
Oleh : Thomas Ch. Syufi*
Pada 28 Desember 2016, kami berempat asyik duduk di akar tumbang pohon merbau atau kondang dibilang kayu besi yang mengular, saling berlilitan dan berserakan di tepi Sungai Kamundang, setelah lima jam lebih kami menyusuri tepian sungai tersebut. Kami pun sedikit menghelakan napas di tempat yang sering dalam bahasa Karon atau Miyah disebut Asah Sombar Mair (Pohon Matoa Rindang), yang merupakan cakupan wilayah Kampung Wafmana, Distrik Irires, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
Sambil menikmati angin sepoi-sepoi pada siang itu, kami menatap kulit air sungai yang diapit oleh tiga distrik, yakni Distrik Irires, Senopi, dan Miyah yang berwana cokelat karena bajiritu seperti melemparkan mata ke sebuah padang gurun yang luas dan panjang. Akan tetapi, biasanya pada musim kemarau (panas) sungai ini surut, kering, jernih, warnanya biru bak hamparan permadani, sungguh indah dan elok untuk dipandang.
Terasa angin di siang itu, cukup menyejukkan. Banyak daun kering yang berguguran karena diterpa angin, jatuh di hamparan pasir, bahkan jatuh terhanyut di tengah sungai. Kami disuguhi berbagai panorama alam yang begitu indah, juga menjadi spesifikasi yang amat menarik dan agak sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Berbagai pohon dan rerumputan hijau tumbuh berjejal di sepanjang tepi sungai.Tampak sekitar 20-an pohon palem yang berdiri berdempetan di atas bukit dekat bantaran sungai membuat pemandangan semakin wah! Itulah hadiah keindahan yang kami dapatkan hari itu.
Perjalanan kami hari itu untuk berburu binatang sepertinya berubah menjadi sebuah ziarah sukacita atau jalan nostalgia, mengenang masa-masa kecil kami 20-an tahun silam di tempat itu.
Semua rasa lelah dan gerah itu terbayar dengan pemandangan yang sungguh indah. “Saya sungguh cinta tempat ini , Sungai Kamundang,” begitu kata saya kepada ketiga rekan.
Air adalah sumber kehidupan, aquam est vitae. Kamundang yang memiliki seratusan lebih anak sungai besar dan kecil itu menyimpan banyak harta-kekayaan hayati di dalamnya. Berbagai jenis ikan yang mememiliki nilai ekonomis tinggi, seperti ikan gastor, ikan sembilan, ikan bulana, ikan mas, ikan mujair, dan belut juga dapat dijumpai di sini.
Juga kekayaan material, seperti batu-batuan,dan pasir putih halus yang bisa digunakan sebagai bahan material untuk pembangunan fisik, serta keindahan alam yang menjadi tempat tujuan (destinasi) wisata lokal.
Ada empat kampung yang berada di tepi Sungai Kamundang: Kampung Sumo (Senopi), Wafmana (Irires), Moug (Irires) , dan Siakua (Miyah).
Kamundang merupakan salah satu sungai terbesar dan terpanjang di wilayah Kepala Burung, Papua, setelah Sungai Weriagar di selatan Tambrauw. Sungai yang panjangnya sekitar 300 kilometer dan lebar sekitar 100 meter ini melingjkar dari Pegunungan Werka, Distrik Tinggow, Kabupaten Tambrauw hingga melintasi Kampung Sumo(Senopi), Wafmana (Irires) Siakwa (Miyah) dan terus mengalir hingga bermuara di wilayah Kabupaten Sorong.
Kondisi terkini
Sayang, panorama alam di sepanjang tepi Sungai Kamundang yang begitu indah tidaklah sepadan dengan kehidupan masyarakat sekitar. Berbagai persoalan kemasyarakatan masih mencengkeram atau membelit mereka, seperti kekurangan sarana-prasanara (jembatan kali, gedung sekolah, rumah pelayanan kesehatan, dan pasar layak).
Bahkan, pemekaran telah membawa masyarakat terperosok dalam jurang konflik sosial yang kian melebar. Panorama perdamaian semakin muram. Kehadiran Tambrauw ibarat kata membuka “keran” konflik horizontal yang selama ini terpendam dalam benak dan sanubari anak-anak negeri itu sendiri. Kondisi ini tidak hanya hadir di Kabupaten Tambrauw, tetapi telah dirasakan oleh hampir seantero masyarakat di Tanah Papua (Provinsi Papua-Papua Barat).Hal inilah oleh sejumlah tokoh nasionalis Papua, menyebut “gula-gula” politik Jakarta: Otonomi Khusus ataupun Pemekaran Daerah”.
Kabupaten Tambrauw yang diresmikan tanggal 26 November 2008 ini belum memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat setempat. Padahal, kerinduan besar yang terus membara dalam sanubari sebagian besar masyarakat di kabupaten yang dilahirkan oleh dua kabupaten induk (Manokwari dan Sorong) itu adalah ingin segera bergabung dengan dunia yang tengah berderap dalam pawai modernisasi.
Di Tambrauw, politik diperlakukan sebagai jangkar untuk menarik ( atau meraup) keuntungan kelompok dan pribadi tanpa merefleksikan masa depan daerah. Para bupati yang pernah memimpin Tambrauw, Manaser Paa, bupati caretaker, misalnya, hanya pandai mengumbar-umbar janji manis akan masa depan masyarakat Tambrauw yang menjanjikan. Pada periode definitif Bupati Gabriel Assem (2011-2017) pun hanya sedikit mewujudkan wajah pembangunan bagi masyarakat. Misalnya, pembangunan jembatan dan menara telkomsel di Miyah, menara telkomsel di Kebar, dan memekarkan 29 distrik dan 216 kampung. Akan tetapi, masih banyak hal yang belum dilakukan oleh pria yang kini menjadi kandidat tunggal bupati Kabupaten Tambrauw untuk periode kedua (2017-2022).
Sebatas janji. Mereka menjanjikan revolusi pasar bebas, penguatan ekonomi rakyat, yang akan membuat Tambrauw menjadi “dinamo Papua Barat”. Janji tak terwujud. Albert Camus (1913-1960), filsuf Perancis, pernah menyatakan, “Apakah ini zaman pengingkaran sejarah? Bukankah sia-sia mengingkari kenyataan sejarah”. Ataukah yang dikatakan Agustinus (354-430), filsuf dan pejangga gereja, “…kesempurnaan manusia adalah mengetahui ketidaksempurnaannya.”
Tak terputus.Kata motivator Amerika kelahiran Jepang Robert T. Kiyosaki, “Mimpi dapat kesampaian bila ada tindaklanjutnya,”.Kini, masyarakat Tambrauw seperti sudah kehilangan horizon harapan dan hilang kepercayaan atas pemimpin daerah.
Pemimpin? Ya, lompatan mereka ke panggung politik Tambrauw dipandang sebagai lompatan yang sia-sia. Mereka mengingkari janji-janji suci yang pernah diutarkan kepada publik. Sikap dan tindakan mereka berubah. Mereka bertengger di singgasana kekuasaan tanpa menelurkan sesuatu yang baik bagi segenap masyarakat Tambrauw. Seperti kata pepatah lama, “Honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya.” Memang, kekuasaan itu mengubah karakter orang. Karena itu, Abraham Lincoln (15 April 1865-12 Februari 1809),presiden ke-16 AS pernah berkata, “Jika ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan”.
Sebagian masyarakat Tambrauw yang bertempat tinggal di sepanjang bantaran Sungai Kamundang memiliki sejarah hidup yang hampir mirip seperti masyarakat di tepi Sungai Nil di Mesir, Afrika Utara. Di tepi Sungai Nil itulah Aleksander Agung (mantan murid Arisoteles, filsuf Yunani kuno), membangun ibu kota kerjaannya, yang kini dikenal nama Aleksandria. Kesuburan yang ada di sepanjang Sungai Nil, menjadi salah satu alasan pokok Alekander Agung untuk membangun kerajaan, agar rakyat dapat hidup makmur.
Meminjam Trias Kuncahyono, semangat membangun seperti itu—mengutamakan kepentingan rakyat—oleh Niccolo Machiavelli disebutVirtue, kebajikan, yang bersumber pada ”Semangat Kerakyatan” atau Res Publica, yang menjadi asal-muasal kata ”Republik” (Politik Kerakyatan, menurut Niccolo Machiavelli).
Namun, kerapkali kita diperhadapkan dengan apa yang dikatakan mantan Ibu Negara dan rival politik Donald Trump dalam perebutan kursi presiden AS (2016), Hillay Radham Clinton: “Adalah sebuah tantangan bagaimana berpolitik sebagai seni merealisasikan apa yang tak mungkin menjadi mungkin”.
Tidak hanya masyarakat Tambrauw di tepi sungai kamundang, tapi dahulu raja-raja Indonesia juga membangun ibu kota kerjaan di tepi sungai. Roma juga dibangun demikian, yakni di tepi Sungai Tiber. Rasa-rasa seperti itulah sejarah Tambrauw, Roma, dan Mesir yang sebagian penduduknya hidup di tepi sungai. Hal itu sejalan dengan semangat kerakyatan (res public atau bonum publicum).
Selain itu, kini yang terjadi adalah permusuhan tiada akhir. Saling siku-menyiku, menabur dengki, dendam, dan amarah kepada sesama adalah adegan-adegan tak sedap yang terus ditontonkan, sekaligus mengotori wajah negeri Tambrauw. Padahal, cikal-bakal lahirnya Kabupaten Tambrauw bukan untuk menyekat-nyekatkan, saling mencakar, apalagi saling meniadakan.
Masyarakat di wilayah ini sebagian besar adalah keluarga yang berlandaskan genitas. Namun, kekeluargaan itu diporak-porandakan oleh aliran kepentingan politik eksternal yang begitu kencang. Seperti perasaan kekeluargaan, persahabatan, cinta kasih, manusia yang satu menjadi kawan untuk sesama yang lain (homo homuni socius est) tidak berlaku. Pupus! Mereka semua terempas oleh debu kepentingan yang merongrong keutuhan. Kondisi ini tidak sepadan atau tidak menggambarkan keinginan kolektif masyarakat Tambrauw awal mula untuk melahirkan kabupaten.
Keroposnya daratan persatuan dan kesatuan masyarakat Tambrauw disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya, silang pendapat antara kelompok pro-kontra pemekaran Kabupaten Tambrauw. Sebenarnya itu bukan persoalan pelik, tapi sejatinya itu hal minor yang relatif mudah untuk diselesaikan. Sebab itu, hadirnya seorang pemimpin karismatik, heroik yang bisa mempersatukan masyarakat Tambrauw adalah sebuah kenicayaan.
Karena itu, siapa pun Bupati Kabupaten Tambrauw, yang akan terpilih pada pilkada langsung secara serentak 15 Februari 2017 nanti, harus mampu membereskan (atau mengakhiri) semua friksi sekaligus faksi di Tambrauw yang kini menodai kerukunan, keutuhan, keindahan yang telah sersemi selama ini. Salah satu langkah yang harus diambil oleh bupati terpilih nanti adalah merangkul semua pihak yang kini berseberangan pendapat, konsep, dan visi tentang eksistensi Kabupaten Tambrauw.
Bupati, misalnya, harus melakukan ritual adat untuk mempertemukan pihak-pihak yang berbeda pendapat atau berkonflik selama ini. Bila sudah berdamai, pihak-pihak yang awalnya berseberangan pendapat itu harus dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahaan. Juga mereka harus dipercayakan untuk menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintahan, khususnya untuk yang golongan dan pangkatnya memenuhi syarat.
Di sinilah mereka akan merasa percaya diri, merasa dihargai, dan merasa bagian dari Kabupaten Tambrauw.Tentu, hal tersebut juga akan menepis sejumlah anasir dan perbedaan pandangan yang dulu menjadi biang konflik horizontal dan vertikal di Kabupaten Tambrauw. Bila ini benar-benar terwujud, semua pihak termasuk bupati hanya tersenyum puas dengan melaksanakan, menyaksikan sekaligus menikmati pembangunan tanpa interupsibayang-bayang sejarah kelam konflik masa lalu.
Pemilu sebagai sarana yang cukup efektif dalam negara demokrasi, termasuk Indonesia. Karena itu, setiap pemimpin yang dipilih secara demokrasi harus bertindak demokrstis pula. Sebab, kebanyakan demokrasi hanya digunakan sebagai kendaraan untuk setiap individu menggapai singgasana kekuasaan tanpa memanfaatkan kekuasaan itu sesuai dengan tuajuannya mulianya, yakni menyejahterakan rakyat. Padahal, kekuasaan bukan tamansari yang harus dinikmati, tapi kekuasaan sebagai alat (tools) yang digunakan untuk mengabadi. Maka, siapa pun menggunakan kekuasaan untuk memburu kepentingan pribadi atau kelompok sangatlah tidak pas dengan logika kekuasaan itu sendiri.
Karena harta kekayaan bukan tujuan primer kekuasaan, tapi sebagai tujuan sekunder. Pemimpin juga harus menata kembali sistem administrasi pemerintahaan yang efektif dan efisien, sekaligus mengutamakan dimensi pengabdian dan kemanusiaan dengan membuat administrasi yang pendek.
Kata orang, pergi ke Italia tanpa menikmati cappuccino sama saja belum mengunjungi negeri yang dulunya dijuluki “kebun Eropa” itu. Atau pergi ke Finlandia belum menikmati“mandi sauna” sama saja belum resmi mengunjungi negeri yang didirikan Raja Gustav Vasa dari Swedia sekitar abad keenam belas, yang kemudian menjadi tempat lahirnya MoU Helsinki antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus 2015, itu. Mungkin sama halnya, pergi ke Tambrauw, belum menikmati dinginnya lembah Kebar pada malam hari dan menyaksikan senja nun indah di Pantai Sausapor dan penyu laut di Pantai Werur, sama saja belum sah mengunjungi negeri konservasi itu! (Thomas Ch. Syufi –dari Sausapor, Tambrauw, Papua Barat). Semoga.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis (LPKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, Periode 2013-2015.