Beranda News POHR desak pemerintah bentuk Pansus investigasi penyiksaan warga sipil di Yahukimo

POHR desak pemerintah bentuk Pansus investigasi penyiksaan warga sipil di Yahukimo

353
Koordinator Papuan Observatory for Human Rights atau POHR, Thomas CH Syufi. (Foto: Istimewa)

MANOKWARI – Koordinator Papuan Observatory for Human Rights atau POHR, Thomas CH Syufi mendesak pemerintah segera bentuk Panitia Khusus (Pansus) indepeden yang melibatkan semua pihak dan lembaga yang kredibel, seperti tokoh LSM, Komnas HAM, tokoh agama, MRP, DPRP, dan akademisi untuk melakukan investigasi. Diungkapkan dalam siaranpers diterima media ini Minggu [24/03/2024] melalui pesan Whatshap sore tadi.

Menurutnya, Melihat video penyiksaan terhadap orang warga sipil Papua di Yahukimo, Provinsi Papua Tengah yang beberdar dan menyodot perhatian publik, bahkan menimbulkan amarah dan kecemasan dari para aktivis, pemerhati, dan masyarakat Papua pada umumnya. Menurutnya kejadian viral itu pada Masa Prapaskah dan Pekan Suci bagi umat Kristen di seluruh dunia dan Tanah Papua pada khususnya.

” Ini merupakan salah satu penyiksaan yang amat keji dan brutal sepanjang sejarah 50-an tahun (1963-2024) integrasi Papua dalam NKRI. “Kata Syufi [25/03/2024] kutip media ini.

Dirinya menilai hal ini sebuah tindakan yang dinilai jauh dari norma-norma kemanusiaan sebagaimana ditegaskan dalam Pancasila atau UUD, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM  merupakan manifetasi dari Deklarasi HAM PBB 10 Desember 1948. Syufi juga menerangkan, apa pun kesalahan dan jenis kejahatan yang dilakukan, bila sudah ditangkap atau ditahan diserahkan kepada pihak kepolisian sebagai penjaga gerbang sistem peradilan pidana Indonesia yang berwenang memproses itu hingga pada pembuktian di pengadilan.

” Tersangka dan maupun terdakwa punya hak asasi dilindungi oleh asas presumpitin of innoncence (praduga tak bersalah), hingga adanya putusan pengadilan yang inkracht atau berkekuatan hukum tetap tentang kesalahannya. Bukan melakukan penghakiman sepihak berupa penganiyaan dan siksaan keji semacam ini.”tuturnya.

Syufi juga mantan ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura itu menyangkan padahal lebih dari 20 tahun pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang Anti Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998. Syufi mengakui negara sendiri yang inkonsitensi dalam mematuhi dan menjalankan itu, melalui aparat militer TNI-Polri cenderung bertindak deviasif, represif, dan brutal yang merusak dimensi kemanusiaan dan menghapus seni kehidupan.

” Perlu dilakukan penyelidikan yang objektif independen, imparsial, dan transparan untuk mengungkap secara terang benderang kasus ini, dan pelaku harus diganjar hukuman yang berat, seperti prinsip hukum cupue poena par esto (jatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya). Sehingga jangan ada toleransi dan impunitas lagi atas kasus ini.”terangnya.

Kondisi saat ini, Syufi melihat juga sudah terlalu banyak kasus pelanggaran HAM di Papua, baik pembunuhan, penculikan, penghilangan paksa, dan penyiksaan keji selalu terkadas proses hukum bagi pelakunya, pelaku selalu mendapat impunitas, proses hukum pun tidak transparan dan adil.

” Pelaku kebal hukum hingga kekerasaan menjadi habitus yang terus terjadi dan makin marak di Papua akibat pelaku selalu mendapat impunitas dan perlindungan dari atasan atau pejabat militer.”ungkapnya.

Lanjutnya, Perlindungan atau penyangkalan atasan atau siapa pun terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan merupakan sebuah tindakan obstruction of justice (menghalang-halangi proses hukum) yang tidak dibenarkan dalam sistem hukum kita. Sehingga Syufi mengharapkan kasus ini menjadi atensi Panglima TNI dan Presiden, proses hukum yang tidak adil dan transparan terhadap pelaku kejahatan HAM.

” Pemerintah juga diminta segera mengubah pendekatan keamanan yang cenderung meningkatkan intensitas kekerasaan di Papua. Menjadi pendekatan keamanusiaan dan keadilan, dengan membuka ruang dialog antara Jakarta dan Papua sebagai jalan pamungkas untuk mengakhiri konflik dan menyelesaikan semua persoalan sistemik di Tanah Papua, termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).” harapnya.