Beranda Polhukam Demokrasi Yang Belum Dewasa, Papua Duka Keadilan

Demokrasi Yang Belum Dewasa, Papua Duka Keadilan

1687
Christian Degei (Foto:Dok Pribadi)

Oleh : Christian Degei

Didunia secara umum, sangat berbeda demokrasi yang dianut di setiap Negaranya serta system implementasinya pun cukup berbeda pula sehingga kebijakan pemerintah menjadi jalan satu-satunya mengelamatkan jiwa rakyat yang fandumental.Jika  mengkajisecara teoritis soal system maka bicara tentang cara menerapkan kebijakan yang hendaknya manpu mempengaruhi setiap individu yang ada didalam Negara tersebut, namun secara khusus di Indonesia menganut system Demokrasi.

Sepintas Tentang Teori Demokrasi

Demokrasi (Democrasi) berasal dari bahasa Yunani adalah demos berarti ‘rakyat’ dan kratein artinya ‘memerintah’.maka demokrasi adalahpemerintah oleh rakyat, untuk rakyat  yang  kekuasaannya pun ada pada rakyat, bukan dominasi dari perwakilan rakyat.

Rakyat memiliki hak kekuasaan dalam menjalankan bentuk-bentuk perubahan pemerintahnya.Maka struktur kekuasaannya berfungsi sebagai fasilitator pembangunan kebebasan hak menentukan sikap kebebasan. Menurut Rousseau, demokrasi merupakan kebebasan dan kedaulatan rakyat. Titalisme demokrasi adalah milik masyarakat dalam memajukan kedewasaankepemimpinan parapenguasa srtruktural.

Demokrasi rakyat, pertama kali dipakai pada zaman purba oleh negara-negara komunis di Eropa timur. Ada hak pilih umum, orang bebas mengatakan pendapatnya dalam setiap pertemuan, tetapi kebebasan media/pers dibatasi kebebasan (suseno,2005:32). Dimensi demokrasi politik di zaman purba ini masih kemudia ditafsirkan sebagai nilai kebebasan, yang sampai saat inidi negara berkembang pun masih menganut nilai tersebut seperti di Indonesia.

Kultur demokrasi pada zaman Yunani klasik menjadi paling urgen dalam sejarah ini. Hal ini bisa dipengaruhi oleh konsep atas arate (keutamaan tertinggi)yang merupakan suatu kultur yang menjadi persyaratan yang berkembangkonsep baru yakni mengenai cita-cita politik warga negara yang cinta akan keadilan. Kemudian, konsep arate bergeser dalam kepentingan politik demokrasi (sambo, dalam sugiarto, 2008:7). Bergeser karena kultur demokrasi yang dijiwai oleh keadilan. Kehidupan setiap warga mengutakan keadilan dalam membangun cita-cita kultur politik. Paling tidak menciptakan budaya keadilan dalam membangun cita-cita kultur politik. Mungkin konteks ini menjadi konsep dan wacana pembangunan demokrasi yang mengedepankan nilai keadilan.Paling tidak menciptakan budaya keadilan dalam ranah kekuasan apolitik dan demokrasi politik.Sehingga, kemudian bergeser dalam kehidupan nyata sehari-hari ditengah masyarakat.

Membangun demokrasi tidak serta merta menjadi wacana politik dalam lingkup negara saja melainkan justru implementasi nilai demokrasi dalam pembangungan kebebasan politik dan kebebasan aspek lain. Demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan perlu disimak dari nilai humanitasnya, sehingga dapat menjaga etika kebebasan yang ditafsirkan sebagai wacana pembangunan demokrasi dalam ranah kehidupan.Demokrasi berhasil apabila rakyat merasakan dan menghayati demokrasi serta nilainya. Sehingga para politikus di Indonesia khususnya di Papua orang-orang yang “tidak jujur” pada suara hati yakni  memihak pada masyarakat Papua yang tuntutan kebebasan darinegara Indonesia.

Sesungguhnya, demokrasi atau kebebasan tidak sebatas nilai kebebasan memperoleh kekuasaan tetapi menurut saya ada tiga nilai demokrasi yang lebih mendalam yaitu Keadilan (Justice), Kebenaran (Truth), dan perdamaian (Peace).Ketiga nilai ini sangat esensial untuk diperhatikan dalam menciptakan demokrasi yang sehat dan dewasa untuk kemajuan bangsa dan merupakan mewujtkan harkat dan martabat bangsa.

