
Oleh John NR Gobai
Pengantar
FPIC adalah hak yang dimiliki masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan mereka.
Konsep PADIATAPA
Prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) mulai diperkenalkan secara komprehensif pada Convention concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (ILO No. 169) (Konvensi mengenai Penduduk dan Suku asli di Negara-negara Independen) tahun 1989 yang secara tegas dalam pasal 6 menyatakan bahwa penduduk asli harus dikonsultasikan āsetiap kali dilakukan langkah-langkah legislatif atau administratif yang mungkin mempengaruhi mereka secara langsung dan konsultasi tersebut harus dilakukan dengan itikad baik dan dalam bentuk yang sesuai dengan keadaan dengan tujuan untuk meraih persetujuan atau kesepakatan mengenai langkah-langkah yang diusulkanā.
Deklarasi PBB
Deklarasi PBB tentang Hak Penduduk Asli (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP), pasal 32 (2) menyatakan bahwa āNegara negara harus berkonsultasi dan bekerjasama dalam itikad baik dengan Penduduk Asli terkait melalui lembaga perwakilan mereka sendiri untuk memperoleh Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan untuk semua proyek yang berdampak pada lahan atau wilayah merekaā. Walaupun UNDRIP telah diadopsi oleh 147 negara termasuk Indonesia tetapi deklarasi ini tidak mengikat secara hukum. Uraian dalam UNDRIP fokusnya semata-mata hanya pada PADIATAPA untuk penduduk asli. Walaupun demikian, PADIATAPA juga merupakan panduan yang berguna bagi komunitas lokal lainnya, karena sebagian besar dari mereka memang tunduk pada hukum adat, dan bergantung kepada sumber daya alam sebagai sumber mata pencaharian mereka, kepercayaan dan budaya mereka.
Dalam melakukan musyawarah pelaksanaan Hak masyarakat adat Atas Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam harus dilaksanakan berdasarkan prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent)ā dimana keputusan seharusnya dicapai dengan prosesproses yang saling meghormati kepentingan masing-masing pihak tanpa ada intimidasi, ancaman, penyuapan, dan pemaksaan. Tidak boleh ada hasil yang bersifat pura-pura atau tipuan, āMendahuluiā setiap negosiasi harus berlangsung sebelum pemerintah, investor dan perusahaan memutuskan apa yang akan mereka laksanakan keg atan, āMenginformasikanā Informasih yang mereka miliki tentang rencana kepada masyarakat Hal Ini berarti memberikan waktu untuk diskusikan tentang rencana pihak luar tersebut, āPersetujuanā berarti setiap keputusan atau kesepekatan yang dicapai semestinya dilakukan melalui sebuah proses yang terbuka dan bertahap yang menghormati hukum adat dan otoritas-otoritas masyarakat yang dipilih.
Dasar regulasi
Pasal 43 ayat 4 UU No. 21 Tahun 2001, surat izin perolehan dan pemberian hak, diterbitkan sesudah diperoleh kesepakatan dalam musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah dengan masyarakat adat. Dengan perkataan lain, masyarakat dilibatkan dalam mekanisme pengelolaan tanah termasuk sumber daya alamnya. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam dalam skala besar oleh pihak swasta, bentuk-bentuk manfaat yang diberikan dapat berupa: pajak (diberikan pada Pemda), royalty (diberikan kepada masyarakat adat yang terkait), sewa tanah (diberikan kepada masyarakat adat sekitar dan masyarakat yang terkena dampak), kompensasi (bagi masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak), saham (diberikan kepada masyarakat adat dan juga Pemda Propinsi/Kabupaten), Gaji (diberikan kepada masyarakat sekitar), Kontrak bisnis (diberikan bagi masyarakat
sekitar) dan donasi Bentuk kompensasi lainnya.Penentuan atas bentuk dan besarnya kompensasi dan masa kontrak (lamanya kontrak) ini harus didiskusikan dalam musyawarah dan harus diputuskan berdasarkan kesepakatan dengan Prinsip FPIC
Penutup
Sejak tahun 2005, prinsip-prinsip FPIC/PADIATAPA telah digunakan sebagai salah satu persyaratan utama dalam prinsip dan kriteria RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil, hal ini dilakukan untuk sector perkebunan kelapa sawit Keputusan Bebas didahulukan dan diinformasikan (Free, Prior and Informed Consent atau yang selanjutnya disebut dengan āFPICā) sudah menjadi persyaratan utama dalam Prinsip dan Kriteria (āP&Cā) Roundtable on Sustainable Palm Oil (āRSPOā) sejak mulai diberlakukan pada tahun 2005. Penghormatan terhadap hak atas FPIC dirancang untuk memastikan agar produksi minyak kelapa sawit lestari bersertifikat RSPO berasal dari daerah-daerah yang tidak memiliki konflik lahan atau āperampasan tanah’. Panduan revisi ini memberikan saran mengenai cara pelaksanaan unsur-unsur mengikat yang ada dalam standar RSPO hasil direvisi (Prinsip, Kriteria dan Indikator) terkait dengan FPIC, yang juga disusun berdasarkan saran yang sudah ada pada panduan standar RSPO hasil direvisi.
Contoh: Kasus PT Nabire Baru dan Suku Yerisiam, walaupun setelah hutan dibabat, sawit telah ditanam, hal ini pernah kami sendiri alami dan saksikan dalam konflik Suku Yerisiam dengan PT Nabire Baru di Nabire, setelah menjalani proses gugatan di PTUN Jayapura, oleh Suku Yerisiam kepada PT.Nabire Baru, kemudian dilanjutkan dengan pengaduan Suku Yersiam dan Yayasan Pusaka kepada RSPO. Proses ini kemudian RSPO meminta agar PT.Nabire baru melakukan musyawarah dengan Suku Yerisiam di Nabire di Kampung Sima, Distrik Yaur Kabupaten Nabire. Proses Musyawarah berjalan panjang, diikuti oleh pembuatan Pemetaan Tanah Adat dan proses musyawarah akhirnya dibuat kesepakatan antara Suku Yerisiam dengan PT.Nabire Baru.
Idealnya proses PADIATAPA terjadi jauh hari sebelum perusahaan bekerja, agar semuanya dibicarakan bebas diawal tanpa paksaan dan disepakati bersama oleh masyarakat adat, pemerintah memposisikan diri sebagai mediator dan fasilitator yang baik bukanmeninggalkan masyarakat berkonflik dengan perusahaan.
Padiatapa menurut kami perlu menjadi pedoman di Papua.
Penulis adalah Ketua Poksus Adat DPR Papua tinggal di JayapuraĀ