Beranda Polhukam Chavez dan Jokowi

Chavez dan Jokowi

1862
Thomas Ch. Syufi (Foto:Dok Pribadi)
Thomas Ch. Syufi,SH    (Foto:Dok Pribadi)

Oleh Thomas Ch. Syufi,SH

Ada pepatah dalam bahasa Latin berbunyi de mortuis nil nisi bene, yang artinya, tentang yang meninggal hanya yang baik-baik—untuk dibicarakan dan ditulis. Demikianlah harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Orang yang baik meninggalkan nama baik dan orang jahat akan meninggalkan nama buruk yang tercemar. Demikian tokoh dan pemimpin besar dunia Hugo Rafael Chavez Frias (1954-2013), juga mati meninggalkan nama baik.Berbeda dengan negara lain dalam julukannya, Amerika Serikat (AS) misalnya, disebut Uncle Sam atau Negeri Paman Sam, dan Jepang– Land of the Rising Sun alias Negeri Matahari Terbit atau juga dikenal Negeri Sakura. Tetapi yang lebih unik adalah julukan bagi negara kelahiran PresidenHugo Chavez, Venezuela–yakni The Land of Grace yang berarti tanah yang diberkati.

Sejarahnya, kata itu pertama kali diucapkan oleh seorang penjelajah dan pedagang asal Genoa, Italia, Christopher Columbus (1451-1506) saat berlabuh di sana, pada tahun 1498, setelah ia menyebrang Samudra Atlantik dan menemukan benua Amerika pada tanggal 12 Oktober 1492.

Memang, Venezuela merupakan tanah yang diberkati, karena bukan saja memiliki lanskap alam yang sangat mempesona, dari Angel Falls yang merupakan air terjun tertinggi di dunia sampai kepulauan Los Roques yang penuh terumbu karang, tetapi juga memiliki seorang manusia setengah ‘dewa’ yang pernah lahir dan kemudian hari memimpin negeri itu, Hugo Chavez. Dari Venezuela-lah lahir seorang pemimpin besar yang berani, visioner, dan merakyat,Hugo Chaves.

Suatu malam, pada Februari 1992, Hugo Chavez yang berpangkat letnan kolonel melakukan kudeta. Ia mengirimkan sejumlah tank dan tentara menyerbu Istana Miraflores di Caracas. Namun upaya kudeta yang dilakukan Chavez gagal, karena diktator militer Venezuale, Presiden Carlos Andres Perez, lari dan akhirnya Chavez dipenjara.

Setelah enama tahun mendekam dibalik jeruji besi, Chavez muncul kembali ke gelanggang politik nasional Venezuela sebagai kandidat presiden dan menang dalam pemilu.Pada 2 Februari 1999, ia dilantik sebagai Presiden Venezuela termuda yang diperhitungkan dunia. Saat itulah Chavez memulai menunjukkan kegigihannya sebagai sosok pemimpin yang populis dan kontraversial.

Ia dianggap sebagai “nabi” sekaligus “tiran”, “dibenci” tetapi juga “dirindukan”. Sejarah mencatatnya sebagai pemimpin Amerika Latin yang mengobarkan kembali api revolusi sosialis kerakyatan Bolivarian.Ia melawan neokolonialisme dengan nasionalisasi perusahaan migas untuk kemakmuran rakyat, menyerukan solidaritas internasional melawan hegemoni kapitalisme Barat dan dominasi Amerika Serikat.

 Pada masa kepemimpinannya, Chavez menerapkan revolusi Bolivarian, yaitu merubah konstitusi baru, mendirikan dewan demokrasi partisipasi, menasionalisasi sejumlah industri asing, meningkatkan anggaratan kesehatan, dan pendidikan, serta ia juga berhasil mengurangi angka kemiskinan besar-besaran. Menurut data Bank Dunia, Chavez mengurangi 62 persen jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan di Venezuela tahun 2003 menjadi 29 persen di tahun 2009. Chavez juga juga berhasil mengurangi orang buta huruf di Venezuela dalam periode enam tahun, antara 2001-2007, dari 7 persen menjadi 5 persen.

