Beranda Artikel Catatan Paradoks: Adat dan Agama di Papua

Catatan Paradoks: Adat dan Agama di Papua

183
Budaya asli Kamoro di Papua. (Foto: Ist/)

Oleh Alex Runggeary

Peristiwa perampasan tanah dan hutam milik orang Malind semua orang tak berdaya berhadapan dengan tangan besi negara. Walau bagaimanapun masyarakat telah berjuang dengan berbagai bentuk untuk mempertahankan hak leluhurnya.

Saya menonton aksi seorang ibu dan saudara saudaranya memasang – sasi*) dalam bentuk pelepah muda kelapa yang diikat pada beberapa kayu membentuk kepala, tangan, badan dan kaki. Pada bagian tengah badan lilitan daun kelapa muda itu begitu ketat seperti tidak memberikan sedikit nafaspun kepada si patung sasi.

Ketika orang orang perusahaan datang dengan polisi dan tentara untuk membongkar patung sasi, ibu itu melarang mereka. Tetapi mereka ngotot dan membongkar dan mencabut patung sasi daun kelapa muda itu. Keluarga si ibu mau mengamuk dan bicara banyak. Tetapi si ibu melarang mereka tidak usah ribut, biarkan saja katanya. Saya berpikir mungkin saja si ibu melarang karena kalau tidak kesaktian sasi akan hilang. Mungkin merupakan bagian pengorbanan. Akhirnya patung sasi itu dicabut dan dibawa pergi entah dibuang ke mana.

Dalam adat istiadat SASI, membongkar sasi adalah mengundang malapetaka kepada mereka yang berani melanggar sasi apalagi membongkar dan mencabutnya. Orang akan mati beruntun sekarang atau anak keturunannya. Koq bisa. Ya itulah yang namanya ADAT. Apa itu sesungguhnya ADAT? Tentu saja perilaku keseharian penduduk yang dilakukan secara ketat sesuai ketentuan tak tertulis secara turun temurun.

Orang Papua zaman dahulu sebelum mengenal Agama mereka sangat yakin dan percaya pada kekuatan pemeliharaan leluhur mereka. Mereka percaya leluhur mereka selalu berada di sekitar mereka dan bersedia membantu mereka pada situasi yang sulit kalau mereka meminta dengan melakukan upacara khusus seperti membaca mantra, memberi sesajen seperti siri pinang dan rokok. Atau bernyanyi lagu tanah dengan nada ratapan melengking sambil mengundang kematian datang mewujudkan diri dalam bentuk patung sasi. Kepercayaan ini pada masanya adalah nyata.

Pada hari ini kata Adat menjadi kata sakti untuk kebanyakan orang Papua. Merasa kalau sudah bicara Adat tidak ada lagi tandingannya. Tujuh wilayah Adat yang digember-gemborkan sesungguhnya adalah penggolongan Adat secara kewilayahan tanpa struktur dan strict line yang jelas. Bila ada benturan antar sesama suku yang sama wilayah belum tentu bisa segera akur. Jangankan suku Adat sewilayah, sekampung sekalipun belum tentu seia-sekata karena struktur yang mulai kabur. Kecuali wilayah Adat seperti Sentani yang punya Ondoafi. Atau di jazirah Onim yang punya Raja. Itupun kekuatannya sudah melemah seiring kemajuan zaman yang diwakili oleh variabel baru dalam kehidupan sosial seperti tingkat pendidikan yang identik dengan pengetahuan yang luas ikut serta mempengaruhi kewibawaan sang tokoh.

Kembali ke soal kesaktian Adat yang semakin melemah itu karena dasar kekuatan yang bergantung pada sumpah leluhur itu dihilangkan oleh kepercayaan baru yaitu Agama. Pada Agama Katolik penghormatan kepada leluhur misalnya yang diwakili oleh ukiran patung masih diterima di lingkungan Gereja. Selain itu semua bentuk sembah berhala dibakar habis. Lalu di mana kekuatan Adat itu? Sudah tak ada lagi selain membayangkan dan berharap pada sesuatu yang tidak mungkin. Kini Agama telah menggantikan peran kekuatan roh roh leluhur.
—————-
*) Sasi adalah Tanda Larangan yang sangsinya bisa macam macam termasuk kematian.

📰 GOOGLE NEWS