Beranda News Dialog Jakarta-Papua : Jalan Damai yang Menjanjikan ?

Dialog Jakarta-Papua : Jalan Damai yang Menjanjikan ?

1202

Joseph Epifianus 

Deklarasi Hak Asasi Manusia  yang dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 telah menegaskan perlawanan terhadap penyiksaan dan kekejaman kepada manusia yang tertuang pada pasal 3-5.

Dokumen yang diproduksi untuk menghormati hak asasi manusia tersebut nampaknya diabaikan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia. Tentu ini menjadi ironi sebagai negara yang tergabung dalam keanggotaan PBB.

Lebih dari itu, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang juga diamanahkan untuk melindungi hak-hak hidup bagi warga negaranya. Tidak ada ruang dalam produk perundangan ini bahwa negara berhak menyiksa dan membahayakan keselamatan warganya.

Pendekatan militeristik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tentunya tidak akan menyelesaikan persoalan HAM di Papua yang sudah menggurita. Yeni Wahid (2019) ketika menerima tamu pemuda dan mahasiswa asal Papua mengatakan bahwa “pemerintah tidak boleh terus menerus mengirim misi dengan pertimbangan keamanan. Pemerintah harus menanggapi persoalan Papua dengan cara yang lain.”

Lebih lanjut Yeni mengatakan pemerintah mestinya lebih banyak mendengarkan suara rakyat Papua, bukan hanya mencari berdasarkan kepentingan elit saja. Yeni menegaskan bahwa perjuangan rakyat Papua mungkin masih panjang. Namun, perjuangan paling mungkin adalah perjuangan untuk memajukan masyarakat Papua agar mampu bersaing dan sejajar dengan masyarakat Indonesia lainnya.

Glombang Protes Dunia Internasional

Banyaknya pelanggaran HAM di tanah Papua yang tidak diselesaikan hingga saat ini turut menjadi pendorong kuatnya desakan dunia internasional terhadap pemerintah Indonesia untuk secara serius memperhatikan persoalan hak asasi manusia di Papua.

Beberapa tahun belakangan ini, suara mendesak dan meminta Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di Papua datang dari negara-negara di kawasan Pasifik Selatan dan sejumlah negara di belahan Eropa.

Dalam sidang tahunan PBB dalamUniversal Periodic Review (UPR) pada Mei di Jenewa Swiss, sejumlah negara mempertanyakan niat baik dari negara Indonesia untuk menangani derasnya pelanggaran HAM di tanah Papua.

Ada lima negara yang mempertanyakan dan menilai kinerja pemerintah Indonesia di bidang penegakan HAM yaitu, Jerman, Kanada, Inggris, Belanda dan Prancis (Bernard Koten & Wilhelmus I. G. Saur, 2017:75).

Pada kasus pelanggaran HAM di Papua, Pemerintah Indonesia tidak menunjukkan etiket serius, bahkan justru menganggap atau menutupi dan menyangkal adanya pelanggaran HAM di Papua. Sikap dan penjelasan Pemerintah Indonesia itu bertolak belakang dengan beragam fakta dan peristiwa hak asasi manusia yang terjadi di tanah Papua.

Pada penghujung 2017, Pemerintah Indonesia semakin sibuk menghadapi petisi referendum yang diberitakan telah diserahkan oleh perwakilan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Beny Wenda ke Komite Dekolonisasi PBB pada September 2017.

Pada situs kabar24.bisnis.com yang mengutip laman www.abc.net.au menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia melarang petisi tersebut dengan mengancam akan menangkap dan memenjarakan orang-orang yang menandatangani petisi, yang jumlahnya sekitar 1,8 juta penduduk di tanah Papua.

