
Oleh : Thomas Ch Syufi
Pada tahun 2021 dana Otonomi Khusus (Otsus) yang bersumber dari dana alokasi umum( DAU) APBN akan berakhir. Maka, Jakarta pun segera mencabut undang- undan tersebut dan menggelar referendum bagi bangsa Papua. Tidak ada intrik politik lagi bagi Jakarta untuk melakukan kamuflase kebijakan bagi Papua, termasuk Otsus. Sudah 94, 24 triliun rupiah dana Otsus yang dikanalisasikan ke Papua dan Papua Barat sejak Otsus efektif 2002- 2020 untuk membiayai 2 juta lebih penduduk asli Papua saja tidak bisa. Otsus gagal total. Dan mayoritas orang Papua telah mengingkan referendum sebagai solusi terakhir bagi orang Papua, apakah mereka tetap dalam NKRI atau merdeka menjadi negara berdaulat. Apalagi situasi dan konfigurasi politik nasional Indonesia kian memanas.
Presiden Jokowi pun terus diserang berbagai pihak dengan gerakan- gerakan moral atas kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan, terutama sangat lambat dalam mengatasi penyebaran pandemi covid- 19 yang kian larut serta kontruksi politik dinasti di mana- mana dan fondasi ekonomi nasional pun makin keropos. Ini akan menjadi erupsi yang akan meluluhlantakan daratan kekuasaan Jokowi. Sebaiknya dana Otsus yang rencana diperpanjang ke Tanah Papua pasca-2021 itu digunakan untuk menanggulangi berbagai masalah bangsa ini, Covid-19 dan lain- lain. Apalagi Kementerian Keuangan juga menghukum Veronica Koman( pengacara HAM Papua) harus mengembalikan uang 773 jùta rupiah punya negara yang diterima Veronica untuk membiayai kuliah master di Australia sejak 2016 lalu, yang membuktikan bahwa negara sudah lemah secara ekonomi dan miskin.
Jadi, Presiden Jokowi berpikir yang arif dan bijak untuk jgn ambil risiko untuk melanjutkan dana Otsus ke Papua. Jadi dana Otsus berakhir, undang- undang juga dicabut dan digelar referendum sebagai jalan untuk menghindari kekerasaan dan mengejar jalan perdamaian di Tanah Papua.
Saya harap Presiden Jokowi harus melakukan lompatan- lompatan besar bagi pembangunan demokrasi di Indonesia. Indonesia di awal transisi politik 1998 mendapat apresiasi yang luar biasa dari masyarakat internasional perihal proses demokratisasi, yang Presiden BJ Habibie bisa menggelar pemilu langsung sekaligus memberi hak penentuan nasib sendiri( referndum) bagi Timor Timur 30 Agustus 1999.
Jadi, saya mau bilang, tidak ada gunanya pertahankan Papua kalau suatu saat nanti juga akan digelar referendum atau lebih hebat lagi mengakui kemerdekaan Papua. Referndum hari ini lebih baik daripada pemerintah Indonesia bersusah payah dan mempertahankan Papua dengan segala pengorbanan, jiwa dan raga( material), namun pada akhirnya Papua merdeka. Itu sangat menyakitkan. Sebab diplomasi Papua sudah pada level yang paling tinggi. Dunia telah mengetahui situasi buruk HAM dan aneksasi politik di Papua Barat. Darah ratusan ribu orang Papua korban kekerasaan militer Indonesia akan terus mengalir, meneriakan keadilan dan kebenaran hingga merdeka. Secepatnya aliansi negara- negara Pasifik yang bersatu dalam ras Melanesia akan membawa masalah Papua ke PBB. Bila mereka meloloskan resolusi di PBB, ya, Indonesia siap isap jempol dan harus terima kenyataan.
Politik itu dinamis, standar ganda, maka pemerintah Indonesia juga harus realistis untuk melakukan kebijakan di Tanah Papua. Kebijakan Otsus hanya sebuah metode Indonesia untuk mengelabui tindakan kolonialisme di Papua. Itu namanya berjuang membangun kebenaran di atas tumpukkan kebohongan. Sewaktu- waktu semuanya akan ambruk dan hancur berantakan. Jadi, sebuah kebijakan yang tidak didasarkan pada nilai humanisme, justice, dan kebenaran akan tidak kekal, bahkan justru mendatangkan kegaduhan, masalah, dan resistensi tiada akhir. Tidak relevan lagi bagi orang Papua untuk mempraktekkan politik tidak beradab seperti dikatakan eks- presiden Amerika Serikat ke-33, Harry S. Truman(1884-1972), “If you can’t convice them, confuse them”. Di politik, kalau tidak bisa membuat orang yakin, bikin mereka bingung.
—————————–
Aktivis HAM Papua, juga mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas.