Beranda Artikel Bercermin: Penting Kelola Papua Tengah “Rawat Manusia dan Ekologi”

Bercermin: Penting Kelola Papua Tengah “Rawat Manusia dan Ekologi”

1284
Yosep Adii selaku koordinator AMAP. (Foto: dokpribadinya)

Oleh Yosep Adii

Provinsi  Papua Tengah adalah pusat dari segala aktivitas pembangunan transformatif dan pembangunan revolusi sosial politik mencapai nilai standar Internasional sebagai bangsa modern. Sehingga menekankan agar kedepan tidak terjadi nasionalisme primodial konflik kesukuan. Perlu merawat sebanyak 250 suku-suku yang ada adalah tolak ukur kemajuan pembangunan manusia dan Infrastruktur. Papua dan khususnya Papua Tengah hanya dapat dibangun oleh orang asli Papua (OAP) sehingga harus dirawat semua organisasi kepemudaan (OKP) perlu memperhatikan itu sehingga tidak terpancing uang atau bujukan tawaran lain. Misalnya, Eropa di Abad 20 – 21.  Papua itu dalam hambatan dan peluang pada resiko dan pembangunan untuk masyarakat yang hilang dalam ambiguitas identitas sosial dan keputusan sikap sosial politik ini perlu diarahkan dalam nilai-nilai pada kantong – kantong laboratorium sosial organisasi dapat membangun kembali semangat sebagai peradaban bangsa melanesia memasuki ukuran modernitas dalam ukuran nilai – nilai Internasional.

Menurut penulis,  adanya hambatan akan pembangunan nasionalisme yang utuh  dialami di Papua juga dialami di abad kedua puluh berjalan terdapat menurunnya nasionalisme dan prediksi tentang pembentukan dunia post nasional bukan hanya modern barbarisme “kekerasan pasar gelap” dan kehancuran akibat kekerasan perang dunia kedua yang memunculkan ketidaksukaan pada nasionalisme sebagai ekpasionisme dan konflik. Tetapi semakin meningkatnya aliran-aliran kebudayaan, ekonomi, dan populasi lintas batas -batas nampak membuat negara nasional menjadi tidak berarti.

Nasionalisme adalah multikulturalisme bukan primodialisme konflik kesukuan, komunitas trans nasional, komopolitanisme, juga nasionalisme memperlihatkan daya tahan luar biasa selain hal di atas kesetiaan mereka pada politik atau perebutan kekuasaan itu di abad 21, disebut sebagai bangsa. Sesungguhnya Nasionalisme merupakan dokrin yang tidak bisa mati, dia hanya naik – turun seperti grafic sepanjang komunitas etnis ikut berperan. Itu menurut Gallner. (Heywood Andrew, 2017, Politik Global. hal, 318). Saya melihat bahwa apabila suatu komoditas manusia entitas memasuki emergency, tingkat kematian tinggi penyakit, penindasan dan diskriminasi diselimuti konflik horizontal maka mestinya kesadaran terbesar kaum cendekiawan adalah apa. Hanya opsi dalam nasionalisme yang membawa revolusi sosial politik atau tetap bertahan dalam otonomi politik yang diterima suatu entitas adalah bentuk – bentuk perubahan sosial dalam revolusi paris dan Italia 1805-72 Giuseppe Mazzini, (Andrew, Global Politik) diperkuat gerakan-gerakan kemerdekaan Eropa Imperium Austro – Hungaria, Rusia dan Utsmani juga ikut penguatan nasionalismenya tetapi di Papua gerakan – gerakan sipil tidak sekuat eropa dalam penguatan Nasionalismenya.

Menurut pandangan Penulis, Macam ini diperkuat 1918 disusun oleh Presiden AS Woodrow Wilson setelah perang dunia pertama ikut perkuat revolusi sosial politik tetapi juga otonomi politik atas kondisi suatu entitas. Tetapi jika suatu entitas dalam emergency maka suatu entitas mestinya harus lakukan apa dalam pilihan nasib politik kembali pada sekuat apakah bangunan nasionalisme bentuknya paling terkecil adalah lagu – lagu, pendidikan, media massa dan proses sosialisasi politik entitas harusnya jelas bukan nasionalismenya primordial kelompok etnis melahirkan konflik horizontal kesukuan belum bisa disebut bentuk bangsa apalagi bangunan nasionalismenya.

Perlu juga di pertegas  memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan rakyat. Karena banyak kekerasan berkembang lebih sering fenomenanya adalah kekerasan atas nama Agama. Semisalnya, konflik-konflik horizontal dan vertikal di Timur tengah sepanjang kepemimpinan Yos Bus, Islam gadungan yang dilindungi pemerintahannya hingga di tumpaskan Osama Bin Laden oleh Presiden AS, Barack H. Obama atas peristiwa 11 September 2001 Beberapa menara pencakar langit hancur di kota New York. Tetapi, diera Joe Biden kekerasan bukan lagi atas nama agama melainkan atas nama negara dengan Ideologinya misalnya konflik Rusia-Ukraina tetapi juga di Somalia, konyo dikawasan Afrika diratifikasi oleh beberapa kelompok whaite superior dan kemudian disuntik kedalam negara, negara memandang ketahanan stabilitas subtansial terutama dalam pembantaian genosida dibeberapa negara Afrika, Bangsa Aria di Jerman, bangsa Jawa kepada bangsa lain di Indonesia tetapi juga bangsa Indian dan aburigin yang menjadi korban atas kekerasan atas nama Negara adalah kondisi global yang dipandang bencana bagi kosmos pada ekologi dan manusia awal pada lapisan paling bawah adalah dampak-dampak buruk atas ketidak seimbangan ekonomi industri pasar akan tetapi jaminan kebebasan hak asasi manusia dan proses dekolonisasi yang lambat pada masyarakat yang melawan kekerasan atas nama negara di China pada rakyat Tibet dan Thailand, di kawasan Afrika, Rusia dan Indonesia dan beberapa kawasan di Eropa.

