
Oleh : Nasarudin Sili Luli
Jika dilihat dari pola, Pilkada yang dihelat dengan hanya satu kandidat saja umumnya diikuti oleh petahana. Kandidat ini umumnya memiliki modal popularitas dan elektabilitas yang amat tinggi. Petahana-petahana tersebut kerapkali unggul telak pada berbagai survei jelang Pilkada. Popularitas petahana yang demikian tinggi membuat posisinya sulit dijungkalkan. Di atas kertas, petahana-petahana tersebut akan menang mudah melawan kandidat manapun. Disinyalir inilah yang membuat kandidat lain enggan mendaftar dan bertarung melawan mereka.
Umumnya basis dukungan publik begitu kuat bagi petahana tersebut. Dukungan publik cenderung mengarah kepada satu nama saja. Akan bertambah sulit lagi jika petahana tersebut memiliki segudang prestasi atau jarang diterpa isu miring.
Parpol-parpol juga memperhitungkan kondisi tersebut. Ketimbang berjudi lalu babak belur dengan kandidat baru, mereka cenderung lebih senang mendukung calon yang lebih populer. Oleh karena itu, banyak parpol yang akhirnya bersekutu mendukung petahana yang menjadi calon tunggal atau tidak mendukung kandidat manapun.
Kondisi ini menjadi penanda bahwa mesin partai tidak berjalan dengan baik. Kaderisasi parpol tidak berhasil memunculkan nama-nama baru yang dapat menyaingi kandidat petahana. Dalam konteks ini, parpol gagal menghasilkan kandidat mumpuni dengan popularitas setara dengan petahana.
Disinyalir, Pilkada yang dilaksakanakan secara serentak memiliki pengaruh pada kondisi ini. Parpol tidak siap dengan pilkada yang dihelat berbarengan sehingga kelimpungan mencari calon. Salah satu solusi paling instan adalah mendukung kandidat dengan popularitas paling tinggi.
Kondisi ini merupakan ironi. Di sistem multipartai, seharusnya terjadi surplus kandidat berkualitas yang mewakili parpol masing-masing. Akan tetapi, parpol-parpol justru bermain aman dan tidak mendorong kader untuk melaju di Pilkada. Selain kesulitan menandingi kandidat yang lebih kuat, Pilkada dengan satu pasangan calon juga dimungkinkan terjadi akibat biaya politik yang tinggi. Sudah bukan rahasia kalau parpol kerap meminta mahar kepada calon, agar dapat diusung dalam pemilihan umum. Hal ini dapat mengganjal suatu kandidat mendaftar ke parpol untuk mengikuti Pilkada. Selain itu, rumitnya persyaratan juga menjadi salah satu pemicu kondisi ini. Hal ini terutama berlaku pada calon yang akan menempuh jalur perseorangan. Persyaratan dukungan minimal KTP kerapkali menjadi sandungan bagi mereka, sehingga niat untuk melaju di Pilkada pun diurungkan.
Meski menjadi solusi bagi kebuntuan yang ada, Pilkada dengan calon tunggal dapat menjadi sinyal bahaya bagi pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Salah satu yang paling dirugikan adalah partai politik.
Kaderisasi di internal parpol akan mengalami gangguan berat akibat fenomena ini. Parpol akan memilih calon yang lebih mudah menang ketimbang mengusung calon dari rahim sendiri. Akibatnya, tidak ada kader-kader baru yang mumpuni untuk membangun suatu daerah.
Mekanisme internal di dalam parpol jadi mandek jika fenomena ini terus berlanjut. Proses rekrutmen dan kaderisasi politik sebagai fungsi parpol tercederai akibat kondisi ini. Lama-lama, parpol bisa saja tidak perlu lagi merekrut kader secara berjenjang karena lebih memilih kandidat populer. Publik secara luas juga mengalami kerugian akibat fenomena ini. Masyarakat tidak disuguhkan alternatif untuk mengukur dan membandingkan suatu pasangan calon. Akibatnya, calon petahana tidak perlu menunjukkan narasi atau program yang inovatif. Tidak adanya pembanding membuat program apapun saat kampanye akan ditelan publik mentah-mentah.
Jika berlangsung jangka panjang, Pilkada dengan calon tunggal juga bisa saja menurunkan angka pemilih. Minimnya opsi dapat membuat masyarakat enggan pergi ke bilik suara. Apatisme pada politik bisa saja muncul akibat calon tunggal ini.
Masyarakat juga dirugikan karena ada kemungkinan kekuasaan akan dipegang oleh segelintir elit saja. Kekuasaan berpotensi hanya berputar di antara kepala daerah dan parpol pendukung saja. Hal ini tambah berbahaya jika ada transaksi antara kepala daerah dengan parpol. Ada potensi isu publik akan dikesampingkan untuk memuluskan kepentingan parpol terlebih dahulu.
Jangan lupakan pula sistem checkandbalances pada calon tunggal yang didukung banyak parpol. Tidak ada oposisi membuat posisi kepala daerah terlampau kuat. Segala kebijakan kepala daerah bisa saja dengan mudah disetujui tanpa kritik. Hal ini dapat membuat kualitas kebijakan yang dinikmati publik tergolong rendah. Kondisi lebih buruk seperti korupsi juga bisa saja terjadi jika pengawasan berjalan dengan buruk.
Pilkada dengan calon tunggal memang tidak selamanya buruk. Akan tetapi, demi masa depan demokrasi, fenomena ini perlu dikikis secara perlahan. Hal ini sendiri baik bagi parpol untuk meningkatkan kelembagaan partai. Idealnya, parpol melakukan kaderisasi secara maksimal agar publik disuguhkan alternatif dan perang isu yang baik. Kompetisi sehat berbasis wacana juga tentunya dapat membantu masyarakat mendapatkan kepala daerah dengan kualitas yang mumpuni.
Penulis adalah Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan