
Pray for Paris, berdoa untuk Paris. Begitu penggal kata yang cukup menghebohkan dunia di berbagai media sosial dan massaakhir pekan lalu atas serangan teroris di kota Paris, Jumat (13/11). Serangan yang sedikitnya menewaskan 129 orang di ibu kota Perancisoleh kelompok teroris yang mengaku diri bagian dari NIIS itu cukup menyedot perhatian publik dunia.
Jika, dalam situasi seperti itu, semua orang di tempat kejadian dalam keadaantakut, remuk, dan juga putus asa. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan ada yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan atas nasibnya saat itu. Yang bisa menyelamatkan para korban dari serangan tersebut hanya yang memiliki kekuasaan ilahi, yakni Allah. Rasul atau nabisekalipun bukanlah malaikat penyelamat, apalagi presiden atau militer, sangat tidak mungkin (inposibiliy).Maka, ungkapan keprihatinan dari warga dunia dengan kalimat “berdoa untuk Paris” juga memperoleh pembenarannya.
Memang, serangan teroris di Paris kali ini merupakan salah satutragedi terbesar dan mengenaskan yang pertama kali terjadi dalam sejarah Perancis di abad ke-XXI. Namun,sebelumnya, dunia juga pernah didera beberapa tragedi kemanusiaan yang sama, bahkan jauh melebihinya.
Josef Stalin (1878-1953), pemimpin Uni Soviet, yang kemudian secara efektif menjadi diktator negara.
Pada tahun 1932-1933, terjadi bencana kelaparan dan praktik pemenjaraan terhadap jutaan orang di kamp kerja paksa Gulap, yang bermula dari Kebijakan Ekonomi Baru terpusat yang dilakukan Stalin. Dan, diperkirakan 9 juta orang mati atas kekejaman Joseph Stalin saat itu.
Kebengisan yang dibangun oleh Stalin itu membawa sentimenyang begitu lama bagi para pihak yang merasa keluarga atau nenek-moyang bubuyutannya dibunuh oleh Stalin semasa bekuasa. Sejumlah monumen Stalin yang dibangun di berbagai kota di negara-negara bekas Uni Soviet terpaksa harus dirobohkan oleh mereka.
Kini, bangkai monumen Stalin yang terkapar di rerumputan di alun-alun kota Tkibuli, Georgia, bak batang pohon tua yang sudah usang dan keropos, karena dirobohkan oleh warga setempat. Sayang, monumen Stalin hanya tinggal kenangan, dengan serpihan-serpihan yang masih berserakan.
Pelanggaran hak asasi manusia yang sama juga dilakukan oleh Adolf Hitler (1889-1945), diktator Nasional Sosialisme (Nazi), Jerman. Di masa kediktatorannya, Hitler mengeluarkan kebijakan yang supremastis dan dilandasi semangat anti-ras yang mengakibatkan kematian sekitar 50 juta orang selama Perang Dunia II. Jumlah tersebut, termasuk 6 juta kaum Yahudi dan 5 juta etnis non-Arya. Pemusnahan sistematis oleh Hitler ini—yang kondang disebut dengan nama peristiwa “Holocaust”.
Peristiwa menyedihkan juga terjadi pada Perang Dunia I (1914-1915), yang merenggut sedikitnya6.4963.000 nyawa warga sipil dari 11 negara Eropa, dan perang dunia II (1939-1945) sekitar 50-70 juta orang yang mati akibat perang. Pada rezim Pol Pol (1928-1998) di Kamboja pun tak luput dari perilaku tak manusiawi serupa. Pol Pot masuk dalam pusaran pelaku kekerasan saat ia menjadi Perdana Menteri tahun 1976-1979 di negara itu.
Pol Pot membuat penduduk kota pindah ke pedesaan untuk bekerja di pertanian secara kolektif dan proyek kerja paksa, akibat gabungan dari eksekusi. Ditambah juga dengan kondisi kerja yang berat, kekurangan gizi, dan perawatan medis rendah membuat kematian sekitar 25 persen dari total penduduk Kamboja mati. Totalnya, diperkirakan 1 sampai 3 juta orang dari populasi yang sedikit lebih dari 8 juta meninggal karena kebijakannya yang hanya bertahan sampai empat tahun.
Sepanjang tahun 2015, kelompok ekstrimis Boko Haram(Anti Pendidikan Barat) yang berlokasi di Kamerun, Chad, Niger, dan Nigeria telah menghancurkan 1.100 sekolah di kawasan yang mereka kuasai di sekeliling Danau Chad. Kelompok ekstrimis yang menebarkan kekerasan sejak tahun 2009 itu telah menewaskan sedikitnya 17.000 orang, sebanyak 2,6 juta orang pun terusir dari rumhanya. Dan,2,2 juta orang yang menjadi korban dalam kejadian ini adalah warga Nigeria.
Begitu gambaran singkat tentang betapa kejamnya para manusia yang satu bagi sesama manusia yang lain dalam sejarah umat manusia yang masih terus terjadi hingga saat ini. Di mana, ada sebagian tragedi kemanusiaan terjadi secara masif, tetapi berlangsung secara gradual dan sistematis. Namun, ada juga yang korbanya sedikit, tetapi terjadi secara simultan atau serentak dalam waktu yang bersamaan.
Namun, jabaran sejarah kekerasan masa lalu tersebut tidak mengurangi makna dari peristiwa memilukan di Paris, akhir pekan kemarin. Tentu, hanya bagi orang-orangyang tidak waras saja yang bisa menyatakan peristiwa itu adalah sesuatu yang menyenangkan.
Dalam dimensi kemanusiaan, tidak ditakar berapa jumlah korban atau intensitas kejadian itu? Tetapi, yang menjadi prioritas adalah mengapa tindakan tak terpuji itu harus terjadi? Jika,teror seperti ini terus terjadi, hanya akan mengancam perdamaian dunia dan merongrong nilai-nilai kemanusiaan universal yang dihormati bersama.
Tindakan para teroris ini tak lain, mereka sengaja menciptakan ketakutan yang making besar dan berkepanjangan. Bukan saja masyarakat Perancis, tetapi untuk seluruh dunia juga ikut merasakan atmosfer teror tersebut. Kelompok militan Islam, al-Qaeda pimpinan Osama bin Ladin juga pernah melakukan penyerangan pada 11 September tahun 2001 di beberapa tempat penting diAmerika Serikat (AS). Mereka melakukan penyerangan terhadap kedua menara kembar Pusat Perdagangan Dunia (/World Trade Center /WTC) di New York City dan Pentagon di Airlington, Virginia. Tercatat sedikitnya 3.000 jiwa yang tewas dalam seranganhoror yang berlangsung pada pemerintahan Jos W. Bush itu.
Setelah serangan di WTC dan Pentagon, jaringan teroris internasional ini juga melakukan aksi yang sama di Indonesia, yang dikenal dengan Bom Bali I, 12 Oktober 20012, dan dan Bom Bali II, 1 Oktober 2005. Masing-masing dari kejadian ini, Bom Bali I renggut 202 jiwa, 209 orang luka-luka, sementara Bom Bali II sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka. Memang, tujuan utama dari para pelaku teror adalah ingin menciptakan ketidaknyamanan (disorder) demikian.
Mereka menginginkan agar dunia makin tidak tenteram (atau tidak aman), sehingga dengan mudah mereka menguasai dunia. Setelah menguasai dunia, dengan mudah juga mengembangkan ideologi mereka yang terbungkus dalamNegara Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang diperjuangkannya.
Setelah angin teror di Paris itu berembus ke seluruh dunia, malam, setelah kejadian itu, Mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan juga sangat menyesalkan serangan di Paris tersebut. Annan menulis di akunfacebooknya,serangan ini sangat mengerikan dan telah merenggut nyawa orang-orang tak bersalah. “Mari kita semua jangan jatuh ke dalam perangkap kebencian dan dendaman. Pikiran dan doa kami selalu bersama para korban, orang yang mereka cintai, dan semua orang-orang Perancis,” tulis diplomat kowakan asal Ghana itu.
Seruan moral juga datang dari Tahta Suci Vatikan oleh Paus Fransikus. Paus Fransiskus juga terkejut dengan serangan mendadak terorisme di Paris tersebut. Bahkan, pemimpin 1, 3 miliar umat Katolik sedunia itu, menyebutkan serangan di Paris merupakan sepotong dari sedikit demi sedikit Perang Dunia Ketiga(Third World War). Dia juga mengucapkan belasungkawa yang dalam kepada para korban. “Kepada keluarga korban saya berdoa untuk mereka (para korban) semua,” kata Paus Fransiskus, Sabtu (14/11) melalui konferensi jaringan televisiresmi Uskup Italia, TG2000.