Penulis juga melihat bahwa apakah konflik – konflik di tanah Papua adalah konflik kekerasan atasnama negara ataukah konflik primodialisme etnis perlu ditanya. Ada tiga model kekerasan sedang berkembang yaitu kekerasan konvensional seperti perang Ndugama, Intan jaya semacam Ukraina-Rusia karena lokasinya jelas tuk perebutan teritori. Ada kekerasan kecil Global seperti Judi pasar gelap, perdagangan manusia, perdagangan amunisi termasuk percobaan nuklir dan juga, kekerasan perang Ideologinya juga di Papua masif. Kekerasan Ideologinya lebih primodialisme etnis sehingga muncul konflik horizontal antar saudara juga akarnya adalah kolonialisme barat menurut Dr. F Budi Hardiman. Permainan togel  masif di Papua adalah menghancurkan peradaban entitas manusia melalui judi kekerasan perang kecil Global dalam pasar gelap juga dirancang untuk hancurkan suatu peradaban manusia.

Penulis  juga ingin mempertanyakan mengapa konflik – konflik tumbuh begitu subur di tanah Papua sepanjang tiga dekade adalah pertanyaan penting yang harus diperbincangkan.  Dari model kekerasan  kita jelaskan sebelumnya ada juga menurut Galton: ia menjelaskan pengungsi minoritas, seperti di Papua dan pemenjaraan yang sewenang-wenang disebut juga sebagai kekerasan selain narkotika, pornografi dan ekosida pembuangan limba adalah kekerasan terstruktur, sistematis biasanya negara terlibat didalamnya. Negara juga menjalankan aksi teror adalah bagian dari secularisasi, dectrusi, dekotruksi dan rekontruksi berdampak pada kehancuran Ilmu pengetahuan, sistem religi, sistem sosio-kultural ini sangat berbahaya bagi peradaban manusia terutama kaum minoritas Papua. Negara membekali idealisme modern ada semacam nada-nada romantis tetapi utopis sebenarnya selain upaya demokratifikasi ancaman amunisi nuklir diperkuat diskusi-diskusi Internasional dan perjanjian – perjanjian internasional itu produksi dan distribusi resiko berdampak juga kepada masyarakat pembangunan.

Selan itu, kami melihat ada semacam kebingungan untuk konsisten membangun karena konflik Kombatan misalnya: 1 Juli hingga 3 Juli 2023 ini, Papua diramaikan dengan hari besar Polri & TNI Prepesisi Bhayangkara, spanduk hingga acara-acara diwarnai antosias begitu juga TPNPB-OPM yang tidak kalanya membacakan pidato-pidato politik dalam hari Proklamasi TPNPB-OPM. Rakyat Asli Papua menjadi lahan perebutkan selain teritorial geografis tanah Papua yang diperebutkan. Rakyat Papua dipusingkan dengan aksi-aksi aktifitas konflik combatan militer, tidak ada tempat bagi rakyat Papua. Dikota-kota terkenal aksi-aksi militer tetapi aksi-aksi sipil juga tak mau kalah aksi reaksi sipil ormas barisan Islam merah putih, ormas paguyuban-paguyuban juga ikut dipertentangkan dengan ormas Kristen, ormas adat, ormas KNPB dan PRP yang paling eksis versi Papua rakyat tercipta dalam satu ruang kontradiktif kekeran fisik dan verbal yang sering dialami akibat ruang konflik kejahatan kemanusiaan dan ekologis yang sulit diatasi pemerintah Papua, Jakarta dan Dunia Internasional dipersulit atau tak diberih ijin.

Memang negara juga adalah subjek hukum Internasional menurut mahkamah Internasional Selain tahta suci, organisasi Internasional dan orang perorangan, tetapi ada hal-hal yang memang sulit dibuktikan menurut Theys Hilo Eluwai orang Papua dibantai hampir 800.000 orang hingga tahun 2000, dan 20 Tahun era otonomi khusus rakyat Papua masuk dalam ruang kematian “Sholow Motion Genosida” dalam kebanjiran Otsus, konflik juga subur dan konflik kejahatan terstruktur, masif dan sistematis tak menciptakan perdamaian absolut, telah mengantarkan rakyat asli Papua dikorbankan sebagai objek buruan konflik kejahatan bermotif Ideologi.Ialah konflik kepentingan berkepanjangan tampa mengadari persoalan Papua adalah persoalan Internasional.

Penulis adalah Kordinator Aliansi Masyarakat Adat Papua (AMAP) Sorong-Samarai Papua.