
Oleh Felix Degei*
Tulisan ini sepenuhnya disalin dari sebuah komentar kritis oleh seorang Intelektual Senior Asli Suku Mee Papua Ir. Yan Ukago, MT pada media jejaring sosial facebook (Awikaituma jr). Beliau memberikan catatan pentingnya saat membagi komentar pada sebuah tautan berita di media online dengan judul “Tiga Pelajar Papua Dapat Beasiswa dari Pemerintah Amerika Serikat”. Berikut ulasan komentarnya yang dikutip langsung oleh penulis.
Setelah Septinus George Saa pada tahun 2004 silam memenangi Lomba First Step to Nobel Prize in Physics di Polandia mengalahkan ratusan paper dari 73 negara di dunia, kini banyak Anak-Anak Papua yang telah dan sedang mengukir Prestasi di Amerika Serikat. Memahami sederetan prestasi tersebut Sang Insinyur Arsitek itupun membuat sebuah pertanyaan yang kritis dan reflektif: Mengapa Anak-anak Papua Ukir Prestasi di Amerika, Mengapa Bukan di Indonesia?
Ia dengan tegas mengatakan bahwa keberhasilan pendidikan sesungguhnya ditentukan oleh Sistim Kurikulum dan Profesi Seorang Guru.
Menurutnya, kalau kurikulum amburadul, anak yang pandai akan tambah bingun. Kalaupun kurikulum itu indah, tapi seorang guru pintar yang tidak tahu mengajar, anak tambah bingun juga. Sehingga hasil akhir kita hasilkan generasi yang serba bingun di negara ini.
Kurikulum Indonesia hanya membuat sukses anak dengan kecerdasan intelektual (IQ) tinggi. Sementara, mereka yang IQ standar tambah bodoh dan tersingkir. Padahal tujuan pendidikan nasional hadir bukan semata-mata untuk orang cerdas tapi mengubah orang bodoh jadi pandai. Banyak Perguruan Tinggi di Indonesia juga cenderung terima anak-anak yang nilai SMA tinggi. Padahal seorang anak nilai bisa rendah karena lingkungan belajar yang tidak cocok dengannya. Anak nilai rendah cari jalan sendiri. Seorang guru itu sukses bila, dia bisa buat anak bodoh jadi cerdas. Itu ukuran yang alam ini pegang.
Anak-Anak Papua ini memiliki aspek motorik dominan sehingga cocok belajar di negara-negara yang kurikulumnya maju. Banyak yang tidak percaya Anak Papua sukses di Amerika. Misalnya, Prof. Emil Salim, Menteri KLH Jaman Orde Baru yang lihat ada Anak-Anak Papua Lulus Cum Laude di USA. Akhirnya ia berkata kecerdasan bukan ditentukan genetika tapi waktu dan kesempatan. Mungkin beliau baru tahu.
Ketika semua orang di seantero Nusantara hanya percaya Orang Asli Papua (OAP) dalam soal Sepak Bola, justru Gubernur Papua Lukas Enembe tidak demikian. Ia memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan semua itu. Orang Papua belum maju karena soal waktu dan kesempatan saja. Kini melalui Beasiswa 1000 doktor yang dicanangkan oleh Mantan Gubernur Barnabas Suebu yang kini dilanjutkan oleh Lukas Enembe, fakta sedang bicara. Semua sedang lihat bukti.
Semua pihak layak berbangga. Tapi jangan lupa tentang masa depan mereka. Yang diperluhkan sekarang bukan hanya bangga pada IPK Anak-Anak Papua di Luar Negeri tapi kita perluh pikirkan, dimana anak-anak prestasi ini akan kerja setelah kembali dari sana. Yang jelas rugi kalau jadi Pegawai Negeri, apalagi kalau pendamping prospek?
Kini para bupati dan gubernur di Tanah Papua, bukan soal program cetak 1000 doktor lalu selesai, tapi dimana 1000 doktor itu akan bekerja? Harus ada rancangan dari sekarang. Apalagi jurusan yang mereka ambil tidak ada di Papua atau bisa juga ternyata tidak diperluhkan di Papua alias salah kirim anak.
Di akhir dari komentarnya ia menyarankan kepada Putra/i Asli Papua yang sudah dan sedang mengukir segala prestasi di LN, pulang kampung itu lagu wajib. Tapi jika ada tawaran untuk bekerja di LN terima saja, jangan balik ke Indonesia (Papua). Toh dunia ini tak akan mengubah darah, rambut dan kulitmu. Kelak akan ada waktunya ketika negeri ini panggil pulang. Sementara untuk Gubernur Papua berikut perluh kembangkan industri dan lembaga-lembaga riset untuk tampung Anak-Anak Papua yang hebat ini. Tentu dengan gaji dan standar kerja LN, dimana tempat mereka belajar.
Penulis adalah Pegiat Masalah Pendidikan Khusus Orang Asli (Indigenous Education). Tinggal di Kota Nabire Provinsi Papua.