Terpisah, Presiden Amerika Serikat Barack Obama—pun ikut mengecam serangan di Paris yang telah menggerus nilai-nilai kemanusiaan. “Ini adalah serangan terhadap kemanusiaan dan nilai-nilai universal yang kita anut. Kami siap untuk membantu pemerintah dan rakyat Perancis untuk merespon situasi ini,” kata Obama sebagaimana dilansir Reuters, Sabtu (14/11/2015.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam keras rangkaian serangan di Paris itu. Rakyat Israel, tutur Netanyahu akan bersama dengan Perancis memerangi terorisme. Untuk menyatakan duka, Israel juga mengibarkan bendera setengah tiang.
Hal senada disampaikan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. ”Rakyat kami sungguh-sungguh terkejut dan marah. Banyak di antara kami sedih atas serangan pada warga sipil di kota Paris yang indah. Kami menyampaikan rasa simpati dan solidaritas kepada rakyat Perancis serta keluarga korban,” kata Abbas. (Kompas,17 November 2015).
Islam selalu menjadi momok atau diidentikan dengan teroris. Padahal, agama Islam tidak mengajarkan kekerasan demikian. Ajaran Islam mengajarkan kebaikan bersama, sebagaimana diajarkan oleh agama-agama yang lain. Bahkan, sejumlah tokoh Islam dunia, bukan saja tidak setuju dengan kejadian Paris atau peristiwa terorisme lainnya, tapi mereka juga merasa telah dipermalukan oleh oknum-oknum teroris yang mengatanamakan Islam.
Membuka diri
Setelah Paris didera serangan teroris, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melakukan berbagai langah persiapan atau pencegahan terhadap berbagai serangan susulan yang akan terjadi di negara ini. Hal itu merupakan langkah terbaik sebagai satuan tugas penjaga keamanan dan pelayanan masyarakat.
Namun, yang lebih penting bagi Polri, termasuk pemerintah adalah melakukan berbagai langkah pendekatan dengan semua komponen bangsa. Para pemimpin dan komunitas dari enam agama di Indonesia menjadi simpul terpenting yang harus didekati oleh pemerintah.
Pendekatan yang dilakukan harus benar-benar menyentuh pada semua komunitas, baik di kampus, keluarga, sekolah-sekolah, pesantren, seminari, dan asrama-asrama.Mereka diajak berdialog, duduk bersama, dan saling berbagi rasa (solider) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka diberikan edukasi dan ceramah untuk jangan mudah terpengaruh dengan ideologi sesat teroris, dan tinggalkan semua sentimen dan kebencian yang hanya membawa malapetaka bagi sesama umat manusia.
Jalan terbaik untuk mengakhiri kekerasan seperti ini adalah jalan kasih, cinta, dan perdamaian. Karena banyak sejarah dunia telah memperlihatkan, kekerasan dibalas dengan kekerasan takkan menyelesaikan masalah. Justru itu memperpanjang mata rantai kekerasan baru yang lebih besar dan bertahan lama, dan akhirnya hanya meninggalkan reruntuhan puing-puing belaka.Fakta lain juga, adalah triliunan dollar AS telah habis terpkai, 100.000 lebih tentara AS dan lebih dari 32.000 tentara Pakta Pertahanan Atlantik Utara(NATO) yang dikirim ke Afganistan pada tahun 2009—tak mampu memerangi terorisme di sana. Justru itu membuat teroris makin eksis dan menyeruak ke mana-mana, di seluruh pelosok dunia. Benar-benar dunia hari ini menjadi rezim teroris.
Maka, jalan damai menjadi solusi terbaik bagi masa depan dunia yang lebih baik. Hal ini tak luput dari ungkapan terkenal Martin Luther King Jr (1929-1968), pendeta, teolog, dan peraih Nobel Perdamaian (1963), dan aktivis HAM Amerika Serikat, “Darkness cannot drive out darkness, only light can do it. Love cannot drive out hate, only love can do it! kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan, hanya cahaya yang bisa. Kebencian tidak bisa mengusir kebencian, hanya kasih yang bisa!”.
Tercapainya dunia yang aman, tertib, dan damai, serta bebas teror, maka semua pihak harus membuka diri, saling bersolider sebagai sesamamahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Menjadikan dunia yang adil dan damai merupakan dambaan kita semua.
Selanjutnya, untukmenjaga kedamaian dalam negeri, bukan saja menjadi tanggung jawab Polri, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Pemerintah, atau para pemimpin agama. Tetapi, itu menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara Indonesia. Bellum pacis pater, perang adalah bapak dari perdamaian, namun pax melior est quam iustissimum bellum, perdamaian lebih baik ketimbang perang yang beralasan, begitu kata orang Latin.Selamat berdoa untuk Paris dan dunia! Semoga.
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis (LKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, periode 2013-2015.