Nilai kebebasan yang sesungguhnya bukan merupakan nilai tunggal pembangunan demokrasi di Papua melainkan multimakna, maka perlu dimaknai dari makna kebebasan yang sesungguhnya untuk menjaga kemajuan ideologi demokrasi negara.Ketiga nilai demkrasi yang dimaksud diatas merupakansatu kesatuan dalam memperoleh demokrasi kekuasaan yang berjiwa kedewasaan.Ketiganya saling memenuhi ruang demokrasi yang diperjuangkan di Papua. Namun nilai demokrasi menjadi indikator untuk pencapaian  nilai perdamaian dan kebenaran yang didepankan dapat memenuhi nilaikeadilan dan akhirnyadapat mengalami perdamaian kolektif bersama masyarakat.

Bagaimana konsep keadilan  itu berdampak pada nilai kebenaran dan perdamaian dalam pembangunan demokrasi di Papua?

 Pertanyaan ditanggapi secara teoritis berdasarkan konsep keadilan menurt saya bahwa keadilan merupakan milik semua orang maka terciptanya sebuah ruang publikyang membuka peluang bagi setiap orang yang berpartisipasi secara bebas dan serata di dalam perdebatan yang bertujuan untuk mencapai konsesnsus mengangkut norma –norma yang mengatur tingkah laku mereka, tanpa ada dominasi, pemaksaan dan kekerasan di dalamnya oleh penguasa terhadap masyarakat. Keadilan milik semua orang tanpa terkecuali karena kebenaran menjadi sumber primer dari keadilan tersebut.Pesta demokrasi yang sudah dan sedang berlangsung di Papua sering kali terjadi berbagai konflik vertikal maupun horizontal diakibatkan hanya kerana ketidajujuran para pemegang kekuasaan dalam hal ini kepada KPU, Bawaslu dan Mahagama Konstitusi (MK).Sehingga banyak orang Papua yang mengalami korban jiwa serta harta bendanya. Suara rakyar tidak dapat difungsikan oleh pelaku politik sebab money politik menjadi sebuah sarana sehingga money politik ini sudah, sedang dan akan menjadi budaya politik orang Indonesia lebih mengkhususkan kini para politikus Papua. Sampai kapan pun, masyarakat menjadi korban demokrasi serta para elit politik menjadi penguasa di bumi Papua.

Baliho Sebagai Simbol Kekuasan Para Politikus

Seluruh sudut kota se-Provinsi Papua terlihat baliho politik dimana-mana.Foto-foto para kandidat 01, 02 dan 03 provinsi Papua membuat mata kita bosan melihatnya. Namun dilain sisi menarik perhatian karena ada tulis bagus dari senguman manis dari para cagub dan cawagub dan juga cabub dan cawabub itu serta sebuah kalimat sebagai motto kampanye yang membuat hati penuh bertanya:

Apakah implementasinya sesuai dengan motto yang dilayangkan?

Berdasarkan pertanyaan diatas menurut saya bahwa baliho politik, motto serta foto hanya sebuah iklan belaka. Karena, foto yang terlihat dapat memberi senyuman, hanya sebatas gaya (style) tetapi realitanya didepan masyarakat lantas bermuka munafik. Apapun itu enak didengar tahu masudnyatetapi tidak tahu prakteknya.Ada  sebuah  istilah asing adalah NATO (No Action Talk Only) tetapi harus Talk Less and Do More.  Sehingga kebijakan ini realisasi tidak hanya teori lebih kepada action di masyarakat. Ini sebuah budaya demokrasi di negara kita, masyarakat mengalami kemeranaan, namun pemerintah  menjadi bintang.

Estetika tak hanya menyuguhkan pergulatan pengetahuan realitas estetika, melainkan diskursus tentang ambisi kekuasaan. Ini berarti, baliho para calon Gubernur dan wakil Gubernur provinsi Papua pada 2018 initak bisa hanya dipandang sebagai kenyataan apa adanya, melainkan memandang apa yang dipikirkan untuk masyarakat Papua lima tahun kedepan. Foto dan motto merupakan simbol kekuasaan kesementaraan yang memgambarkan masa depan yang terbatas pula karena pertarungan politik yang tak menentu hasil akhirnya. Baliho merupakan simbol kekuasaan yang sudah realisasi dan dikomunikasikan kepada masyarakat Papua. Hal seperti itulah, keadilan sebagai sarana penentu mencapai sebuah harapan masyarakat Papua lima tahun  kedepan.

Demokrasi di Indonesia masih belum dewasa,masih prematur. Karena demokrasi yang dimaknai belum memberi pendewasaan bagi masyarakat Papua karena pendidikan politik yang diperjuangkan adalah kepentingan politik kekuasaan pribadi dan kelompok.Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang membesarkan dan membahagiakan para penguasa dan kelompoknya.Sementara, demokrasi masyarakat masih berduka karena selain mencatur-maturkan pendidikan demokrasi, Negara membatasi ruang gerak masyarakat Papua. Berbagai aksi-aksi protes yag dilakukan masyakat Papua selalu dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan. Dalam kondisi ini tidak sedikit masyarakat Papua yang korban sehingga lantaran demokrasi Indonesia belum dewasa masih premature.

