Oleh Thomas Ch. Syufi*
Dua minggu lalu, 13 November 2014, saya mengisi waktu senggang dengan menyempatkan diri jalan sore di sekitar Abepura, Kota Jayapura, dengan menyusuri Kali Acai yang mengalir membentang di tengah alun-alun Distrik Abepura hingga bermuara di Teluk Youtefa, bagian timur Distrik Abepura. Abepura merupakan salah satu kecamatan atau yang dalam ketentuan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomo Khusus bagi Provinsi Papua disebut Distrik, dari Kota Jayapura.
Menurut sejarahnya, nama Abepura diambil dari kata Belanda Algmemene Begraafplats, yang artinya tempat pemakaman umum. Atau ada yang menyebut Abepura merupakan akronim dari Holandia-Binnen (HB) yang oleh penduduk asli Port Numbay (Kota Jayapura) maupun masyarakat asli Papua yang tinggal di daerah ini melafalkan menjadi “Habe” yang kemudian dikenal dengan Abe atau Abepura sampai sekarang. Dan nama ini menunjukkan nama Kota Jayapura secara umum yang pada zaman Belanda berpusat administrasi di Abepura (Hollandia Binnen) dan Hollandia Haven (Jayapura Utara). Hollandia adalah nama yang diberi oleh Kapten Infanteri FJP Sachse dari Kerajaan Belanda pada tanggal 7 Maret 1910, yaitu hol artinya lengkung dan land artinya tanah, yang secara keseluruhan menggambarkan topografi dan geografi Kota Jayapura sebagai tanah yang tidak merata, melengkung, berteluk, dan berbukit (mirip dengan garis pantai utara Negeri Belanda). Sama halnya Kota Jayapura pun telah beberapa kali mengalami perubahan nama, dan nama adalah suatu pertanda (nomen est omen).
Kota yang terbentuk melalui besleit (surat keputusan) Gubernur Irian Barat (Nugini Barat) No. 4 tanggal 28 Agustus 1909 ini pertama bernama Hollandia (1910), kemudian berubah menjadi Kota Baru (1962), Soekarnopura (1964), dan Presiden Soeharto mengubah menjadi Kota Jayapura pada tahun 1968. Yang mana secara etimologis, Jayapura berasal dari bahasa sanskerta, yaitu jaya yang berarti kemenangan dan pura, yang berarti kota, hingga Jayapura berarti kota kemenangan. Mungkin saja, asumsi Presiden Soeharto memberi nama kota kemenangan atau Jayapura ini merujuk pada status Papua yang secara de facto saat itu telah direbut oleh Indonesia melalui Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 dan transfer kekuasaan Irian Barat dari Belanda ke Indonesia melalui Badan Administrasi Sementara PBB (United Nations Temporary Executive Authority/UNTEA) pada tanggal 1 Mei 1963 meski mayoritas masyarakat Papua saat itu memprotes hal tersebut, termasuk menentang hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Dan Jayapura menjadi pusat dari segala urusan administrasi pemerintahan Irian Barat pada zaman Belanda sampai sekarang di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia. Kota dengan luas mencapai 940 km persegi atau 940.00 hektare yang terdiri dari 5 distrik dan 25 kelurahan serta 14 kampung ini menjadi salah satu kota tertua di Tanah Papua yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Sekaligus sebagai kota teramai, juga dijuluki sebagai kota pelajar sejak dibukanya berbagai sekolah dasar dan menengah atas, serta berdirinya Universitas Cenderawasih 10 November 1962 di Abepura.Itulah tapak tilas nama Jayapura yang dulunya dikenal Hollandia yang memiliki beragam cerita dalam sejarah (story in history), yang sangat unik, eksotik, romantik, dan dramatik dalam perjalanan hidup orang Papua, terlebih khusus masyarakat Port Numbay (penduduk asli Kota Jayaura). Misalnya, salah satu peristiwa penting yang pernah terjadi adalah pada tahun 1942 pasukan Sekutu mendarat di Hollandia dan menjadikannya sebaga salah satu pangkalan (basis) pertahanan militernya, hingga sukses mengusir Jepang pada 21 April 1944, sekaligus mengalahkan Jepang dalam Perang Pasifik tahun 1945.
Demikian halnya Abepura memiliki taburan kisah dan cerita yang menarik dan ikonik, entah dari aspek sejarah, politik pemerintahan, sosial, dan budaya, juga panorama alam yang indah, termasuk Kali Acai nun eksotik: jernih, bersih, dan punya multi-manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitar Abepura di masa lalu. Karena itu, saya pun melanjutkan perjalanan sore itu, selama 45 menit menyusuri bantaran Kali Acai dari jembatan jalan Raya hingga di muara, di Teluk Youtefa.