Kemudian menurut Juru Bicara ULMWP, Beny Wenda terdapat sebanyak 57 orang ditangkap dan 54 orang disiksa oleh aparat keamanan selama kampanye petisi itu berlangsung. Seperti diberitakan oleh Kompas. Com, Kepala Komite Dekolonisasi PBB Rafael Ramires menolak laporan petisi tersebut. Terlepas dari benar atau tidaknya berita dan tanggapan berbagai kalangan, persoalan Papua terus diangkat dan dibahas dalam forum-forum internasional.

Jalan Terjal Dialog Jakarta-Papua

Gagasan dialog Jakarta – Papua awalnya digerakan oleh almarhum Pastor Neles Tebay, Pr yang merupakan Koordinator Jaringan Damai Papua pada tahun 2000-an.

Beberapa alasan mendasar yang ditulisoleh Pastor Neles dalam bukunya “Dialog Jakarta – Papua (Sebuah Persepketif Papua) ”, untuk membumikan dialog Jakarta – Papua sebagai jalan untuk mencari persoalan di Papua adalah;

Pertama Kekerasan tidak menyelesaikan konflik Papua. Kedua, implementasi UU Otonomi Khusus yang gagal. Ketiga, Pemerintah Indonesia tidak konsisten menerapkan UU Otsus Papua. Keempat, orang Papua semakin tidak mempercayai pemerintah. Kelima, dukungan internasional terhadap Pemerintah Indonesia semakin menurun.

Konsep dialog sendiri telah diuraikan dengan rapi, seperti tentang kerangka acuan dialog, prinsip, tujuan, tahapan, peserta dan fasilititator dialog. Konsep tersebut sesungguhnya membawa angin segar untuk mencari solusi menghentikan segala kekerasan dan mencapai perdamaian di tanah Papua.

Namun, sejak gagasan dialog disuarakan pada tahun 2009 dan dideklarasikan pada tanggal 5-7 Juli 2011 dalam Konferensi Perdamaian Papua, tawaran untuk berdialog sampai saat ini masih menuai pro dan kontra. Di satu sisi, Pemerintah Indonesia masih beranggapan bahwa dialog adalah media untuk melepaskan diri dari NKRI, di sisi lain masyarakat Papua masih ragu dengan tawaran dialog tersebut.

Diskusi tentang dialog Jakarta – Papua kembali menguat pada Agustus 2017. Pada tanggal 15 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo mengundang 14 orang yang disebut sebagai perwakilan rakyat Papua untuk bertemu dan membicarakan permasalahan di tanah Papua. Berawal dari penyampaian dari berbagai persoalan dan apa yang telah dilakukan oleh negara di Papua, maka perwakilan pada saat itu juga menyarankan kepada Presiden Joko Widodo melaksanakan dialog sektoral.

Setelah persetujuan dan penunjukan Presiden Joko Widodo terhadap Pastor Neles Tebay untuk mengadakan dialog sektoral, banyak pihak yang mulai memberikan komentar. Ada yang menolak dan menerima gagasan. Salah satu penolakan datang dari Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih Ibrahim Peyon menjelaskan dalam sebuah opininya “Dialog Jakarta – Papua Agenda Menghancurkan ULMWP dan Dukungan Internasional”, bahwa gagasan dialog yang didorong oleh Pastor Neles pada saat itu sepertinya mengarah kepada Pepera Jilid II.

Menurut Ibrahim, apa yang dibicarakan dalam dialog tersebut tidak satu pun membahas pelurusan sejarah politik Papua. Ketua KNPB Viktor Yeimo dalam ulasannya “Cara Menyikapi Dialog Sektoral” menjelaskan bahwa dialog sektoral adalah bahan politik pencitraan dari Jakarta. Menurut Viktor, media yang cocok untuk menyelesaikan konflik di Papua adalah referendum.

Sedangkan Pendeta Benny Glay menjelaskan dialog antara Jakarta dengan Papua dianggap tidak akan efektif tanpa mengikutsertakan United Liberation Movement for West Papua. Dialog tersebut juga tidak mengagendakan penyelesaian pelanggaran HAM dan upaya menghentikan kekerasan di Papua.

Dialog Jakarta – Papua kembali menguat dan disuarakan oleh banyak kalangan pada September 2019 setelah peristiwa yang terjadi di beberapa kota di Papua dan Papua Barat. Seruan Dialog Jakarta – Papua datang dari Koordinator Jaringan Damai Papua yang menggantikan almarhum Pastor Neles Tebay, Pr yaitu Pastor Jhon Bunay, Pr dalam Forum Akademisi untuk Papua Damai di Jakarta Pusat (2019).

Pastor Jhon meminta Presiden Joko Widodo melibatkan tokoh Papua masing-masing dari tujuh wilayah adat. Menurutnya, tokoh adat itulah yang lebih mengetahui akar persoalan Papua sekaligus orang Papua. Ia mengatakan, jika Presiden Joko Widodo berniat menyelesaikan konflik di Papua harus dimulai dengan orang-orang yang dekat dengan warga. Kemudian, para tetua adat dapat merekomendasikan kepada siapa Jokowi dapat berkomunikasi termasuk kepada para pimpinan daerah, Pusat, TNI dan Polri.

Pastor Jhon sangat meengapresiasi Jokowi yang akan melakukan dialog bersama pihak-pihak yang pro-referendum Papua. Akan tetapi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah, pemerintah harus memastikan Papua aman. Apabila Papua sudah aman, maka orang-orang akan berbicara yang sebenarnya.

Dukungan lain, datang dari Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) untuk memfasilitasi Dialog Jakarta-Papua. Dalam wawancara dengan http:///www.jpnn.com (Jumat 30/8) Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI, Juventus Prima Yoris Kago mengatakan siap mengambil langkah tengah dengan memfasilitasi Dialog Jakarta – Papua.

Menurut Juventus, gagasan tersebut sebelumnya sudah disuarakan oleh PP PMKRI di depan Istana Negara, Jakarta Pusat dengan menuntut pemerintah tidak boleh menganggap tindakan rasisme sebagai hal biasa. Lebih lanjut, Juventus menilai negara belum serius menangani situasi Papua. Bagi PMKRI, menurut Juventus, permintaan maaf dari Presiden Jokowi dan pejabat tinggi lainnya terhadap masyarakat Papua tidak akan berdampak apa-apa karena tidak menyentuh hati masyarakat Papua.

Selain itu, cara memperlakukan Papua tidak menampakkan wajah persaudaraan.
Segala bentuk pelanggaran HAM dan konflik di Papua dapat dihentikan, ketika ada komitmen dari pemerintah pusat dan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai representasi Orang Asli Papua (OAP) memiliki komitmen untuk berdialog sehingga dapat menemukan titik sentral persoalan Papua dan memberikan solusi terhadap persoalan itu.

Sejumlah Catatan Menuju Dialog

Berikut adalah langka-langkah yang dapat dilakukan agar Dialog Jakarta – Papua dapat terealisasi:

Pertama, berbagai pihak di masyarakat Papua yang mendorong dialog harus mendengarkan suara akar rumput

Kedua, pihak-pihak yang mendorong dialog hendaknya menawarkan dialog tentang sejarah dan persoalan politik di Papua kepada Pemerintah Indonesia

Ketiga, masyarakat atau public harus memahami secara baik bahwa dialog itu bukan solusi tetapi media atau jalan untuk menyelesaikan persoalan hak asasi manusia dan aspirasi politik di Papua.

Keempat, berbagai tokoh Papua terus bertemu untuk membahas dan memperkuat komitmennya untuk penyelesaian Papua melalui dialog. Hal ini untuk menyolidkan diri terkait penyelesaian masalah Papua sesuai dengan kehendak masyarakat Papua

Kelima, media elektronik, online dan massa membahas dialog Jakarta – Papua sebagai topic penting dan mampu menyajikan aspirasi dan persoalan Papua berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.

Penulis adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Merauke