
Oleh : Pdt Lipiyus Biniluk MTh
Relasi antara Kekristenan, Umat Kristen dan Gereja dengan Israel merupakan relasi yang sulit untuk dipisahkan dan bersifat unik. Bagi Kekristenan, Israel merupakan bangsa pilihan dan umat perjanjian yang Allah pilih dalam PL (Kel. 19:5-6), sedangkan Gereja didirikan oleh Tuhan Yesus dan Roh Kudus dalam Perjanjian Baru setelah Israel menolak Tuhan Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan Allah (Mat. 16:18). Akan tetapi, meskipun Israel dan Gereja berbeda, namun panggilan, tugas dan misi yang Tuhan berikan kepada Israel dan Gereja (Umat Kristen) pada prinsipnya sama, yakni menjadi tangan dan alat Tuhan agar setiap suku bangsa di seluruh dunia mengenal Tuhan dan diberkati serta diselamatkan.
Dalam konteks agama-agama modern sekarang ini, Kekristenan dan Yudaisme merupakan dua agama yang berbeda. Kedua agama ini memiliki sistem dogmatika tersendiri yang sudah standar dan berbeda satu dengan yang lain. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas beragama Islam, umat Kristen, khususnya Kristen Papua, perlu menjelaskan sikap dan pandangan teologis terkait hubungan Gereja (Umat Kristen) dengan Israel.
Secara umum, bagaimana pandangan teologis umat Kristen tentang hubungan antara Israel dan Gereja di masa kini? Menurut saya pribadi, Umat Kristen dan Alkitab tetap mengakui eksistensi Israel sebagai umat pilihan Allah. Alkitab tidak sedikit pun mengindikasikan bahwa status Israel sebagai umat pilihan Allah sudah berhenti (Kis. 15:14). Walaupun Israel tidak percaya dan tidak setia, ketidaksetiaan Israel tersebut tidak membatalkan kesetiaan dan pilihan Allah atas mereka (Hos. 14:5-8), sebab Allah tidak pernah mengingkari diri-Nya (Im. 26:40-45). Pada akhirnya Israel juga akan diselamatkan karena mereka bangsa pilihan, dan Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya (Rm. 11:28-30).Gereja dan Kekristenan tidak akan ada tanpa bangsa Israel.
Mengenai hubungan antara Kekristenan dan Yudaisme dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada awalnya Kekristenan merupakan salah satu bagian dari Yudaisme. Dalam Kisah Para Rasul 24:5, Imam Besar Ananias menyebut Kekristenan sebagai āsekteā Nasrani.
Pada mulanya Kekristenan sebenarnya merupakan salah satu kelompok dalam Yudaisme, seperti halnya Farisi dan Saduki. Istilah āKristenā pertama kali digunakan di Antiokhia oleh para pengikut Kristus sendiri (Kis. 11:26; Kis. 26:28; Rm. 16:7; 1 Kor. 9:5; 2 Kor. 12:2; 1 Pet. 4:16).
Akan tetapi, secara perlahan-lahan, secara teologis, Umat Kristen kemudian memahami umat pilihan Allah tidak lagi sebatas pada bangsa Israel, tetapi kepada siapapun yang percaya kepada Kristus. Amanat Agung (Mt. 28:18-20) menegaskannya. Dalam Injil dicatat bahwa Yesus menunjukkan kepatuhan-kepatuhan kepada Taurat (Mk. 1:44; 6:56; 10:19; Mt. 9:20; 14:36; Lk. 8:44; 17:14). Tetapi di sisi lain juga, Yesus terlihat meninggalkan Taurat (bdk. Mt. 5:38 dst; Mk. 10:2-9; 7:14-23). Alkitab PB dengan tegas menunjukkan bahwa āsemua orang telah jatuh ke dalam dosaā, sehingga batasan-batasan teritorial dan etnis umat pilihan Allah menjadi hilang.
Dalam kaitan ini, ketaatan terhadap hukum-hukum Taurat pun secara perlahan-lahan memudar. Inilah yang membuat separasi atau keterpisahan antara Kekristenan Perjanjian Baru dan Yudaisme. Rasul Paulus sendiri menentang penerapan hukum Taurat yang membatasi anugerah Allah hanya pada bangsa Israel dan tertutup bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Bagi Rasul Paulus, iman adalah dasar dan sarana yang melaluinya manusia membangun relasi dengan Tuhan, dan bukan dengan melakukan Taurat (Mat. 8:4).
Dalam perkembangan berikutnya, pemisahan Kekristenan dari Yudaisme terus terjadi dan semakin terasa. Rasul Paulus memisahkan murid-muridnya dari orang-orang Yahudi dan mengajar mereka di ruang kuliah Tiranus (Kis. 19:9). Tidak ada kejadian utama yang tiba-tiba memisahkan Kekristenan dari Yudaisme, melainkan pergeseran secara perlahan-lahan dan berkelanjutan yang semakin menjauhkan Kekristenan dari Yudaisme. Perang Yahudi antara tahun 66-74 yang menghancurkan segala sesuatu yang berbau otoritas keagamaan Yudaisme, termasuk Bait Suci dan kompleksnya, membuat posisi Yudaisme melemah.
Orang-orang Kristen Yahudi memainkan peranan penting dalam memisahkan Kekristenan dari Yudaisme. Kebijakan para rabbi Yahudi terhadap Kekristenan sangat konfrontatif. Mereka berusaha dan berhasil memarginalisasikan orang-orang Kristen Yahudi dan mengeluarkan mereka dari ibadah-ibadah keagamaan. Mereka menyingkirkan orang Kristen dari rumah-rumah ibadah dan memaksa orang-orang Yahudi lainnya untuk mengasingkan orang-orang Kristen Yahudi dari masyarakat.
Isu Pengibaran Bendera Bintang Daud di Papua
Bertepatan dengan momen pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem dan peringatan HUT ke-70 Tahun Kemerdekaan Bangsa Israel, sekelompok orang Papua Kristen yang menyebut diri āSion Kids Papuaā membuat sebuah event, dengan menggerakkan sebagian masyarakat Kristen Papua, dimana seusai Ibadah di Gedung Olah Raga, mereka melakukan konvoi kendaraan di jalan-jalan, berkeliling Kota Jayapura sambil mengibarkan Bendera Israel, Bintang Daud.
Hal ini tentu saja mengundang pro-kontra, kritik dan polemik dan sedikit memanaskan atmosfir politik dan geopolitik Indonesia, di tengah-tengah pergolakan konflik Israel- Palestina yang kian memanas atas Klaim kepemilikan Yerusalem dari masing-masing negara.
Sejarah menunjukkan, hubungan antara bangsa Israel dengan bangsa Arab adalah āRelasi Negatifā, yang sarat dengan konflik, perang, demi memperebutkan āTanah Perjanjianā dan demi menjaga dan mempertahankan derajat, harga diri dan kehormatan, keturunan, kaum, nasion, dan iman (agama) yang telah berlangsung lebih dari 2000 tahun dan tak pernah berhenti hingga saat ini serta berdampak global.
Ketika umat Islam Indonesia turun ke jalan melakukan demonstrasi memprotes tindakan Israel terhadap bangsa Palestina, maka itu bukan hal kontroversial karena sudah sering dilakukan. Dari perspektif konstitusi demonstrasi anti Israel tersebut juga ābisa dibenarkanā, karena Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menentang penguasaan dan dominasi Israel atas tanah Palestina.
Sebaliknya, menjadi hal kontroversial ketika sekelompok kecil orang Kristen Papua mengekspesikan simpati dan empati pada hari Ulang Tahun Israel ke-70 tersebut, dengan mengibarkan Bendera Israel, Bintang Daud. Hal ini tentu menimbulkan polemik dan kontroversial, antara lain karena Indonesia mendukung Palestina dan karena Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik.
Lalu, ada apa dan apa sebenarnya yang sedang terjadi di Papua dengan pengibaran Bendera Israel, Bintang Daud tersebut?
Apakah pengibaran bendera Bintang Daud tersebut itu hanya sebatas ekspresi simpatik normatif saja karena faktor teologis keagamaan (secara emosi keagamaan) atau karena politik?
Menurut saya, Pengibaran Bendera Bintang Daud yang dikibarkan sekelompok kecil orang Kristen Papua tersebut adalah ungkapan emosional teologis dan kultural saja. Orang-orang Kristen Papua ini memandang dan menggunakan Lambang Bintang Daud sebagai simbol rohani saja, karena Bendera Bintang Daud merupakan simbol pengingat bahwa Yesus Kristus merupakan keturunan Raja Daud. Sehingga, umat Kristen sebagai pengikut Yesus yang adalah juga keturunan Raja Daud, secara tradisional juga biasa mengibarkan panji-panji Raja Daud. Dengan mengibarkan Bendera Bintang Daud, mereka sebenarnya mengartikannya sebagai merayakan dan mengagungkan Yesus sebagai Anak Daud.
Secara teologis, Panji Bintang Daud itu amat penting bagi kelompok Kristen ini, karena merupakan simbol kemenangan Yesus, Anak Daud, atas dosa, penderitaan, kematian, sakit penyakit dan keputusasaan. Panji Bintang Daud adalah simbol pengharapan, iman dan kasih, sukacita dan damai sejahtera. Kelompok ini tidak bermaksud mengibarkan Bendera Negara Israel! Tetapi hanya mengibarkan Bendera Bintang Daud saja dalam konteks iman Kristen
Oleh karena itu, Pengibaran Bendera Bintang Daud ini jangan disalahpahami sebagai Zionisme, dukungan kepada Negara Israel. Pengibaran Bendera Bintang Daud ini jangan dipolitisir, karena hanya bersifat ritual dan tradisi keagamaan Kristen yang bersifat selebrasi simbolik saja.
Bagi umat Kristen, Israel merupakan tanah perjanjian bagi orang-orang Yahudi, tetapi bukan tanah perjanjian bagi orang-orang Kristen. Kami menganggap Israel modern sekarang ini lebih merupakan tempat wisata/ ziarah rohani karena memiliki tempat-tempat religius yang tercatat dalam Alkitab.
Kami berpendapat, penggunaan dan pengibaran Lambang Bendera Daud dalam konteks praksis iman Kristen tidak bisa dilarang oleh pihak manapun, karena itu merupakan hak dan kebebasan beragama yang dijamin Undang-undang Dasar.
Saya sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua, memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Pihak Kepolisian Daerah Papua, dalam situasi nasional dan global saat ini yang agak panas, tetap bisa menjaga keharmonisan, kerukunan dan ketertiban di Papua.
Saya menghimbau jangan ada pihak pihak yang mencoba memprovokasi dan mempolitisir isu ini. Karena Papua saat ini semakin mendapat perhatian internasional. Kerukunan harmonis antar umat beragama yang sudah terjalin di Papua harus terus dikembangkan dan dipelihara. Itu salah satu modal dasar bagi kemajuan Papua, dan Indonesia. Saya juga mengimbau agar masalah agama jangan dipolitisir dan dijadikan sebagai alat pemecah belah antar anak bangsa.
Penulis Adalah Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua