Oleh : Nasarudin Sili Luli
Publik di Tanah Air sedang dihebohkan oleh rencana kunjungan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud, dan rombongannya yang akan mendarat di Halim Perdanakusuma, Rabu (1/3/2017).Kehebohan pertama ialah karena Raja Salman membawa rombongan besar, yakni ada 1.500 orang, dalam lawatannya ke Indonesia pada 1-9 Maret. Juga kunjungan terlama ke luar negeri. Raja, anggota keluarganya, dan petinggi Arab Saudi datang dengan menggunakan dua pesawat Boeing 747-400, satu Boeing 777 dan Boeing 757.
Rombongannya yang lain sudah datang lebih awal, termasuk anggota pasukan khusus dan petugas intelijen kerajaan.Kehebohan kedua, Arab Saudi “mengekspor” satu mobil khusus untuk dipakai Raja Salman, yakni Mercy S600, dan dua tangga motorik untuk pesawat Boeing 747-400, ke Indonesia. Tak tanggung-tanggung, yang juga membuat heboh, 39 pesawat terbang dari dan ke Tanah Air (Jakarta dan Denpasar) untuk mengangkut 459 ton barang bawaan sejak 15 Februari.
Para petugas bandara, hotel, tempat-tempat wisata yang dituju di Bali, juga sibuk dan bersiaga tinggi mengatur kelancaran kunjungan rombongan Raja Salman. Otoritas Bandara Halim menunda semua penerbangan reguler untuk beberapa saat sesuai Notice to Airmen (Notam) yang diterbitkan pihak berwenang pada hari kedatangan dan keberangkatan.
Selain itu, ketibaan Raja Salman di Istana Bogor – tempat pertemuan tingkat tinggi kenegaraan diadakan – akan dihebohkan dengan 21 kali dentuman meriam. Meski kunjungan ke Bali, 4-9 Maret, lebih merupakan wisata pribadi dan bukan berstatus tamu negara,  rombongan Raja Salman dijaga dan dilayani dengan keamanan tingkat tinggi.
Otoritas Ngurah Rai pun bakal melakukan penundaan penerbangan reguler, baik domestik maupun internasional, selama 45 menit saat rombongan Raja Salman akan tiba dan pulang. Sebagai tuan rumah yang baik, Indonesia selayaknya menyambut dan melayani Raja Salman dan rombongan dengan sebaik-baiknya. Kita pun mengucapkan “Selamat Datang Raja Salman!”
Konflik Suriah
Reuters Tentara Suriah berdiri di atas puing-puing Kuil Bel di kota kuno bersejarah Palmyra, Homs, Suriah tengah (Dokumentasi). Di balik semua kehebohan dan hiruk-pikuk persiapan menjelang dan selama kunjungan tersebut, apa yang bisa kita maknai dari kedatangan seorang Raja Arab Saudi ke Tanah Air yang tercinta ini?
Jika seorang sahabat lama berkunjung ke rumah kita, pasti akan ada banyak hal yang dipercakapkan dalam pertemuan itu. Setidaknya, begitu juga terkait dengan lawatan langka Salman ke Indonesia.
Isu-isu bilateral, seperti kerja sama sosial, politik, investasi atau ekonomi, tenaga kerja, dan sektor lainnya bakal menjadi topik pertemuan Raja Salman dan Presiden Joko Widodo. Namun, rasanya sulit juga untuk kita tidak mengaitkan lawatan Raja Salman dengan persoalan kawasan Timur Tengah, di mana Iran “bermain”.
Perang saudara di Suriah, yang menyebabkan lebih dari 300.000 orang tewas dan lebih dari 11 juta orang mengungsi, telah memasuki tahun keenam, terhitung sejak Maret 2011. Konflik Suriah tak lagi menjadi persoalan domestik Suriah saja, tetapi melebar ke negara-negara tetangga (Lebanon, Irak, Turki, dan Jordania) dan menjadi ancaman bagi keamanan internasional.
Potensi perluasan konflik Suriah sangat terbuka karena posisi negara tersebut berada di episentrum pertarungan politik kawasan Timur Tengah, yang telah berimbas ke hubungan lintas kawasan. Arab Saudi dan Indonesia merupakan bagian komunitas dunia.
Dalam mengupayakan perdamaian global, keduanya harus bersikap lebih aktif mencari solusi damai dalam konflik panjang Suriah. Dari kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa berbagi pengalaman tentang bagaimana berperan dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik Myanmar dan sengketa maritim di Laut China Selatan.
Arab Saudi harus giat memainkan peran yang konkret bagi perdamaian di Timur Tengah dengan menjalin komunikasi politik aktif dengan sesama negara berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.
Kondisi geopolitik kawasan memang rumit, terutama ketika berurusan dengan masalah klasik yang berbau sektarian, seperti Syiah dan Sunni, yang di Indonesia justru berdampingan secara damai.