Setelah berjuang melawan penyakit kangker kronis yang menyerangnya, akhirnya Chavez wafat. Kepergian Chavez pada 5 Maret 2013 diantar isak tangis dan belasungkawa jutaan masyarakat dunia yang mengaguminya. Cahvez di masa hidupnya dijuluki “El Comandante”. Di tengah keadaan berkabung, rakyat Venezuela meneriakan pekikan perjuangan ditersukan. Selain sebagai presiden, Chaviez juga sebagai mantan pemimpin partai politik Gerakan Republik Kelima, dari tahun 1997 hingga 2007.

Kepemimpinan terbukti menentukan corak warna sejarah. Sulit dibayangkan dunia tanpa pemimpin. Negara tanpa kehadiran pemimpin pasti berjalan autopilot. Tanpa Chavez, bisa jadi Amerika Latin tetap terpinggirkan, kekayaan alamnya tetap dikuasai korporasi asing. Tanpa Chavez, Venezuela lebih dikenal dengan ratu kecantikannya, sebuah negara dengan Miss Universe terbanyak di dunia. Sepeninggal Chavez, kemelut yang melanda negeri itu nyaris tak pernah surut.

Jika dibandingakan dengan revolusi mental yang digadang-gadangkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi, masih jauh panggang dari api. Retorika. Padahal, harapan sebagian, bahkan semua rakyat di negeri ini ada pada sang presiden. Banyak persoalan bangsa yang datang pergi silih berganti, rakyat terus menjerit dan menangis, karena mereka tak bisa tiga kali makan sehari, tidak ada rumah layak untuk mereka tinggal. Harga pupuk dan BBM terus naik, petani kita capai menanam tetapi jawabannya selalu impor, sementara para pejabat negara terus berpestapora dengan uang hasil korupsi di dunia birokrasi.

Konflik KPK vs Polri yang berlarut-larut dan menyita perhatian publik Indonesia, perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia tanpa melibatkan penduduk asli dan sangat merugaikan, penembakan terhadap 5 orang siswa SMA di Paniai, Papua, 14 Desember 2014 lalu pun menjadi lenyap karena Jokowi kurang tegas. Kini, isu perombakan kabinet, penghinaan seorang menteri terhadap presiden, dan membengkaknya utang luar negeri (IMF) membuat masalah bangsa semakin rumit.

Rakyat tidak menuntut Jokowi harus seratus persen sama seperti Hugo Chaviez, tetapi paling tidak, Jokowi harus mengikuti separuh gaya kepemimpinan ideal Hugo Cahvez. Karena, bagi rakyat, pemimpin baru senantiasa menumbuhkan harapan baru, bukan saja rajin blusukan, berpenampilan sederhana, pandai berpidato, tetapi rakyat butuhkarya nyata. No Action Talk Only (NATO), hanya berbicara tanpa bertindak atau talk less do more, sedikit bicara banyak bertindak.

Sebagaimana dikatakan oleh Peter F Drucker, pendidik dan penulis asal Amerika Serikat, “Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan pencitraan agar disukai, kepemimpinan tergambar dari hasilnya, bukan atribut-atributnya.”

Visi bisa jadi kekuatan adalah kekuatan terbesar kita. Ia selalu membangkitkan daya dan kesinambungan hidup, ia membuat kita memandang masa depan dan memberi kerangka hidup tentang apa yang belum kita ketahui.

Kepemimpinan modern dihadapkan pada konteks dan tantangan yang dinamis. Namun, kinerja pemimpin tetap menjadi denyut nadi maju-mundur, hidup-mati institusi yang dipimpinnya. Seperti kata Napoleon, a leader is a dealer in hope. Pemimpin modern harus mendorong masyarakat dalam menciptakan tujuan, memperkuat kohesi sosial, menyediakan tatanan sekaligus memobilisasi kerja kolektif secara efektif.

Di era demokrasi rakyat dituntut aktif berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Kepercayaan publik juga menjadi keniscayaan.

Tak ada pemimpin yang sempurna dan sejarah telah menjadi laboratorium yang tidak sempurna. Angin dan badai selalu mengarungi nasib pemimpin, seperti dialami Chavez dan Soekarno. Mereka terbukti menjadi sosok pemimpin yang dirindukan bukan semata-mata karena jabatan, melainkan lebih pada apa yang telah mereka lakukan.

Jokowi pun akan dikenang rakyat tidak saja karena ia seorang anak tukang mebel yang jadi wali kota, gubernur, atau presiden, tetapi dari apa yang telah ia perbuat! Semoga.

*). Penulis adalah aktivis PMKRI Nasional–Sanctus Thomas Aquinas, di Jakarta.