
Akhir-akhir ini ramai di perbincangkan di publik mengenai Dana Aspirasi, tidak tanggung-tanggung dana aspirasi yang akan dikucurkan kepada Anggota Dewan RI sebesar Rp.20 milyar setiap anggota atau Rp. 11,20 trilyun untuk 560 anggota DPR RI. Alhasil anggaran yang rencananya diusulkan tersebut gagal disahkan karna menuai banyak sorotan dari berbagai eleman serta ada muatan kejangalan. Di tahun 2015 kini anggaran itu kembali dimunculkan dengan alasan yang sama oleh politisi Senayan.Komite Pemantau Legislatif (Kopel) pun menilai dengan adanya upaya para wakil rakyat mengesakan dana aspirasi tersebut artinya mereka memberiakan ruang untuk para mafia koruptor melakukan korupsi secara berjamaah dengan mengatas namakan kebutuhan rakyat. Selain asas hukum yang tidak jelas, mekanisme pelaporanya pun tidak jelas, bahkan hal tersebut tidak di atur di dalam UU MD3 dan rujukan konstitusi.
Dengan demikian, usulan dana aspirasi Rp.20 Milyar setiap anggota DPR untuk program daerah pemilihan tidaklah tepat berada pada anggaran DPR sekalipun itu melekat pada Sekretariat Jenderal DPR – RI. Demikian pula jika pengelolaan anggaran tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah sebagaimana yang diusulkan oleh sebagian besar anggota DPR. Apakah mekanismenya diserahkan langsung kepada pemerintah daerah ataukah melalui kementrian terkait. Maka perlu mekanisme khusus yang dalam implementasinya akan mengacaukan mekanisme pengelolaan dana untuk program kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Kerancuan usulan dana aspirasi Rp.20 Milyar dengan ketidakjelasan mekanisme pengelolaannya akan berdampak pada beberapa hal, antara lain kesenjangan pembangunan dan tidak adanya pemerataan dan keadilan anggaran bagi masyarakat di daerah, karena didasarkan pada daerah pemilihan. Hal ini akan semakin memiskinkan masyarakat di daerah tertinggal, karena dengan mekanisme ini dana aspirasi akan terpusat di pulau Jawa dengan penduduknya banyak.
Selain itu, dampak lain yang ditimbulkan adalah pengawasan yang lemah terhadap dana aspirasi ini karena ketiadaan mekanisme yang menjadi acuan dalam pengelolaannya. Selain besifat politis, dana aspirasi ini berpeluang banyak terjadinya penyimpangan, baik dalam proses perencanaannya maupun pada pengelolaannya.
Pada aspek perencanaan, belum bisa dipastikan apakah dana aspirasi akan ditempatkan pada Sekretariat Jenderal DPR yang melekat pada anggaran reses anggota DPR, atau dialokasikan oleh kementerian dan lembaga terkait yang pengelolaannya sama dengan dana dekonsentrasi, atau akan diserahkan kepada pemerintah daerah dalam bentuk bantuan keuangan. Pada aspek pengelolaan, dana aspirasi sarat penyimpangan dan berpeluang terjadinya praktek-praktek koruptif, baik oleh pejabat daerah, anggota DPR, pihak ke tiga atau rekanan yang akan berkompetisi melaksanakan proyek maupun pihak-pihak lain yang memanfaatkan dana aspirasi ini, misalnya calo anggaran yang menjadi perantara pejabat daerah dengan anggota DPR yang memberikan persetujuan dana aspirasi tersebut dicairkan.
Saya menilai bahwa dana aspirasi akan semakin memperlebar kesenjangan pembangunan antar daerah. Dana aspirasi yang di dasarkan pada daerah pemilihan sebesar Rp.20 Milyar per-anggota DPR menyebabkan sebaran dana atau anggaran tersebut terpusat pada daerah terbesar penduduknya berdasarkan proporsionalitas penentuan daerah pemilihan. Maka anggaran dana aspirasi akan banyak terpusat di pulau Jawa, sementara daerah-daerah tertinggal, khususnya kawasan Timur Indonesia Maluku, Papua, NTT mendapatkan proporsi alokasi dana aspirasi yang minim. Hal ini semakin memperlebar kesenjangan pembangunan dan daerah-daerah tersebut akan semakin terkebelakang.
Dana aspirasi akan memberikan peluang terjadinya perilaku korup bagi pejabat daerah dengan anggota DPR. Daerah-daerah akan berlomba-lomba melakukan loby kepada setiap anggota DPR untuk memperoleh dana aspirasi. Kondisi ini kemungkinan besar tidak terkendali. Suap pejabat daerah kepada anggota DPR terbuka lebar untuk mendapatkan dana tersebut. Di lain pihak DPR akan membuat bargening posisi. Daerah kabupaten/kota yang berpeluang mendapatkan dana aspirasi sangat tergantung dari besar kecilnya fee kepada anggota DPR yang bersangkutan, baik itu secara langsung maupun pemotongan dana aspirasi yang diterima. Daerah kabupaten/kota inilah yang berpeluang besar diberikan persetujuan untuk mendapatkan dana tersebut.
Dana aspirasi akan menyuburkan calo anggaran. Loby antar pejabat daerah dengan anggota DPR akan memberi peluang adanya calo anggaran untuk menjadi penghubung. Praktek-praktek seperti ini semakin menyuburkan perilaku korup dan jauh dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Dana aspirasi sangat politis. Pengklaiman setiap program kegiatan yang dilaksanakan di daerah pemilihan menyebabkan akan adanya polarisasi kepentingan para elit di daerah dari masing-masing Partai Politik yang memiliki kader yang duduk di DPR. Sehingga dampak yang kemungkinan dapat terjadi adalah adanya persaingan tidak sehat dalam memperebutkan pengaruh di daerah, baik dalam memperebutkan posisi strategis yang melibatkan Parpol, misalnya Pilkada maupun jabatan-jabatan politik lainnya.
Dana aspirasi yang didasarkan pada daerah pemilihan melabrak sistem perencanaan pembangunan nasional. Pogram kegiatan pemerintah harus didasarkan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) bukan didasarkan pada daerah pemilihan. Dengan demikian, dana aspirasi ini pun melabrak perencanaan dan penganggaran yang merupakan instrumen yang dibangun dari daerah kabupaten/kota, provinsi hingga pemerintah pusat. Dengan demikian dana aspirasi bisa dikatakan dana liar yang kinerja dan dampaknya tidak bisa diukur.
Dana aspirasi berupa program pembangunan daerah pemilihan dengan menempatkan program kegiatan tersebut di daerah tidak memiliki dasar hukum. Program pemerintah pusat di daerah hanya dikenal melalui program dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelimpahan sebagian urusan pemerintahan tersebut dijabarkan dalam program kegiatan K/L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari rencana pembangunan nasional dengan memperhatikan aspek kewenangan, efisiensi, efektifitas, kemampuan keuangan negara, dan sinkronisasi antara rencana kegiatan dekonsentrasi dengan rencana kegiatan pembangunan daerah (PPNo. 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan).
Pengelolaan dana aspirasi dengan menempatkan program kegiatan di daerah berdasarkan daerah pemilihan mengacaukan sistem pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta pertanggungjawaban dan pelaporannya.
Kami menegaskan bahwa sekiranya DPRD membatalkan rencana usulan dana aspirasi/program pembangunan daerah pemilihan dalam usulan RAPBN tahun anggaran 2016, karena sarat penyimpangan disebabkan ketiadaan mekanisme perencanaan, pengelolaan/pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya.
Mendorong Partai Politik bersama kader-kadernya di DPR untuk pro aktif menyerap aspirasi masyarakat di daerah, mengelola aspirasi, usulan, pengaduan masyarakat agar persoalan di daerah, khususnya daerah pemilihan masing-masing anggota DPR menjadi bagian dan prioritas yang perlu diselesaikan oleh pemerintah melalui program dan kegiatan kementrian dan lembaga yang dilaksanakan berdasarkan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Parpol perlu membekali kader-kadernya di DPR dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat, membawa ke dalam sidang-sidang DPR, mendorong dan memperjuangkan aspirasi tersebut agar pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan serta memprioritaskan apa yang menjadi usulan, aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disampaikan anggota DPR sebagai wakil mereka di parlemen.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI perlu membuat mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat, baik melalui reses, temu konstituen dan mekanisme lainnya yang dipandang efektif (tidak sekedar seremonial belaka) yang memungkinkan mekanisme tersebut bisa mengakomodir aspirasi masyarakat di daerah, menjadi bagian yang harus pertimbangan pemerintah dalam penyusunan program kegiatan di kemetrian dan lembaga.
DPR RI perlu membuat mekanisme pertanggunjawaban anggota DPR kepada konstituennya di daerah pemilihan. Hal ini penting untuk menjabarkan lebih teknis UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3 yang terkait dengan kewajiban anggota DPR untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya baik secara moral dan politik terhadap konstituennya di masing-masing daerah pemilihan.
Adapun berikut nama nama fraksi DPR RI yang setuju dan yang menolak dana aspirasi ini, diantaranya Fraksi Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP yang menyetujui, Fraksi yang menolak, Demokrat, Sebagian dari Golkar, Gerindra, Hanura dan PKB. (***)
Penulis adalah Koordinator Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Papua