Negara Indonesia menganut system kedaulaant rakyat dan sekaligus kedaulatan hukumsebagaimana berbunyi “ maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu didalam suatu Undang Undang Dasar Republik Indonesia, yang berbentuk dalam  suatu susunan Negara Republik Indonesia  yang berkedaulatan rakyat”. Kemudian pasal 1 ayat 2 UUD 1945 mengatakan bahwa “ kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Berdasarkan teks konstitusi tersebut, Indonesia mengenal dua konsep dasar kedaulatan, pertama adalah kedaulatan rakyat, rakyat hakikatnya dalah pemegang kekuasaan dan puncak kekuasan dari rakyat, perwujudaan kedaulatan rakyat paling paripurna adalah keikutsertakan atau partisipasdi rakyat  dalam pengelenggara pemilu dan atau pemilukada.

Dalam konteks pengelengara kebijakan pemilukada menurut kontruksi demokrasi konstitusional, setelah terpilihnya kepada daerah dan wakil kepala daerah dan setelah komisi pemilihan umum (KPU)  Kota/Kab mengeluarkan kebijakan public atas penetapan rekapitulasi perolehan suara dan penetapan kepala daerahterpilih, kebijakan public tersebut diuji kembali kebenaran dan keabshanya di lembaga yudikatif yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutus sengketa Perselisihan Hasil Pemiluhan Umum ( PHPU) yaitu Mahgama Konstitusi . Putusan tersebut adalah putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir yang merupakan perwujudan kedaulatan hukum.Inilah hakikat kedua dari demokrasi konstitusional yaitu kedaulatan rakyat, juga selaras dengan kedaulatan hukum melalui putusan PHPU.

Praktik demokrasi konstitusional melalui pengelenggara kebijakan pemilukada oleh KPU Kota/Kab dan mengelesaikan sengketa di mahkamah melalui dua tahap kedaulat yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, menurut Sardi Isra ( dalam Gaffar:2012) titik temu keduanya merupakan  pemaknaan baru terhadap konsep demokrasi konstitusional di Indonesia demokrasi konstitusional telah menemukan jati diri dan  otentisitasnya dalam  tataran praktik pengelenggara pemilukada  dan penyelesaian sengketa pemilu, karena memenuhi dua unsur kedaulatan sebagaimana termaktup dalam konstitusi kedaulatan, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. (Argumentasi Kebijakan Uji Publik Calon Kepala Daerah, oleh DENDEN DENI HENDRI, S.E,. M. A.P. Hal:31).

Tipe-Tipe Pemilihan Umum Dalam Negara Demokrasi

Secara umum pemilu-pemilu didunia dikempokan dalam dua tipe umum yaitu system distrik (single member districk system) dan system proporsional (multimember proportional system).

  1. Sistem Distrik (single member districk system)

Merupakan  wujut dari perwakilan wilayah. Oleh karena itu, system ini dipergunakan oleh beberapa Negara untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil dari suatu daerah pemilihan dan menduduki posisi di parlemen. Cara kerjanya cukup sederhana siapa pun yang mendapatkan suara terbanyak dari suatu daerah pemilihan maka yang bersangkutanlah yang akan menjadi pemenannya dan mewakili daerah pemilihan tersebut. Prinsip ini juga dipergunakan oleh beberapa Negara untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin suatu Negara, selain untuk menentukan siapa yang mewakili suatu daerah pemilihan.

  1. Sistem Proporsional (multimember proportional system).

System ini di Indonesia dikenal dengan system Pemilu perwakilan berimbang.Berbeda dengan system distrik, tipe proporsional ini merupakanperwakilan rakyat sehingga setiap suara yang diberikan oleh pemilih harus direperesentasikan kedalam parlemen dengan demikian, tidak boleh dapat suara yang dihilangkan karena setiap pemilih suara harus dihargai.Didalam tipe ini tidak dikenal istilah pemegang melainkan siapa yang memperoleh suara terbanyak atau menempaytkan suara terbanyak dalam parlemen.

Melihat secara teoritis, demokrasi memunyai makna yang sangat besar namun dalam implentasi di Indonesia cukup menyayangkan karena pendidikan politik yang diperikan amat berbeda dengan   kebijakan politik itu sehingga lantaran demokrasi di Indonesia belum dewasa.

Penulis adalah pemerhati keadilan perpektif Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua