Oleh Thomas Ch. Syufi*
Soekarno alias Bung Karno merupakan seorang tokoh besar sepanjang sejarah, bukan saja dalam sejarah revolusi Indonesia, tapi juga dalam sejarah perubahan global. Ia seorang proklamator dan orator ulung, serta seorang presiden (pertama) Indonesia.
Bung Karno tidak sedikit mencurahkan jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 dari penjajahan Belanda (350 tahun) dan Jepang (3 tahun).
Sampai-sampai setelah merdeka, ia masih kukuh mewakili Indonesia bersuara lantang di forum-forum bergengsi dunia, untuk memperjuangkan kepentingan nasional di panggung internasional sekaligus ikut berkontribusi demi terciptanya nilai-nilai universal: keadilan, kesejahteraan, persaudaraan, dan perdamaian abadi.
Bung Karno bersama beberapa pemimpin Asia-Afrika, seperti Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri (pertama) India, Sir John Kotelawala (PM Srilanka), (U Nu PM Birma), dan Mohammad Ali Jinah (Pakistan), misalnya, mendirikan Konferensi Asia-Afrika(KAA), dan pada tanggal 18-24 tahun 1955 pertama kali diselenggarakan KAA di Bandung, Indonesia.
Soekarno tampil di mana-mana, di panggung internasional, ia memperkenalkan Indonesia: ia bicara di Kongres Amerika, ia berpidato di Gedung Putih, ia bersuara di Gedung PBB di New York, AS, pikirannya meyebar ke mana-mana, menjadi jalan raya di seluruh dunia.
Bung Karno memang sosok yang sangat kuat, tegas, cerdas, dan disegani dunia pada masanya. Bahkan dengan kepiawaiannya, ia mengajak empat pemimpin dunia: Josip Broz Tito(Yugoslavia), Jawaharlal Nehru( Perdana Menteri pertama India), Gamal Abdel Nasser(Presiden kedua Mesir), dan Kwame Nkrumah (Ghana), misalnya, untuk membentuk Gerakan Nonblok(GNB).
Tujuan GNB seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Havana(1979) adalah ikut mendorong terciptanya kemerdekaan, kedaulatan, dan keamanan negara-negara nonblok, dalam perjuangan melawan paham imperalisme, kolonialisme, rasisme, dan semua bentuk agresi asing, okupasi, dominasi, intervensi, atau hegemoni, dan melawan politik blok dan adikuasa: entah Blok Timur yang berpaham komunis atau Blok Barat yang pro-liberal (atau demokrasi).
Tergores rapi dalam sejarah, di Palace of Serbia, merupakan sebuah gedung yang digunakan untuk digelar Konferensi Pertama GNB tahun 1961, di Boegrad, ibu kota Yugoslavia.
Ketika itu, Republik Federal Sosialis Yugoslavia masih dipimpin oleh tokoh pemersatunya, Josip Broz Tito (1892-1980). Tito yang berpangkat Marsekal itu adalah sahabat dekat dengan Soekarno. Saking dekatnya Bung Karno dengan Tito, selama 20 tahun pemerintahannya, Bung Karno 20 kali mengunjungi Yugoslavia.
Tito merupakan sosok pemimpin yang kapabel dan pemersatu seperti Soekarno yang mampu menyatukan Nusantara yang begitu luas, dari Sabang-Merauke dengan 17 ribu lebih pulau kecil dan besar.
Tito pun mampu merekatkan semua etnik dan menjadikan negara bekas Balkan itu sebagai bangsa yang disegani pasca-Perang Dunia II (1939-1945). Selain itu, kita sedikit tersenyum puas dan bangga kerena arsitek bangsa Yugoslavia modern itu memiliki kemiripan sepotong nama secara homograf maupun homonim, dengan Kapolri kita Irjen (Pol) Titi Karnafian, yang kini dikenal sebagai polisi yang bersinar di tengah kondisi bangsa yang chaos (kacau) akibat ulah bom bunuh diri teroris.
Sejarah memang berkata lain. Fakta persatuan yang dikonsolidasikan oleh Josip Broz Tito tak bertahan lama. Ketika Tito meninggal, dia bukan saja meninggalkan Yugoslavia, tetapi juga meninggalkan segudang bom waktu. Konflik berdimensi etnis dan agama pun bertubi-tubi meletup di mana-mana, hampir di seluruh wilayah Yugoslavia.
Akhirnya negeri multi-etnis dan multi-agama itu harus hancur berantakan, bubar. Jadi balkanisasi. Pada 28 April 1992, secara resmi Yugoslavia bubar jadi enam negara bagian, yakni Serbia, Montenegro, Macedonia, Kroasia, Slovenia, dan Bosnia-Herzegovina. Yang membuat kita kagum adalah negeri yang didirikan oleh sahabat Tito, Soekarno, yakni Indonesia tetap kokoh berdiri hingga kini.
Namun, glorifikasi heroisme masa lalu Soekarno tidak bisa mendistorsi terhadap fakta dan tragedi kemanusiaan yang terus datang pergi melanda pluralisme Indonesia. Kegemilangan Bung Karno habis ketika terjadi pergantian rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru.
Dari sinilah benih-benih barbarisme pun mulai tumbuh, terutama di era Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, misalnya huru-hara atas tewas tertembak mati 26 orang warga oleh aparat pada 12 September 1984. Pada Orde Reformasi yang diurus oleh BJ Habibie(1999), Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1999-2001), Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014), dan Joko Widodo (Jokowi) kekerasan dan kejahatan oleh kelompok radikal, ekstrimis, dan teroris pun terus berlanjut.
Beberapa konflik horizontal yang pernah terjadi sekaligus merupakan kenangan pahit bagi rakyat Indonesia. Misalnya, Bom Bali I (12 Oktober 2002) pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Bom Bali II (1 Oktober 2005) pada pemerintahan SBY. Konflik beraroma agama di Poso (1998-2000), konflik SARA di Ambon (1999-2000) pada era Gus Dur merupakan gumpalan persoalan kelam masa lalu yang tetap terbesit dalam benak dan sejarah bangsa Indonesia. Kini, pemerintahan Jokowi kekerasan atas nama agama, seperti pembakaran gereja dan bom bunuh diri marak terjadi di mana-mana, di wilayah NKRI.
Gerakan radikalisme politik berjubah demokrasi, dehumanisme, ekstrimisme, vandalisme, fundamentalisme, berbarisme, hingga serangan terorisme telah merongrong kesucian perjuangan Bung Karno mendirikan republik yang berfondasikan Pancasila ini: Persatuan Indonesia.
Bahkan, pada 13 Mei kemarin, kisah memilukan kembali menyapa masyarakat Indonesia atas serangan bom bunuh diri oleh teroris di tiga gereja: Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia di Ponogoro, dan, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Arjono, Surabaya, Jawa Timur, yang menewaskan adalah sebuah serangan (hantaman) dahsyat terhadap jantung negara kita.
Tujuan peledakan bom bunuh diri, menurut Institute for Counter Terorism (ICT), adalah sebuah metode operasi dengan penyerangan bergantung pada kematian pelaku. Pelaku sepenuhnya menyadari bahwa jika ia tidak tewas, maka rencana penyerangan tidak akan dapat dilaksanakan.
Selain ICT, Robert A Pape menulis dalam Dying to Win, The Strategic Logic of Suicide Terrorism, terorisme bunuh diri merupakan bentuk terorisme yang sangat agresif: pelaku bom bunuh diri pasti mati. Artinya, dalam terorisme bunuh diri, misalnya, dengan menggunakan bom pelaku, teroris, tidak mengharapkan ia akan lolos dari maut.
Logika persatuan dan kesatuan tak akan terjalin tanpa adanya kesatuan visi, misi, dan cita-cita bersama. Persatuan dan keutuhan yang menjadi kerinduan GNB dan Soekarno secara khusus, justru diretakkan oleh kelompok-kelompok teroris, radikalis, dan ekstrimis dengan klaim kebenaran subjektif: mereka berdalil dengan doktrin-doktrin sesat, seperti terminologi orang kafir atau agama kafir. Menghabisi nyawa sesama manusia lain dengan dalih kafir merupukan tren yang menjijikan.
Keindahan dunia terjadi karena kombinasi dari model dan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda itu, seperti Soekarno, Nehru, Nasser, dan Tito. Begtupula, Indonesia yang indah karena gabungan dari berbagai unsur yang berbeda-beda juga, seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. “Perdamaian antarbangsa tak akan terjadi kalau tak ada perdamaian antaragama,” kata Hans Kuhn, teolog Swiss.
Indonesia seperti di bibir pantai dan pluralisme adalah tanggul yang selama ini menahan amukan gelombang yang hendak menyapu daratan republik. Maka, kita semua harus memiliki rasa tanggung jawab untuk merawat dan memajukan pluralisme. Apalagi, kata Aung San Suu Kyi, tokoh demokrasi Myanmar dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian (1991), “Perdamaian adalah tujuan ideal yang tak bisa diganggu oleh pemerintahan atau bangsa mana pun, termasuk mereka yang gemar berperang sekalipun”.
Jelas, bahwa agama apa pun di dunia ini tidak mengajarkan kejahatan, tapi semua agama mengajarkan tentang cinta kasih dan kebaikan. Karena itu, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2001, mantan Menteri Luar Negeri Ghana, dan Sekretaris Jenderal(Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2007-2017, Kofi Annan mengatakan, mungkin kita berbeda agama, berbeda bahasa, dan berbeda warna kulit, tetapi kita semua berasal dari satu ras manusia.
Atau lebih pas mengutip mendiang Paus Yohanes Paulus II (Carol Wojtyla), “Kita menyembah pencipta yang sama, tetapi kita menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda.”
Republik ini terus digocang dengan berbagai persoalan sosial—mulai dari masalah ekonomi, politik—hingga isu-isu sektarianisme dan terorisme yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa yang telah disatukan oleh Bung Karno sejak awal.
Karena itu, pemerintah yang berkuasa saat ini harus lebih giat lagi belajar dari romantisme dan glorifikasi heroisme Bung Karno di masa lalu, yang disegani dan dihormati dunia karena bisa menyatukan Nusantara yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan golongan.
Bila Indonesia hanya terus dijadikan sebagai medan perebutan berbagai kepentingan dan hari-hari para politisi ribut dan bergaduh soal kepentingan politik identitas, partai yang bernafaskan agama terus berikhtiar menjegal undang-undang terorisme dan paham-paham radikalisme, saya sangat skeptis dengan kejayaan negeri ini di masa depan, karena Indonesia tidak akan menemukan usianya yang ke-100 tahun.
Republik ini akan segera pergi. Indonesia bakal meniru sejarah kelam Yugoslavia, bahwa Josip Broz Tito meninggal, Yugoslavia pun bubar, maka mungkin juga bisa terjadi, setelah Bung Karno pergi, Indonesia pun akan hilang dari peta dunia, bak berjalan dalam arus air.
Sangat tragis ketika Yugoslavia bubar—tak ada lagi negara-negara Balkan (pecahannya) yang jadi anggota GNB, kecuali Serbia—yang berstatus peninjau (observer). Sementara negeri yang kini beribu kota di bekas ibu kota negara Yugoslavia, Boegrad, itu sedang memproses dirinya menjadi anggota Uni Eropa.
Itulah glorifikasi heroisme dan romantisme sosok Bung Karno dan Josip Broz Tito, yang dihormati dan disegani dunia pada zamannya. “Seseorang itu terasa penting (atau berarti) ketika ia telah pergi dan takkan kembali lagi,” begitulah ujar-ujaran Kahlil Gibran(1883-1931), penyair dan pelukis terkenal Libanon kelahiran Amerika, yang sangat pas untuk mengenang dua tokoh besar, Bung Karno dan Tito.
Menjadi pemaaf
Kembali pada tragedi bom bunuh diri teroris di tiga gereja, di Surabaya, Jawa Timur. Peristiswa mengenaskan dan menyedihkan itu mengajarkan kita semua untuk tetap teguh untuk mewartakan kabar suka cita kepada sesama yang lain dan menjadi manusia sejati yang bisa saling memaafkan.
Karena ukuran terbesar kemanusiaan kita adalah bagaimana bisa mengubah kebencian menjadi cinta, permusuhan menjadi persahabatan, dan balas dendam menjadi pengampunan.
Kita harus jadi man of peace, manusia damai. Walaupun secara jasmaniah dan rohaniah sudah dihancurkan dengan berbagai siksaan dan teror oleh kelompok radikal, seperti telur yang belum menetas, tapi hati kita tetap menjadi pemaaf, dengan mendoakan agar pelaku kejahatan( teroris) diampuni kesalahannya karena mereka tidak tahu dengan apa yang mereka perbuat .
Tugas kita adalah merawat persatuan dan kesatuan dalam koridor keindonesiaan dan kemanusiaan sejati, sebagaima dicita-citakan oleh fouding fathers kita, Bung Karno. Tabiat buruk, seperti amarah, kebencian, dendaman, hinaan, iri hati, dan fitnah kepada sesama manusia harus “diratakan” dengan sikap cinta kasih, memaafkan, dan persahabatan sejati.
Tuhan telah memetik kuntum terindah untuk menghiasi taman surga. Mereka yang telah menjadi korban dari tindakan bom bunuh diri teroris demi membela gereja dan kaumnya adalah ‘martir’ yang kini mengindahkan kebuh Allah di surga. Selamat jalan para martir.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua LPKIS, Presidium Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, periode 2013-2015. Dan, Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, dan HAM DPD KNPI Papua Barat, periode 2016-2019.