Sepanjang perjalanan saya mengamati kondisi aliran air Kali Acai yang kian menyusut karena hampir seluruh permukaan air dipenuhi berbagai sampah, terutama sampah industri rumah tangga seperti plastik, botol, kaleng, ban bekas, kabel, gabus sintesis, aluminum, kaca, dan, besi. Karena tumpukan sampah yang kian meroket dan tak terkendalikan di beberapa ruas aliran air, terutama di bagian kolong jembatan penyeberangan, termasuk jembatan penyeberangan dekat tikungan jalan masuk ke Pasar Youtefa, tampak limbah plastik dan botol serta berbagai jenis sampah lainnya berserahkan dan mengampung di permukaan air dan menyesaki (menghambat) rute aliran air ke muara. Dari pembuangan sampah sembarangan di kali juga membuat penumpukan di dasar kali, dan kali juga dikerumuni lumput liar yang kian marak, ini dapat menimbulkan lumpur dan membuat kali menjadi dangkal, kemudian menghambat sedimen dan benda-benda lainnya dalam aliran kali.
Air kali tampak hitam pekat dan mengeluarkan aroma tidak sedap, bau sampah yang amat menyengat dapat mengganggu siapa pun yang di hendak lewat, termasuk warga sekitarnya. Lokasi kali yang panjangnya sekitar 1500 meter dan lebarnya sekitar 9 meter ini pesis di pemukiman warga, dan kondisi ini membuat kali tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh warga untuk melakukan berbagai kegiatan, baik mandi atau mencuci, misalnya. Padahal, menurut Marthen Bano (72), warga RT 03/RW 04, Kelurahan Kota Baru, Distrik Abepura, Kota Jayapura yang saya menjumpainya saat ia berjalan kaki melewati jalan di bantaran Kali Acai untuk menjemput istrinya yang berjualan di Pasar Youtefa, mengatakan, Kali Acai dulunya bagus, lebar, dan jernih, dan sering digunakan oleh warga sekitar. “Dulu tahun 1960-an-1970-an, penduduk masih sedikit, jadi Kali ini (Acai) memang sangat bersih dan besar dari sekarang, mengalir deras, dan ada banyak kolam yang dijumpai saat itu, jadi sering kita gunakan untuk mandi, masak, mencuci, bahkan minum mentah (tanpa rebus),” kata Bano, Rabu (13/11/2024).
Ia mengatakan bahwa setelah tahun 1970-an sampai sekarang karena maraknya penduduk yang berdatangan dari luar Papua maupun luar Kota Jayapura, termasuk kurangnya kesadaran warga untuk membuang sampah pada tempatnya akibat ketiadaan penyediaan tempat pembuangan dan pengelolaan sampah yang baik dan tepat, membuat warga kerap secara serampangan membuang sampah ke kali. Ia pun mengatakan masalah pembuangan sampah ke kali merupakan sesuatu yang sudah bertahun-tahun lamanya, pelik, dan belum diurai oleh pihak yang berwenang, terutama Dinas Kebersihan Kota Jayapura. “Dulu Walikota Jayapura Pak Benhur Tommy Mano (kini calon Gubernur Papua Nomor Urut 1 dari PDI-P) itu bagus, hampir setiap hari Jumat dilakukan pembersihan sepanjang kali ini (Acai) sampai ke muara ( Teluk Youtefa), tapi sekarang (pemerintahan pasca-Tommy Mano), tidak ada lagi pembersihan di kali, jadi sekarang kali makin kotor, bau, dan kalau musim hujan terjadi banjir dan meluap yang berdampak pada kami warga sekitar ini,” ujar Kepala Suku Bano dari Genyem, Kabupaten Jayaura ini.
Saya pun melanjutkan perjalanan mengikuti bantaran kali menuju ke muara, di Teluk Youtefa. Sampai di sana, hari sudah memulai petang. Terlihat jembatan mungil yang baru saja dibangun oleh pemerintah dengan beton namun sebagian tanggulnya (sekitar 15 meter) sudah runtuh dan belum ada perbaikan. Tampak laut pun berwarna keruh, sampah bertebaran di berbagai sisi tepian pantai, ada juga tersangkut di akar-akar pohon mangrove yang kian menyusut karena penembangan liar. Saya terngiang sekitar tahun 2010 silam, saya berda di tempat ini. Saat itu, saya mewakili Badan Eksekutif Magasiswa (BEM) Fakultas Hukum-Universitas Cenderawasih hadir memenuhi undangan dari seorang aktivis lingkungan Kota Jayapura Andre Liem, untuk menanam pohon bakau (mangrove) di sekitar Pantai Youtefa. Kala itu, panorama alamnya cukup indah, pohon bakau berjajar rapi di sepanjang bibir pantai, hijau dan menyejukkan mata, dengan jembatan papannya yang memanjang dan condong ke tengah laut, bahkan pengunjung lokal pun wara-wiri, datang pergi silih berganti untuk menikmati wisata nan eksotik itu. Begitulah manfaatnya air untuk kehidupan, aqua est vita , air adalah sumber kehidupan, atau aqua maris est fons omnia vitae (air laut adalah sumber segala kehidupan). Menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 37/kpts/Um/6/1978, Terluk Youtefa ditetapkan sebagai kawasan taman wisata yang luasnya sekitar 1.650 hekatare mencakup lahan daratan maupun teluk.
Namun, kini semua keindahan Teluk Youtefa itu menjadi sirna. Tampak air laut di pantai Teluk Youtefa sampai ke laut di Kampung Enggros tercemar akibat berbagai limbah yang terhanyut dari Kali Acai, dan sistem drainase (kanal) yang dibuat oleh pemerintah juga tidak memberikan jaminan untuk mengalirkan air secara teratur dan menciptkan kondisi air yang bersih, justru air menjadi tergenang dalam kanal, dipenuhi sampah dan rumput liar. Ini sangat berdampak buruk bagi segala ekosistem yang hidup di sepanjang laut Youtefa, termasuk pengrusakan hutan mangrove dan sagu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. “Dulu sebelum tahun 2010, ini daerah wisata yang bagus, indah, dan biasanya ramai dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam (pukul 20.00WIT). Sekarang mah, pantainya sudah rusak, tempat wisata berubah jadi tempat orang mabuk, seram, lautnya pun sudah kotor dan ini berdampak buruk bagi ikan, juga kesehatan masyarakat di Kampung Enggros,” kata Abdul Rahim (63), warga RT 01/RW 04, Kelurahan Yobe, Distrik Abepura, Jayaura, Rabu (13/11/2014).
Saya melihat jam di telepon genggamku, waktu menunjukkan pukul 17. 45 WIT. Hari sudah mulai gelap di tengah-tengah hutan mangrove, kawanan burung laut terbang beriringan melintas di atas langit, burung-burung kecil berkicauan berhamburan keluar dari semak belukar yang menjalar sampai menyentuh permukaan laut—saling bersahutan dan suara jangkrik menggelegar memecah kesepian dan mengiringi sepanjang perjalanan saya di Pantai Youtefa sore itu. Saya pun mengangkat kepala melihat ke balik gunung yang mengapit Teluk Youtefa, tampak langit yan memerah mulai berangsur-angsur hilang. Matahari hilang, langit gelap, satu dua titik cahaya di langit muncul, bulan sabit pun mulai menampakkan wajahnya, menggantikan tugas matahari. Ada seberkas cahaya harapan yang dibawa oleh bulan sabit. Konon kata orang, bulan sabit membawa cahaya perubahan yang berdimensi kemanusiaan, sebagaimanya simbolnya dalam organisasi Palang Merah Internasional (PMI), yang bertujuan membantu orang-orang terluka dalam bencana atau pertempuran tanpa membedakan korban.
Bulan sabit mengedepankan prinsip kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan, dan kesemestaan. Bulan sabit sebagai simbol harapan baru, kesucian, kekuatan, dan kehidupan, termasuk penjaga dan melindungi segala isi cipataan-Nya, baik manusia, tanah, kali, laut, hutan, dan kota secara keseluruhan. Dan salah satu cara untuk menjawab akumalasi dan cita-cita luhur tersebut adalah dengan ikut berpartisiasi dalam memilih pemimpin Papua, termasuk Kota Jayapura yang bijaksana, visioner, jujur, rendah hati, bela rasa, berani berkorban, tidak mencla-mencle, dan teguh berkomitmen memperjuangkan perubahan, pada momentum pemilihan umum serentak kepala daerah (pemilukada) yang dilangsungkan esok tanggal 27 November 2024 di 545 daerah di seluruh Indonesia, dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Saya pun memandangi Pak Abdul Rahim yang duduk sendirian di atas sebongkah batu karang, tanpa penerangan lampu, melihat guratan wajahnya menunjukkan keteguhan hati dan senyumnya yang selalu tersungging membuat dia menjadi sosok yang mudah berinterkasi dengan siapa saja, termasuk perkenalan awalnya dengan saya saat itu. Saya kembali menoleh ke ufuk barat—semua sudah gelap saya—pun berpamitan dengan Pak Abdul Rahim, dan bergegas untuk pulang ke rumah. Wanyambe!
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*) Penulis adalah Advokat dan warga Kota Jayapura