal itu diungkapkan Thomas CH Syufi Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) Papua .Rabu,(06/11/2019) kepada media online papualives.com dari Manokwari.
Koordinator POHR Papua itu, mengatakan pemekaran karena tetap teguh pada sikap etatisme ( mementingkan kepentingan negara di atas segala- galanya) hingga unsur moral, kemanusiaan, salus publicum, dan kebaikan bersama( bonum commune) akan tergerus.
” Saya melihat, saat ini Presiden Jokowi salah alamat dalam melakukan pendekatan pembangunan untuk Papua, terutama melakukan pemekaran provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah. Bila pemekaran ini dipaksakan atas usulan analisis BIN berarti ada sebuah “hiden agenda” atau agenda terselubung untuk penghancuran Tanah Papua. Setelah Jakarta sukses mendesain false flag operation( operasi bendera palsu), yakni membenturkan kelompok milisi dan penduduk asli Papua– hingga kita mereka mau buat lagi politik divide et impera ala Imperium Roma di zaman Gius Jullius Caesar atau zaman konial Belanda, yakni mengotak- ngotakkan penduduk asli atau pribumi dan setelah mereka lemah maka menguasai. Ini sebuah realitas yang dihadapi orang Papua. Jakarta sepertinya tidak memiliki naluri dan perasaan kemanusiaan untuk menuntaskan konflik Papua. “jelas Syufi kepada media papualives.com (06/011/2019) siang tadi.
Ia menambahkan, Semua kebijakan Politik Jakarta tak pernah membawa ketenangan dan kesejukan bagi warga Papua. Pemekaran dan kebijakan otonomi khusus juga bukan aspirasi murni rakyat Papua.Semua itu hasil kolaborasi politik antara elite nasional dan para elite birokrat dan politik berwatak oportunis.
” Yang membuat saya juga heran adalah, Presiden Jokowi menyatkan aspirasi pemekaran bukan dari pemerintah pusatĀ itu aspirasi dari bawah, yaitu 61 orang yang bertemu presiden di Istana Negara beberapa bulan lalu pasca- kerusuhan rasisme di Papua. Pertanyaan saya, apakah Bapak Presiden dan jajarannya sudah menyecek secara pasti, 61 orang itu mendapat mandat resmi dari rakyat Papua untuk bertemu presiden. Atau mereka adalah orang- orang yang muncul dan mencari keuntungan ditengah krisis dan kemelut. Yang jelas, aspirasi dari 61 tokoh yang jumpa dengan presiden adalah ilegal karena tak mempunyai legitimasi dari rakyat Papua. Karena 61 tokoh itu adalah para penumpang gelap hingga mengaspirasikan hal yang salah kepada presiden. Pemekaran atau bangun istana presiden bukan solusi– itu sesuatu yang deviasif dari tuntutan rakyat Papua untuk adanya ruang percakapan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.” ujarnya yang juga mantan Ketua BEM Fakultas Hukum Uncen Jayapura itu.
Aktivis HAM Papua ini, menyatakan bahwa Dialog menjadi solusi pamungkas untuk mengakhiri konflik kronis di Tanah Papua. Jokowi segera gelar dialogdengan rakyat Papua melalu ULMWP dan KNPB. Dialog sebagai solusi pamungkas untuk mengakhiri konflik Papua. Jadi, saya harap pemerintah pusat hentikan upaya pemekaran. Sebaiknya proyek bagi- bagi kekuasaan di tingkat lokal tidak menjadi dalih dengan mengatasnamakan aspirasi rakyat untuk pemekaran daerah. Kepentingan pragmatis seperti ini jangan mendominasi kepentingan rakyat Papua. Papua juga tempat adu kompetensi, adu kepentingan, promosi jabatan dan pangkat– tapi negeri yang indah– dengan membutuhkan ruang kebebasan, kesejukan, dan kedamaian. Pemekaran jangan dilandaskan pada lobi- lobi kelompok oportunis– tapi harus berjenjang; mulai dari masyarakat, ke Pemerintah Daerah, DPRD, dan mendapat persetujuan MRP sebagaimana termaktub pada pasal 76 UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sebagai negara kesatuan, untuk menguatkan demokrasi lokal perlu adanya penghormatan terhadap aturan- aturan nasional yang berlaku di Papua, melalui undang- undang Otsus. Lex specialist derogat lex generalis, peraturan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan yang bersifat umum.
” Saya pikir– negara ini mau baik– kita semua konsisten pada konstitusi dan tegakkan hukum secara adil dan proporsional. Bila semua hal kira melihat dengan optik politik, arogansi kekuasaan– sama halnya membantu merintis jalan menuju kehancuran negara. Intinya, menolak pemekaran provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah. Karena aspirasi itu deviasif dan melenceng dari tuntutan rakyat Papua akan penyelesaian kasus rasisme dan pelanggaran HAM, termasuk pelurusan sejarah politik Papua. Bahkan pemekaran pun kurang efektif karena kapasitas pemerintah daerah kurang memadai, kualitas SDM aparat pemerintah daerah dan legislatif yang rendah. Maka, diusulkan anggaran yang direncanakan untuk membiayai pemekaran provinsi di Tanah Papua– digunakan untuk menyekolahkan seluruh orang Papua ke seluruh dunia– setelah SÄMsudah terpenuh dan jumlah penduduk Papua telah mencapai belasan atau puluhan juta ya– buat pemekaran atas dasar usulan rakyat Papua. dan segera buka dialog dengan rakyat Papua yang diwakili ULMWP dan KNPB– sebagaimana pernah dijanjikan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2014 periode pertama dan 2019 periode kedua pemerintahannya.”ungkapnya.
Ia menambahkan, Jadi, negara yang baik bukan dengar bisikan BIN untuk buat pemekaran– tapi patuhi konstitusi dan kehendak rakyat. Diharapkan Gubernur Papua, DPRP, dan MRP tetap teguh dan pertahankan amanat pasal 76 Undang- undan Otsus Papua. Bahkan secara gamblang dielaborasikan dalam konstitusi negara, yakni pasal 1 ayat 2 UUD 1945 bahwa Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Jadi, tidak ada kedaulatan ada di tangan siapa pun di negeri, termasuk BIN.
” Maka, aspirasi atau ” bisikan” BIN sebagai dahih pemekaran adalah sebuah pembodohan dan pengrusakan terhadap konstitusi dan etika benegara. Jadi dari sisi jumlah penduduk dan SDM Papua belum layak untuk dimekarkan. Dan semua proses kebijakan harus berdasarkan aspirasi rakyat atau dari bawah ke atas(buttom up) bukan top down( dari atas ke bawah).” tambahnya.