
Oleh: Thomas Ch. Syufi
Selain derita tiada akhir, lirik lagu Black Brothers itu,syukur tiada akhir juga layak dialamatkan kepada Bank Papua. Yang dengan bijaksana mengundang kelompok musik legendaris Black Brothers dari Negeri Belanda dan Indonesia untuk menghibur masyarakat Papua di Lapangan Borarsi, Manokwari, Papua Barat, Sabtu (16/2016), saat perayaan hari ulang tahun Bank Papua yang ke-50.Walaupun gerimis hujan mengguyur, para penggemar Black Brothers tetap bertahan dan terus bersemangat untuk menyaksikan atraksi Black Broters di panggung terbuka. Lautan manusia menutupi lapangan Borarsi, bahkan jalan raya dan beberapa jalan setapak di pinggir lapangan ikut macet. Memang, tidak beda dengan penggemar Persipura. Penonton bukan saja orang asli Papua, yang keriting dan berkulit hitam, tapi ada juga saudara-saudara non Papua pun cukup banyak yang mewarnai event tersebut.
Hal ini mengingatkan kita, tiga tahun lalu, di beberapa sudut Kota dan Kabupaten Jayapura, di antaranya di depan Makam tokoh Papua Theys Hiyo Eluay, Sentani, depan Kantor Pengurus Pusat Majelis Muslim Papua (MMP), Padang Bulan, Abepura, dan dekat pertigaan Polimak.
Di tempat tersebut, tampak baliho besar, dilengkapi foto dan pesan-pesan politik dari Sekretaris Jenderal Presidum Dewan Papua (Sekjen PDP) Thaha Moh. Alhamid, “Persipura sebagai malaikat penyelamat bagi rakyat Papua, di tengah kacau balaunya Otsus Papua.”
Pesan-pesan itu sangat bertepatan dengan eforianya masyarakat Papua merayakan kemenangan Persispura yang tengah memenangi laga Indonesia Super League (ISL) 2012-2013. Hampir sebulan lebih, masyarakat Papua terlarut dalam situasi serba wah itu, walaupun dalam kondisi menjerit, menangis, sedih, kesal, bahkan berang atas kacaunya Otsus Papua.
Selain Thaha Alhamid, yang merupakan rekan seperjuangan Theys Hiyo Eluay itu, Pimpinan Black Brothers (Hitam Bersaudara), juga diplomat senior perjuangan pembebesan Papua Barat untuk negara-negara Pasifik Selatan, Andy Ayamiseba juga kerap kali berkomentar, “Papua itu hanya dua ikon, yakni Black Brothers dan Persipura. Keduanya menjadi alat pemersatu dan inspirasi bagi rakyat Papua.”
Sangat benar juga pernyataan-pernyataan filosofis dan politik dari kedua tokoh Papua itu. Di masa lalu, era 1970an sampai 1980-an, di tengah maraknya kasus pelanggaran HAM di senator Tanah Papua yang dilakukan melalui operasi militer Indonesia, Black Brotherslah yang menjadi taman oase yang dapat menyejukkan kerongkongan masyarakat Papua. Karena anggapan grup musik besutan Andy Ayamiseba itu, hanya dengan perjuangan musiklah yang bisa membebaskan masyarakat Papua, bukan angkat senjata yang hanya akan membawa derita yang cukup panjang, atau derita tiada akhir.
Namun, setiap pejuang memiliki anggapannya masing-masing tentang pola perjuangannya untuk meraih kebebasan. Bagi seorang gerilyawan hanya melalui gencatan senjatalah kebebasan itu dicapai, bagi seorang demonstran, hanya melalui demonstrasi dan boikot kebebasan bisa digapai, bagi seorang diplomat kebebasan hanya dicapai melalui jalan diplomasi damai, bagi seorang rohaniawan semuanya tak mungkin tercapai tanpa campur tangan kuasa ilahi.
Dan bagi seorang musisi seperti Bob Marley, grup misik Black Brothers, dan Mambesak berkeyakinan besar, hanya melalui kutikan gitarnya dapat mendidik, mencerdaskan, dan menyadarkan rakyat tentang posisi, situasi, dan keadaaan yang dialaminya hingga bangkit melawan penindas untuk merebut kebebasan. Karena itu, Bob Marley musis kondang dunia dari Jamaika itu membuat lirik lagunya, yang kemudian hari dipekikkan ulang oleh Dr. Martin Luther King Jr (1929-1988), Peraih Nobel Perdamaian dunia, juga tokoh HAM orang kulit hitam AS. King ucapkan itu sebelum ia ditembak mati oleh orang tidak dikenal (penembak bayaran) saat memimpin demonstrasi damai di Memphis, Tennessee, Amerika Serikat, yakni, “We shall overcome someday (suatu ketika kita akan menang).
Sayangnya, perjuangan damai Black Brothers itu ditanggapi oleh negara (rezim Soeharto) dengan intimidasi, teror, dan ancaman pembunuhan. Akhirnya Black Brothers pun melarikan diri, meminta suaka politik ke luar negeri, ke Negeri Kincir Angin, Belanda (1980-an).
Masyarakat Papua pun kembali lesu dengan represi militer (Orde Baru) yang terus berlanjut di Tanah Papua. Maka, tampilnya Persipura, Jayapura di gelanggang sepak bola Papua adalah sebuah berkah untuk orang Papua. Bertubi-tubi Persipura merebut juara yang amat prestisius. Hal ini dapat mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua, termasuk membangkitkan masyarakat Papua yang terus hidup dalam keterpurukan hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan HAM.
Perlu diketahui, lahirnya Otsus Papua juga tak lepas dari hasil perjuangan Black Brothers. “Dalam sejarah, perjuangan Black Brothers sangat panjang. Perjuangan mereka (Black Brothers) itu yang menghasilkan Otonomi Khusus Papua yang kita nikmati, hari ini. Karena itu, jangan lagi ada yang menjerit di atas Tanah ini, kata Komisaris Bank Papua, juga Bupati Kaimana Matias Mairuma, di tengah konser Black Brothers, di Manokwari tersebut.
Namun kenyataannya, Otsus yang diberikan oleh pemerintah pusat (Jakarta) untuk tebus berbagai darah dan air mata orang Papua itu makin tidak jelas. Sejak tahun 2001, diberlakukan Otsus untuk Papua, sudah 30 triliun lebih dana Otsus telah dikanalisasikan ke Provinsi Papua dan Papua Barat, namun belum membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat Papua. Jembatan masih putus, dermaga tak layak, gedung sekolah dan rumah sakit rusak di mana-mana, karena usang, dan anak putus sekolah makin ramai di berbagai pelosok negeri—karena kurangnya biaya sekolah, sementara dana Otsus digunakan oleh elit-elit politik dan birokrat untuk berpesta pora di mana-mana (dengan keluarga, di dunia birokrasi, di Jakarta, dan Bali). Hal inilah membuat Otsus menjadi terkapar hingga“gagal” dilaksanakan di Tanah Papua.
Misalnya, sebelum kegagalan Otsus hasil evaluasi Majelis Rakyat Papua (MRP) tahun 2010. Pada tahun 2008, evaluasi Otsus yang dilakukan oleh Universitas Cenderawasih, yang hasilnya menyatakan pelaksanaan Otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat selama delapan tahun “gagal”. Pada evaluasi yang dilakukan di Aula Fakultas Ekonomi Uncen itu, Gubernur Papua, Barnabas Suebu, menyatakan “Otsus sebagai solusi tetapi solusi telah berubah menjadi masalah, maka masalah tidak bisa menyelesaikan masalah”. Ini sebuah fenomena Otsus.
Karenanya, kehadiran Black Brothers di Lapangan Borarsi Manokwari itu—setidaknya membawa secercah harapan bagi masa depan orang Papua. Meskipun Otsus kacau balau, persipura mati suri, tapi Black Brothers (tetap) menjadi malaikat penyelamat rakyat Papua. Karena,qui bene cantat, bis orat,barang siapa yang bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali. Kalimat ini diucapkan oleh Santo Agustinus dari Hippo, uskup dan pujanggagereja! Semoga.
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis (LPKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, periode 2013-2015.