Bila dilihat di dalam peta, tempatnya berbentuk seperti seekor burung yang sedang hinggap di atas dahan pohon, atau kangguru yang sedang melompat, dan bahkan juga seperti dinosaurus yang sedang menatap tajam mangsanya. Manusianya berperawakan sangar, kulit hitam dan rambut keriting, kekayaan alam yang berlimpah ruah, serta kebudayaan dan adat-istiadat eksotik yang masih melekat dalam diri setiap kelompok etnisnya bak suku-suku di pedalaman Afrika. Ya, sudah pasti pikiran kita akan melayang jauh membentang ke sebuah daerah di sebelah timur matahari terbit dari negeri ini yaitu Papua.
Papua merupakan sebuah pulau yang terletak di ujung timur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disana berdiam beragam kelompok etnis yang memiliki khasanah budaya amat berlimpah ruah. Setiap etnis grup yang mendiami pulau ini mengintegrasikan diri mereka dengan budayanya masing-masing sebagai simbol interaksi terhadap sesuatu yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Mereka menciptakannya sedemikian rupa dalam bentuk adat-istiadat atau kebiasaan hidup yang mempunyai nilai-nilai sosial budaya sangat tinggi.
Pulau Papua memiliki banyak kelompok etnis yang ditempatkan Tuhan sesuai dengan adat-istiadat mereka sejak zaman dahulu, sekarang, dan selamanya. Mereka menciptakan budaya sebagai bentuk perwujudan komunikasi antara mereka dengan sesama, alam, dan Sang Pencipta. Segala sesuatu mengenai budaya yang dihasilkan merupakan keterkaitan emosional antara keseimbangan hubungan manusia dengan sesama, lingkungan, sebagaimana manusia bersama substansi tertingginya, yaitu Tuhan.
Berdasarkan pada pembagian wilayah adat yang dibagi oleh Dewan Adat Papua, Pulau Papua dipisahkan menjadi menjadi tujuh area persebaran kebudayaan, yakni: (1) Mamta (daerah Port Numbay, Sentani, Sarmi, Mamberamo Raya, dan Keerom); (2) Saireri (daerah Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, dan Nabire Pantai); (3) Domberai (daerah Manokwari, Bintuni, Wondama, Sorong, Raja Ampat, Sorong Selatan, dan Tambrauw); (4) Bomberai (daerah Fak-Fak, Kaimana, dan Mimika Pantai); (5) Mee-Pago (daerah Intan Jaya, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Nabire Gunung, dan Mimika Gunung); (6) La-Pago (daerah Pegunungan Buntang, Wamena, Lani Jaya, Puncak Jaya, Puncak, Nduga, Yahukimo, Yalimo, Mamberamo Tengah, dan Tolikara); dan (7) Ha-Anim (daerah Merauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat).
Menurut GBHN 1993, generasi muda adalah generasi yang berusia antara 0-30 tahun. Mengenai persepsi tentang generasi muda sampai sekarang ini belum ada kesepakatan para ahli, namun pada dasarnya ada kesamaan mengenai pengertian generasi muda tersebut, yaitu beralihnya seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa remaja atau muda dengan disertai perkembangan fisik dan non fisik (jasmani, emosi, pola pikirannya dan sebagainya ).
Generasi muda Papua adalah generasi muda yang memiliki potensi, semangat, daya juang yang tinggi, dan kreatif dalam menjunjung rasa cinta dan hormat terhadap adat-istiadat dan budayanya. Hal ini menjadikan angkatan muda Papua berperan penting dan berkewajiban untuk melestarikan budaya yang telah diturunkan dari leluhur mereka. Akan tetapi animo pemuda tentang ketertarikannya terhadap budaya maupun tradisi sudah terkikis oleh perkembangan zaman.
Menurut Koentjaraningrat (1985), kebudayaan dibagi menjadi tujuh (7) komponen dasar, yaitu: 1) kesenian, 2) sistem peralatan dan teknologi, 3) sistem organisasi masyarakat, 4) bahasa, 5) sistem kehidupan rumah tangga dan ekonomi, 6) sistem pengetahuan, dan 7) sistem kepercayaan. Ke – tujuh elemen ini seharusnya dijaga dan dilestarikan dengan baik oleh para generasi pemuda Papua. Namun dalam kenyataannya mereka tidak melihat secara jeli dan sadar apa yang akan terjadi dikemudian hari. Diperkirakan 10-20 tahun mendatang kebudayaan beserta adat-istiadat suku bangsa Papua akan segera hilang.
Pola Pikir Generasi Muda Papua Masa Kini
Generasi penerus bangsa dan budaya, dalam hal ini para pemuda Papua, hampir sangat tidak menyadari bahwa budaya itu sangat penting bagi kehidupannya. Nasehat leluhur yang selalu dipegang erat turun-temurun sudah mereka abaikan. Nasehatnya berbunyi “bagi siapa yang hidup dalam budaya maka hidupnya akan terberkati, akan tetapi bagi mereka yang mengabaikan budaya maka mereka akan diam dalam kesusahan sepanjang hidupnya”. Mereka tidak terlalu tertarik dan kebanyakan dari mereka telah mengadopsi dan mengasimilasi budaya orang lain untuk masuk ke dalam kehidupan mereka. Mereka malah enggan untuk menjalankan amanah dari orang tuanya. Akibatnya, kebudayaan yang mengagumkan tersebut kini sudah hampir hilang atau dengan kata lain budaya-budaya di Papua sudah hampir terkikis mendekati kepunahan.
Ada dua hal penyebab mengapa generasi Papua sangat lamban dalam upaya melestarikan budayanya, yaitu:
1. Dilema
Telah tercipta dilema di kalangan generasi muda Papua. Mereka dihadapkan pada dua hal yang membingungkan. Kedua hal itu, yakni: (1) mereka ingin mempertahankan budaya dan adat istiadatnya namun takut dikatakan ketinggalan zaman oleh teman-teman maupun orang-orang di sekitar lingkungan tempat tinggalnya; (2) mereka ingin belajar dan mengekspresikan kebudayaan asalnya, namun tidak ada rasa kepercayaan diri atau malu pada diri sendiri maupun orang lain untuk menampilkan produk dan ciri khas budaya yang sebenarnya adalah identitas serta jati dirinya sebagai suku bangsa Papua.
2. Enggan belajar dari fasilitator atau sumber
Kurangnya keinginan untuk belajar dari generasi tua, sebagai fasilitator atau sumber, yang baik. Para pemuda enggan mendekatkan dirinya kepada orang tua yang menjadi media pembelajaran utama mengenai kebudayaan. Mereka hanya bergaul dengan teman-teman sebayanya yang cenderung membawa mereka terjun ke dalam dunia negatif. Akhirnya generasi tua pun menutup diri dengan tidak memberikan sesuatu kepada para pemuda.
Solusi
Pemerintah Provinsi Papua, terlebih khusus pemerintah daerah setiap kabupaten/kota, bekerjasama dengan lembaga-lembaga adat berkewajiban menanggulangi masalah ini. Ada beberapa cara pelestarian budaya, yaitu: (1) mendirikan sanggar-sanggar seni budaya; (2) menyelenggarakan seminar-seminar atau diskusi-diskusi panel tentang pentingnya budaya kepada para pemuda Papua; (3) saling keterbukaan antara generasi tua dan muda menyangkut pelestarian budaya; (4) mengadakan kegiatan festival budaya.
Generasi muda Papua sangat senang dengan keramaian. Salah satu cara atau trik yang dilakukan adalah mengadakan festival budaya. Semangat untuk mengikuti kegiatan ini sungguh sangat luar biasa. Mereka akan sangat senang diikutsertakan dalam ajang tersebut. Mau tak mau kalau ingin mengikuti acara tersebut mereka harus belajar terlebih dahulu. Contohnya, jika ingin mengikuti tarian mereka harus belajar dari orang tua yang berperan sebagai fasilitator. Secara langsung proses kebudayaan itu diturunkan dari generasi tua kepada generasi muda dan pastinya akan diingat selalu. Sehingga suatu saat apabila mereka diminta kembali untuk mempertunjukkannya, mereka tidak canggung dan malu malahan spontan melakukannya karena sudah dihafal serta tertanam rasa kepercayaan dalam dirinya.
Festival budaya dimaksudkan selain melestarikan budaya dan menunjukan kearifan lokal yang berasal dari satu daerah maupun kelompok etnis, juga untuk menarik para wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung ke daerah. Hal ini sangat bernilai positif karena dapat melibatkan pemuda secara langsung, sementara itu di sisi lain mendatangkan income bagi daerah tujuan wisata tersebut. Kemudian daerah itu dapat dipromosikan ke dunia luar lewat kebudayaan yang di dalamnya terkandung ide-ide, aktivitas-aktivitas, dan artefak-artefak.
Di Papua selalu diadakan beberapa festival budaya pada tempat yang berbeda. Festival-festival kebudayaan di Papua selalu diselenggarakan sekitar bulan Juni-September setiap tahunnya. Diantaranya adalah Festival Danau Sentani, diadakan pada tanggal 19-23 Juni; Festival Humbolt Bay 05-07 Agustus, dan Festival Lembah Baliem 07-12 Agustus. Beberapa kearifan lokal yang selalu ditampilkan adalah tari-tarian, musik rakyat, perang-perangan, lukisan-lukisan pada kulit kayu, ukiran-ukiran, keterampilan tangan, serta berbagai macam kuliner tradisional dll.
Penutup
Kebudayaan suku-suku di Papua memiliki nilai-nilai sosial budaya bernilai tinggi yang semuanya itu adalah pemberian dari Satu Sumber Baik (Sang Pencipta) dalam bentuk kreasi ide-ide, aktifitas-aktifitas, dan artefak-artefak. Nilai-nilai tersebut dikemas rapi dan disatukan bersama dengan pembangunan karakter yang membentuk karakter dari seorang individu dalam setiap etnis. Berdasarkan norma-norma inilah yang akan menjadikan setiap individu orang Papua tersebut, khususnya generasi muda, tumbuh menjadi seorang yang memiliki kepribadian tangguh, berkuasa, dan berdaulat. Mereka berpegang teguh pada prinsipnya bahwa mereka adalah satu-satunya manusia beradab dalam lingkungan tempat tinggalnya. Tidak ada seorangpun dapat menentang pernyataan yang mereka deklarasikan. Alhasil, mereka selalu menyatakan dirinya sebagai manusia sejati atau manusia yang berasal dari Khalik Yang Maha Tinggi.
Referensi:
Buku Pedoman Dewan Adat Papua