Zuhairi Misrawi, pemikir muda Muslim dan pemerhati masalah Timur Tengah mengatakan, dalam konteks geopolitik, Indonesia bisa mendorong perdamaian dunia, karena bagaimana pun Arab Saudi menjadi salah satu pemain penting dalam geopolitik di Timur Tengah.
“Oleh karenanya, Indonesia bisa meminta kepada Raja Salman agar turut serta di dalam menjaga perdamaian dunia,” katanya.
Langkah Arab Saudi membentuk koalisi militer baru negara-negara Teluk menghadapi terorisme dalam konflik Suriah pada Desember 2015, sebenarnya tidak berbeda dengan langkah sekutunya, AS, dan Rusia yang mengambil aksi militer di Suriah.
Berbeda dengan Indonesia yang melakukan pendekatan dialog dalam bingkai sikap politik besas dan aktif dalam mengakhiri konflik Suriah. Indonesia mengedepan dialog, Arab Saudi memakai senjata.
Salah satu Negara di Asia Tenggara yang menyatakan keberpihakannya terhadap Arab Saudi adalah Malaysia, negara tetangga yang dikunjungi Salman sebelum ke Indonesia. Sebenarnya, sebagai sesama negara berpenduduk Muslim, Arab Saudi dan Indonesia bisa melakukan pendekatan informal kepada pihak yang bertikai di Suriah agar mau mencari solusi damai.
Namun, langkah itu mustahil terwujud jika pendekatan yang dilakukan masih bersifat sektarian. Selama kepentingan golongan diutamakan, selama itu pula konflik Suriah berlangsung. Kalau saja Indonesia mengikuti aliansi AS dan Arab Saudi, hal itu akan berarti Indonesia memusuhi Iran, negara yang nyata-nyata hanya mendukung sekte Alawit-nya Presiden Bashar al-Assad.
Konflik Yaman
Associated Press Artileri Arab Saudi yang disiagakan di perbatasan melontarkan tembakan balasan ke posisi pemberontak Houti di Yaman sebagai balasan atas tembakan roket ke wilayah Arab Saudi yang melukai warga sipil.
Begitu pula ketika terjadi perang saudara di Yaman, yang dimulai pada 2015. Sikap Indonesia yang lebih mengedepankan dialog berseberangan dengan Arab Saudi memilih angkat senjata. Pertemuan Raja Salman dan Presiden Jokowi di Istana Bogor diharapkan bisa menghasilkan jalan keluar yang sejuk menuju perdamaian, ketimbang dengan senjata. Berawal dari pemberontah Houthi untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Abdu Rabbo Mansur Hadi dengan merebut Sana’a, ibu kota Yaman, pada 21 Maret 2015.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejak Maret 2015 hingga Januari 2017, lebih dari 16.200 orang tewas di Yaman, dengan sebagian terbesar yakni 10.000 orang adalah warga sipil tak berdosa. Perang Yaman juga merupakan pertarungan kekuatan senjata antara Iran, yang menjadi pendukung utama Houthi, dan koalisi Arab Saudi yang mendukung Hadi.
Alih-alih ingin mengakhiri konflik Yaman, keterlibatan Iran dan Arab Saudi justru semakin membuat negara paling miskin di wilayah Arab itu semakin terperosok ke dalam kehancuran. Koalisi pimpinan Arab Saudi yang mengintensifkan serangan udara ke Yaman sehingga memicu eskalasi kekerasan baru di Yaman.
Sebab di tengah konflik Yaman itu, kelompok radikal Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) dan Al Qaeda di Semenanjung Arab (AQAB) mendapat angin segar untuk memperkuat posisinya. Pemicu eskalasi kekerasan di Yaman adalah ketegangan diplomatik antara Arab Saudi dengan Iran, yang disulut eksekusi mati ulama Syiah di Arab Saudi, Nimr al-Nimr.
Arab Saudi pun terus melakukan serangan udara untuk menyasar aliansi Iran di Yaman, yakni kelompok pemberontak Syiah Houthi. Yaman pun telah tercabik-cabik dan menjadi setidaknya empat wilayah besar yang masing-masing dikuasi Houthi, ISIS, AQAB, dan loyalis Hadi.
Perang saudara antara pemberontak Houthi melawan pasukan pemerintahan Hadi, yang didukung Arab Saudi, memicu bencana kelaparan dan wabah penyakit di Yaman. Lawatan Raja Salman ke Indonesia, diharapkan bisa dimanfaatkan Jakarta untuk meyakinkan Riyadh bahwa inilah saatnya kedua negara bersatu menjadi aktor perdamaian internasional, bukan memperburuk keadaan atau penyulut perang.
Penulis Adalah :Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan