Beranda Daerah Diplomasi Papua di Pasifik Selatan

Diplomasi Papua di Pasifik Selatan

2682
thomas syufi
Thomas Ch. Syufi (Foto;Dok Pribadi)

Oleh Thomas Ch. Syufi*

Gerakan pro-kemerdekaan Papua di kancah dunia internasional, terutama di kawasan Pasifik Selatan semakin solid. Hal ini menjadi pukulan bagi pemerintah untuk segera mencarikan jalan keluarnya, dalam rangka meredam isu Papua yang makin menggeliat di Pasifik Selatan itu. Salah satunya pemerintah Indonesia harus segera menggelar dialog dengan rakyat Papua.

 

Organisasi Papua Merdeka (OPM), atau kini dikenal dengan Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) tengah berhasil menginternasionalisasi isu Papua. Ini  merupakan salah satu dampak dari lambannya pemerintah Indonesia menangangi masalah Papua. Isu Papua memang bak bola liar yang terus bergelinding kemana-mana, sukar untuk dibendung lagi. Atau meminjam istilah tokoh politik Papua Thaha Moh. Alhamid, “Masalah Papua ibarat magma yang ditabur di gunung berapi tinggal tunggu waktunya untuk  meletus”. Mungkin inilah saatnya untuk meletus.

Bila perjuangan ULMWP  yang lahir tahun 2014 ini berlandaskan kebenaran sejarah, siapa lagi mau halangi. Kebenaran tetap  mengalir mulus. Karena kebenaran itu kudus dan kekal, walaupun tibanya terlambat. Gejolak politik Papua yang tengah berlangsung selama setengah abad lebih ini—memiliki banyak dimensi. Di antaranya, kekecewaan historis atas hasil penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 yang memaksa Papua masuk KNRI dinilai oleh mayoritas masyarakat Papua ilegal. Masifnya pelanggaran HAM berat sejak integrasi hingga saat ini, serta marginalisasi orang asli Papua di atas negerinya sendiri, menjadi alasan utama rakyat Papua menuntut merdeka.

Sejumlah fenomena ini tergambar jelas dalam sepak terjang diplomasi OPM selama ini. Mereka meminta dukungan internasional dalam rangka mendesak pemerintah Indonesia segara menuntaskan beberapa butir permasalahan tersebut di atas. Sikap perjuangan OPM ini menunjukkan  kemauan politik (political will) mayoritas rakyat Papua bagi penyelesaian konflik Papua- Indonesia. Yaitu penyelesaian  harus melalui jalan dialog damai.

Setelah 50-an tahun lebih, pihak OPM menggeluti perjuangannya di pusat perkotaan, hutan belantara, dan panggung internasional (diplomasi). Kini mereka hanya fokus pada satu metode perjuangan, yakni diplomasi. Pola perjuangan era 1960-an hingga 1990-an, yakni perang gerilya yang terkandang memicu antipati dunia internasional bahkan masyarakat Papua sendiri, telah diakhiri. Sekarang mereka berjuang dengan cara diplomasi damai, mengapitalisasi isu HAM yang membuahkan dukungan yang berujung pada pemisahan Papua dari Indonesia.

Perjuangan OPM tak bisa dianggap remah, karena mereka telah berhasil menguasai panggung politik dan diplomasi internasional. Mereka berhasil masuk menjadi pengamat, peninjau di berbagai organisasi regional maupun internasional. Sekaligus mereka juga telah membangun afiliasi dengan sejumlah tokoh dan politikus internasional di berbagai negara, di lima benua. Di sana pihak OPM cukup mendapat simpati dan dukungan hangat dengan basis solidaritas kemanusiaan.

Misalnya, dukungan pertama terlihat dari diterimanya aplikasi mereka (ULMWP) menjadi anggota peninjau (observer) oleh Melanesian Spearhead  Group (MSG). Ini adalah forum regional yang berpengaruh di Pasifik Selatan, mencakup perwakilan dari  Papua Nugini (PNG), Fiji, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan gerakan perjuangan kemerdekaan Kaledonia Baru.

Dukungan kedua tampak saat pindato Perdana Menteri (PM) Tonga Akilisi Pohiva di depan Majelis Umum PBB, Oktober 2015. Bahkan, akhir Januari lalu, PM Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare menyatakan diri bersedia menjadi mediator dialog antara ULMWP dan Jakarta.

Tanggal 27 Februari 2015,  Juru Bicara ULMWP Benny Wenda melakukan kunjungan “ramah-tamah” atau safari politik ke Afrika Selatan. Di sana (Cape Town), Afrika Selatan Wenda bertemu dengan aktivis kemanusiaan berpengaruh dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian (1984), Uskup  Agung emeritus Desmond Mpilo Tutu dan keluarga mendiang Nelson Mandela. Di negeri “uncle” Nelson Mandela itu, Wenda minta dukungan dari  Desmond Tutu dan keluarga Mandela, sekaligus masyarakat Afrika Selatan bagi perjuangan kemerdekaan Papua.

Sowan Wenda  ke Afrika Selatan itu menggambarkan sebuah dinamisasi diplomasi politik gerakan kemerdekaan Papua di kancah internasional, terutama di negara-negara kulit hitam, Afrika. Solidaritas negara-negara kulit hitam pun cukup kuat, ditambah dengan negara-negara serumpun, Melanesia di Pasifik Selatan. Bila terjadi gerakan politik yang  masif dan membuat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengambil keputusan bagi penentuan nasib sendiri rakyat Papua sangatlah berbahaya. Bila voting di PBB kelompok ULMWP  bisa menang, karena sentimen ras dan brothershood dari negara-negara kulit hitam dan serumpun di kawasan. Perlu diingat, bahwa 193 negara anggota tetap  PBB saat ini semua mempunyai hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Tidak ada peberdaan antara negara kecil dan besar, negara kaya dan miskin, atau negara maju dann egara berkembang di forum PBB. Semua negara sama.

Sebuah kejutan pada  Jumat 8 April 2016, kunjungan bersejarah oleh para Uskup Katolik dari negara-negara Pasifik Selatan di Jayapura. Di antara mereka yang datang—adalah Uskup Agung Port Moresby (PNG) John Ribat, Uskup Agung Honiara (Kepulauan Solomon), Adrian Smith. Kedatangan para Monsignor ini secara mendadak, sampai masyarakat Papua pun terkejut. Namun jelas, kunjungan paling mulia atau dibilang tur Papua Barat itu semacam tim pencari fakta ( fact finding).

 

Diperkirakan kunjungan itu sebagai bentuk respon atas atmosfer isu HAM Papua yang makin mengkristal di berbagai negara, baik di kawasan maupun internasional. Drama kelam pelanggaran HAM di negeri ini pun terus ditampilkan secara telanjang kepada publik dunia. Sorotan atas isu HAM  Papua dari berbagai komunitas internasional akan menjadi noktah hitam yang bakal terus membayangi citra pemerintah Indonesia di panggung dunia.

Dalam kunjungan para Uskup itu, Markus Haluk Koordinator  ULMWP dalam negeri menyatakan, “Sudah waktunya para Uskup  Melanesia dan Oceania, Australia, Selandia Baru, Asia, Eropa, Uni Eropa, dan AS, bahkan Bapa Suci Paus Fransiskus, mendoakan kami guna menyelamatkan umatTuhan di Melanesia, Papua Barat yang sedang menuju kepunahan”.

Sebagaimana dirilis oleh media yang sama, kunjungan Uskup-uskup ini berlangsung di Jayapura, Papua.  Setelah sebelumnya terbit laporan dari pencari fakta yang berafiliasi dengan Gereja Katolik  Brisbane, yang berisi tuduhan militer dan polisi Indonesia melakukan intimidasi, pemukulan, penyiksaan, penculikan, dan pembunuhan di Papua Barat.

Penulis laporan, Susan Connelly dari Kesusteran Josephite—adalah tokoh yang dihormati dan pembela HAM. Ia mengunjungi Papua Barat didampingi pejabat Komisi Keadilan dan Perdamaian dari Keuskupan Agung Brisbane, Peter Arndt. Mereka mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat Papua. Suster Connelly membandingkan situasi di Papua sebagai perjalanan dulu ke bekas Provinsi Timor Timur (sekarang negara Timor Leste). “Sepertinya saya melangkah kembali dua puluh tahun lalu ketika saya pertama kali pergi ke Timor Timur”.

Pemerintah sepertinya menganggap remeh-temeh masalah Papua ketimbang masalah Palestina merdeka, kerjasama ekonomi ASEAN, dan membangun koalisi perdamaian dunia dengan negara-negara lain. Padahal, masalah domestik Indonesia saja belum dibereskan, bahkan masalah Papua kini telah merembes ke mana-mana, di berbagai pelosok dunia. Hal ini ikut menggerus reputasi Indonesia di mata dunia internasional atas politik citra yang dibangun pemerintah Indonesia selama ini, yang belum menyentuh pokok persoalan Papua.

Apalagi sejumlah negara-negara Pasifik Selatan, kecuali PNG dan Fiji telah menyatakan sikap secara jelas mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Kepulauan Solomon melalui PM-nya Manasseh Sogavare, yang juga Ketua MSG itu— dengan terang-benderang mengajak semua diplomat (Menteri Luar Negeri,  para Duta Besar) Kepulauan Solomon di berbagai negara pada pemerintahannya harus satu suara. Untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat  Papua di negara-negara yang diwakilkannya. Kepulauan Solomon dan Vanuatu telah berkomitmen kuat untuk mendorong Papua dari status observer menjadi permanent members (anggota tetap) MSG  pada KTT MSG tahun ini, 2016.

Artinya, eskalasi isu HAM  Papua di berbagai aras, regional dan internasional tengah mencapai puncak tertinggi. HAM sebagai komoditas (atau isu) paling terlaris di pasar global. Dan dehumanisasi yang terjadi di Tanah Papua selama 50-an tahun telah mengundang simpati dunia internasional untuk bersuara tentang Papua. Karena itu, Jakarta jangan lagi terlarut dengan bahasa-bahasa kamuflase dan diplomat-diplomatan yang bakal membuat Papua akan hilang dari peta Indonesia. Tapi sebaiknya Jakarta segara mengabil langkah cepat dan tepat untuk menyelesaikan konflik Papua, bila tidak citra Presiden Jokowi sebagai pemimpin negeri dipertaruhkan.

Berlarut-larutnya penyelesaian konflik Papua karena pemerintah Indonesia menganggap—itu hanya merupakan masalah domestik. Dan mayoritas negara di dunia tetap mendukung kedaulatan  Indonesia. Anggapan para diplomat Indonesia seperti ini sebaiknya diakhiri sementara. Karena kondisi ini terus dibiarkan, risikonya paling burukbagi kedaulatan Indonesia di masa depan. Papua akan segara hidup tanpa Indonesia. Merdeka.

Selain dukungan internasional, di tengah mengkristalnya kekecewaan masyarakat Papua atas lambannya pemerintah Indonesia menuntaskan konflik Papua. Mereka juga bisa melakukan perlawanan yang lebih masif, gerakan people power (kekuatan rakyat). Atau mengutip Jurgen Habermas (86), filsuf dan sosiolog kawakan dari Jerman, “Pada satu titik rakyat akan mampu melakukan pembangkangan sipil, mereka mengorganisasi diri untuk tidak patuh pada undang-undang, menggerakkan diri menentang pemerintah”.

Karena itu, jalan terbaik bagi penyelesaian konflik Papua—adalah pemerintah Indonesia segara membuka krang dialog dengan rakyat Papua yang diwakilkan oleh ULMWP di diaspora. Langkah ini dilakukan demi meluruskan sejarah kusut pelanggaran HAM  Papua bagi pemantapan persatuan dan kesatuan. Serta mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua dalam NKRI!  Semoga.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis (LPKIS) Pengurus Pusat PMKRI  Sanctus  Thomas  Aquinas, periode  2013-2015.