Oleh : Thomas CH Syufi
Pekan lalu, kita dikejutkan oleh sebuah berita duka atas berpulangnya seorang tokoh legendaris bangsa Papua, Andy Ayamiseba, Pendiri Grup Band Black Brothers 1976, diplomat sekaligus tokoh senior Organisasi Papua Merdeka(OPM). Dikabarkan bahwa Andy meninggal di Camberra, Australia pukul 16.00 waktu Australia, Jumat(21 Februari 2020), karena menderita kanker yang menyerangnya sejak 31 Oktober 2019. Kepergian putra sulung dari Dirk Ayamiseba(mantan Ketua Dewan Perwakilaran Rakyat Gotong Royong) Irian Barat itu mengundang ribuan dukacita yang mendalam bagi rakyat Papua maupun para masyarakat Pasifik, yang diekspresikakan melalui merbagai media sosial, media arus utama, media online, juga cerita ke cerita; baik di rumah, warung kopi, hingga diskusi ilmiah di perguruan tinggi.
Kepergiaan Andy Ayamiseba menyisakan kesedihan dan duka yang mendalam bagi kita semua. Memang kepergian seorang seniman selalu dirindukan, kepergiaan seorang politisi banyak yang menggantikan. Tentu, Andy Ayamiseba adalah sosok yang berada di dua sisi itu. Ia memiliki bakat sebagai seorang seniman hingga mendirikan Grup Band legendaris Papua Black Brothers( 1976). Dan di sisi lain, ia juga seorang politisi serta diplomat ulung dan “berbahaya” dalam kecamata Indonesia. Karena selain sebagai seorang seniman, politisi(diplomat), Andy juga seorang pengusaha yang sukses di Pasifik. Bisnis yang ia lakukan demi mendukung proses perjuangan kemerdekaan bangsa Papua. Ia bukan mencari kekayaan atau kebagiaan personal di pengasingan, tapi demi kepentingan komunal rakyat Papua. Ia juga disebuat sebagai salah satu Bapak Pendiri( Founding Fathers) negara Vanuatu. Ia membawa Black Brothers mendukung gerakan pembebasan rakyat Vanuatu dari jajahan Perancis, melalui alunan musik yang dilantunkan ke berbagai jagat Pasifik dan dunia dengan spirit Brotherhiood dan semangat kemanusiaan sejati. Dan gerakan itu membuahkan kenyataan, Vanuatu berhasil bebas dari belenggu penjajahan Perancis pada 1980.
Tidak terputus. Atas kecintaannya yang begitu besar kepada rakyat Vanuatu seperti masyarakat Pasifik yang lain–pada tahun 1983–Andy yang pernah mendekam(merasakan) dinginnya sel penjara bersama Dr. Thomas Wanggai(Proklamtor Republik Melanesia Barat) di Kloofkamp, Jayapura tahun 1971 itu diundang oleh Black Brothers membantu berkampanye dan menggalang dana mendukung pemilihan umum( pemilu) pertama negara Vanuatu. Dalam momentum itu dibuat perjanjian resiprioritas bahwa jika Partai Vanuatu menang pemilu, maka imbalannya adalah Vanuatu mendukung perjuangan Papua merdeka. Dan harapan itu menjadi nyata, Partai Vanuatu menang pemilu sekaligus menjadi partai penguasa di pemerintahan. Maka, Andy dan Black Brothers menetap di Vanuatu untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Papua. Namun selang beberapa waktu setelah pemilu, Vanuatu diterjang krisis politik yang ikut memorakporandakan daratan kekuasaan yang baru dibangun dengan bersusah payah melalui pemilu demokratis. Kemulut ini akibat dari mosi tidak percaya rakyat Vanuatu terhadap para pemimpinnya, yakni Walter Lini sebagai Presiden dan Barak Sope sebagai Sekertaris Jenderal( Sekjen). Instabilitas politik itu berujung pada lengsernya Walter Lini dan Barak Sope dari jabatan masing- masing. Hingga Andy Ayamiseba pun harus menum kepahitan dan menanggung kerugiaan atas krisis tersebut. Putra sulung Dirk Ayamiseba dan Adolfina Tan Ayomi( alma) itu pun dideportasi dari Vanuatu oleh penguasa baru.
Ibarat jatuh tertimpa tangga atau sudah panas lalu mengenakkan jaket. Itulah nasib seorang “excile”, yang dikejar dari negerinya dan lari menyelematkan diri di pengasingan, namun di sana juga mengalami hal yang sama: ia diasingkan, dikucilkan, dan dideportasi. Itulah jalan terjal perjuangan Andy Ayamiseba untuk sebuah kebebasan bagi negerinya, Papua Barat. Andy Ayamiseba dideportasi karena dianggap menyokong( atau tim sukses) Walter Lini dan Barak Sope saat kampanye pemilu Vanuatu tahun 1983. Maka, Andy Ayamiseba dan Black Brohters menetap di Vanuatu untuk melakukan aktivitas maupun kampanye politik Papua merdeka. Kira- kira seperti itulah realitas politik yang dikonstruksi oleh Andy Ayamiseba. Ia sangat paham bahwa dalam dunia politik “…tak ada makan siang yang gratis(there is not free lunch)”.
Rasa- rasa Vanuatu menjadi bukit sejarah yang paling kuat bagi para aktivis Papua mendengungkan nilai- nilai kemanusiaan dan kebebasaan Papua di kawasan negara- negara Osenia maupun ke penjuru dunia. Kini negara- negara Pasifik menyatakan sikap untuk terus berjalan bersama bangsa Papua dalam situasi apa pun adalah buah diplomasi “musik” ala Andy Ayamiseba. Dan , Vanuatu menjadi satu- satunya negara paling nomor satu di Pasifik dan dunia yang secara total mendukung gerakan hak penentuan nasib sendiri dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Vanuatu berdiri tanpa beban, berlayar di atas semua kepentingan menjadi tiang api moral yang terus meneriakan martabat dan kemanusiaan orang Papua di berbagai forum, baik di Pasifik, Afrika, Karibian, dan dunia.
Konsisten
Andy Ayamiseba memang tidak mewariskan harta atau kekayaan material bagi keluarga maupun masyarakat Papua. Namun, ia bisa mempunyai ‘legacy’ penting yang tak bisa dibandingkan atau dibayar dengan apa pun, termasuk harta emas dan perak adalah konsistensi. Selain memiliki idealisme, sikap nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, Andy Ayamiseba memiliki integritas yang sangat luar biasa. Ia setia dan teguh dalam pendiriaan untuk memperjuangan sebuah ideologi yang berbasis pada kebenaran sejarah. Ingin sejarah Papua harus diluruskan melalui jalan damai. Hal itu membuat Andi Ayamiseba sekali dalam mengambil pilihan dan keputusan, ia tetap setia dengan keputusaan itu hingga akhir hayat. Ia bersama Grup Band Black Brothers melarikan dari( minta suaka politik) ke pengasingan sekitar tahun 1980, karena represi rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pimpinan(Andy Ayamiseba) dan para anggota Black Brothers diteror dan diacam akan dibunuh karena pemerintah Orde Baru merasa tersinggung dengan lagu- lagu Black Brothers yang dinilai bernuansa politis, antara lain, “Bintang Jatuh Hari Kiamat” dan “Derita Tiada Akhir”.
Andy Ayamiseba dan rekan seperjuangan, sekaligus bersama mendirikan West Papua National Coalition for Liberation( Persatuan Nasional Papua Barat untuk Pembebasaan/ WPNCL) Dr. John Otto Ondamawe pernah diminta pulang oleh pemerintah Indonesia melalui teman sekolah Andy Ayamiseba di SMA Gabungan Jayapura, Nick Messet dan Frans Albert Yoku( alm). Dengan dalih bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan kebijakan Otonomi Khusus bagi masyarakat Papua sebagai jalan terbaik untuk menjawab keadilan dan kesejahteraan orang Papua, maka para pemimpin Papua di pengasingan, termasuk Andy Ayamiseba dan John Otto Ondawame di Vanuatu harus pulang bangun negeri West Papua. Namun ajakan itu ditolak oleh Andy Ayamiseba dan John Otto Ondawame. Andy yang merupakan pebisnis dan pelobi andalan OPM untuk wilayah Pasifik itu menyatakan, “Hanya bisa pulang ketika West Papua telah memperoleh kemerdekaannya dan Indonesia telah pergi.” Pria yang lahir di kota Biak, 21 April 1947 itu tetap kosisten mengikuti hati nurani, karena hati nurani adalah suatu badan keadilan yang keputusannya tidak dapat dibanding.
Andy Ayamiseba sangat skeptis dan pesimistis terhadap kebijakan politik parsial Jakarta berupa paket Otonomi Khusus. Ia yakin bahwa untuk menjawab tuntutan rakyat Papua bukan diberikan tawaran sepihak, tapi kebijakan itu berdasar pada konsensus politik bersama yang dilahirkan melalui jalan perundingan atau pelurusan sejarah Papua.
Andy Ayamseba pun menolak pendekatan security approach( pendekatan keamanan) yang terus dilakukan Jakarta dalam menyelesaikan konflik Papua. Ia memandang penyelesaian masalah Papua dengan pendekatan kekerasan hanya akan menggerus dan mengancam kekayaan terluhur orang Papua, yakni kehidupan. Jalan dialog dan perundingan menjadi solusi terbaik untuk mengangkat martabat kemanusiaan orang Papua sesuai visi- misi Grup Band besutannya, Black Brothers.
Tentu bagi Andy Ayamiseba, lebih baik berjuang mati di pengasingan daripada menyerah pada kemunafikan dan ketidakadilan penjajah di negeri sendiri. Atau meminjam pameo Latin, “Dulce et decorum ets pro patria mori, hal yang manis dan mulia apabila seseorang gugur demi tanah air( atau negerinya)”.
Itulah sebuah konsistensi dan pertanggungjawaban Andy Ayamiseba sebagai seorang anak manusia sekaligus pejuang sejati bagi kaum dan negerinya, Papua Barat. Ia telah beranikan diri menjadi lilin yang habis dibakar. Bagi Andy Ayamiseba, tidak ada kata berlutut atau kata menyerah, tapi yang ada hanyalah berdiri berjuang atau mati. “Patria o muorte, Tanah Air atau Mati”.
Selamat jalan tokoh pejuang Bangsa Papua Barat, Andy Ayamiseba dalam kedamaian abadi bersama para kudus.
” We shall overcome someday, suatu ketika kita akan menang”._ Matin Luther King Jr(1929-1968) mengutip Robert Nesta ” Bob” Marley(1945-1968), musisi kondang Jamaika.
______________________
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights( POHR).