
Oleh :Thomas Ch Syufi
Mansinam, Manokwari adalah Pangkal Kerajaan Allah, kini telah menjadi kota yang mengerikan, Firdaus yang hilang?. Lihat apa yang terjadi di sana, di negeri yang pertama kali dua Rasul Protestan yaitu, Ottow dan Geissler mendarat pada tahun 1855. Hal itu menunjukkan bahwa wajah penuh lumuran darah. Di wilayah Sanggeng misalnya, atau Amban Pantai darah manusia terus mengalir, tanpa megenal tepian, sekaligus darah itu menerikan “pengampunan”.
Tempo tiga pekan lalu, masyarakat Manokwari dihebohkan dengan dua peristiwa mengenaskan. Yakni bentrok antar warga di Kompleks Sanggeng yang berbuntut pada tertembaknya seorang warga bernama Onesimus Rumayom, Rabu (26/10/2016) yang diduga dilakukan oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) Daerah Papua Barat.
dan, pembunuhan sadis terhadap dua mahasiswa (perempuan dan laki-laki) di wilayah Amban Pantai, Manokwari, Papua Barat. Dari dua kasus ini memperlihatkan kota Manokwari seperti tidak aman, tercekam, dan masyarakat diselimuti perasaan takut yang kian melebar.Untuk kasus Sanggeng, penembakan itu dinilai sebagai sebuah tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diduga dilakukan oleh aparat Polri. Tindakan tak manusiawi itu diduga dilakukan oleh para serdadu lapangan atas perintah sistem. Jadi peristiwa Sanggeng Berdarah bisa kategorikan kejahatan sistematis yang dilakukan oleh negara. Oleh bebab itu, bukan saja serdadu lapangan yang memenangi perang yang diadili, tapi para jenderal yang mendapat nilai kreditnya pun perlu diproses, bila mereka dibuktikan bersalah secara hukum. Hanya saja untuk dinyatakan siapa yang bersalah dan tidak dalam kasus ini ada pada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Kita semua menunggu itu. Sekali lagi, jika benar-benar hukum membuktikan pihak Polri yang bersalah, maka sangat disesalkan dengan kualitas kerja institusi Polri di daerah Papua Barat yang cenderung deviasif hingga represif. Padahal, Polri memiliki pengetahuan yang cukup tentang motode pengamanan dan mengelola manajemen konflik secara untuk bisa menertibkan kerusuhan Sanggeng secara damai. Bukan sebaliknya, menjalankan hukum rimba, bertindak gegabah, tembak tak keruan. Tindakan ini semacam perang masif hingga berlaku ungkapan Latin dari Marcus Tillius Cicero (106-43 SM), filsuf, ahli hukum, dan orator Romawi, “Inter arma silent leges, dalam peperangan hukum membisu”.Akan tetapi, demi nilai kemanusiaan yang lebih tinggi, dalam peperangan hukum pun berlaku. Sebab, kemenangan itu datangnya dari Tuhan, a Deo victoria.
Selain itu, tampak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Papua Barat belum memiliki kehendak baik (good will) untuk mendorong penuntasan tragedi Sanggeng Berdarah.
Setidaknya, Panitia Khusus (Pansus) Kemanusiaan yang telah digagas DPRD Papua Barat sudah harus bekerja maksimal. Melakukan investigasi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, di antaranya, pemuda, mahasiswa, pegiat HAM, tokoh masyarakat, tokoh agama, Komnas HAM RI Perwakilan Papua atau Papua Barat. Sikap konsistensi, keberanian, dan niat tulus dari Pansus sangat diharapkan untuk mendorong kasus dugaan pelanggaran HAM Sanggeng Berdarah hingga ke pengadilan.
Kepuasan masyarakat terjadi ketika kasus tersebut diungkapkan secara terang-benderang. Hingga membawa dan memenuhi rasa keadilan hukum bagi pihak korban. Mutlak bagi Indonesia sebagai negara hukum adalah setiap orang sama derajat di hadapan hukum (the equlity before the law).
Manokwari, kota nan indah itu terus dikoyak konflik berdarah, menjadi reruntuhan, menjadi kota yang mengerikan. Darah dan air mata orang-orang tak “berdosa” terus mengalir mewarnai kota yang baru saja merayakan hari jadinya yang ke-118 tahun itu. Manokwari, kota di mana kehidupan dan nyawa manusia begitu murah bak anggrek hutan yang bisa saja diambil atau dipotong kapan dan oleh siapa pun yang mau. Kematian selalu mengintai siapa saja, dan kapan saja di Tanah Papua. Apakah ini “neraka khaos” yang dilukiskan oleh Fyodor Mikhaillovich Dostoyevski (1821-1881), sastrawan dan novelis terbesar Rusia?
Memang teori Dostoyevski yang sangat dekat dengan visi kehancuran fatal ini sangatlah pas untuk menggambarkan kondisi Papua yang selama 50 tahun lebih berintergasi dengan Indonesia. Tidak berlebihan kalau Papua sekarang ini disebut neraka khaos. Penghancuran dan kehancuran, darah manusia Papua menetes di mana-mana seperti di jalan raya, pasar, univesitas, pantai, pinggiran danau, hutan, bahkan di rumah pribadi. Berangkat dari berbagai akumulasi persoalan, seperti ketakutan sosial, pembunuhan, korupsi, kemiskinan, penderitaan tak terperi, semunya manjadi khaos, sebuah kekacauan, tidak ada aturan atau tata tertib.
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, jelas mengatur Polri sebagai institusi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, menjadi ancaman terhadap kekayaan terluhur manusia, yakni “kehidupan”. Sangat irasional gesekan kecil antara warga dan pemilik warung makan melahirkan kematian yang mengerikan.
Benarlah kata Paus Fransiskus, “Perang adalah kegilaan. Kegilaan yang menghancurkan segalanya bahkan mengahancurkan ikatan persaudaraan”. Dunia sudah gila, seperti Kain yang membunuh adiknya, Abil seperti dikisahkan dalam Kitab Genesis” (Trias Kuncahyono: 2016). Dan, “Seperti sejarah selalu berulang, L’histoire se repete”. Kata pepatah Perancis itu cukup menggambarkan situasi Papua saat ini, darah Abil kini kembali membasahi Bumi Cenderawasih, Negeri Firdaus, yang tak pernah sepi akan gejolak politik dan pelanggaran HAM.Dengan sederet penjang peristiwa kematian yang mengenaskan di Tanah Papua, seperti membawa kita sedang menyusuri jalan menuju apa yang dikatakan Francis Fukuyama, sejarawan dan ahli politik Amerika, “The and of a history, akhir sebuah sejarah”. Atau meminjam istilah para politisi Golkar, “…kita bergerak ke garis batas sejarah” karena konflik dan kematian yang berlanjut tanpa membangun dialog dan konsensus yang bermartabat.
Papua (Manokwari) Negeri para Laviathan bermain, bersemi, dan beranak-pinak. Sehingga manusia yang satu singkirkan sesama manusia yang lain, manusia yang satu cubit bahkan bunuh manusia yang lain. Segala cara dihalalkan demi mencapai kenikmatan sesaat: harta, kuasa, dan nafsu birahi.
Oleh karena itu, untuk mengakhiri aneka neraka khaos dan mengembalikan Manokwari , Tanah Papua secara utuh sebagai Negeri Firdaus, tanah surga, negeri yang penuh damai butuh dukungan semua pihak; entah masyarakat, TNI, Polri, pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat.
Paling tidak, sudah mendukung dengan doa dan materi untuk perjuangan membawa Papua agar sedikit menikmati perdamaian-kedamaian melalui jalan dialog Jakarta-Papua. Salah satu jalan paling indah, menarik, dan menyenangkan untuk mengakhiri berbagai “benang kusut” permsalahan termasuk mata rantai kekerasaan dan kematian yang berkepanjangan di Tanah Papua hanya dengan jalan dialog damai, adil, jujur, demokratis, dan bermatabat antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua. Kita menjadi besar dan berharga karena kemanusiaan kita. Tidak lain, mengubah kebencian menjadi cinta, permusuhan menjadi persahabatan, balas dendam menjadi pengampunan. Membalas pandangan mata yang penuh kesinisan dengan senyuman yang memberikan rasa nyaman dan teduh, membalas tolakan dengan rengkuhan dan rangkulan penuh damai. Itulah makna kemanusiaan sesungguhnya. Kini, Manokwari di tengah Via Dolorosa, jalan kesengsaraan, jalan para arwah, jalan air mata. Manokwari memang tempat banyak peristiwa bersejarah sekaligus berdarah terjadi.Maka, dari sana juga Manokwari disebut Kota Injil,masyarakat Papua dengan rendah hati dan berlutut memohon doa yang penuh kekuatan dari dari kedua mendiang Ottow dan Geissler untuk mengubah jalan penderitaan menjadi jalan cinta, jalan sama rata-sama rasa, sekaligus jalan kemanusiaan.
“Eksistensi manusia dalam hubungan dengan Sang Pencipta, itulah sisi religiositas manusia. Eksistensi manusia bersama manusia, itulah sisi sosialitas manusia,”kata Prof Dr Nicolaus Driyarkara (1913-1967), pastor Jesuit dan filsuf flamboyan Indonesia. Ia menyandang gelar doktor filsafat manusia khususnya tentang “Nicolas Malebrance” dari Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, Italia (1952).
Dalam disertasinya, Driyarkara menulis, “Manusia adalah kawan atau sahabat bagi sesamanya, homo homini socius est”. Bukan sebaliknya, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, “homo homini lupus est”, apalagi buat pengadilan sesat, main hakim sendiri, bunuh sendiri, sangatlah tidak benar.
Kita pun perlu saling mengingatkan, bahwa Manokwari dan Tanah Papua secara umum bukanlah pengadilan terakhir dalam drama ketidakadilan sejarah manusia dan kemanusiaan. Hingga sampai-sampai sesama manusia harus saling memangsa, saling gigit, saling mendongkel, ataupun saling memusnahkan. Tetapi, itu negeri yang penuh dengan tata krama, sopan santun, persahabatan, kedamaian, dan keindahan.Semoga kita yang bermusuhan segera kembali bersatu untuk menjadi batu sendi kekuatan membangun Tanah Papua yang baru, sekaligus mengembalikan Fidaus yang hilang! Semoga.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Pusat Kajian Isu Strategis (LKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, Periode 2013-2015.