
Oleh : Thomas Ch. Syufi
Pernah William Jefferson Clinton atau Bill Clinton , presiden ke-42 AS(1993-2001) berkata kepada penggantinya, George Walker Bush, presiden ke-43 AS (2000-2009): “Kalau Anda ingin menjadi presiden, sadarilah bahwa “jabatan” itu soal rakyat, bukan tentang Anda”.
Jelas, pernyataan ini mengingatkan kita, terutama para pemimpin kita di Tanah Papua, entah gubernur, bupati, walikota, kepada distrik, atau pun kepala kampung, anggota DPRD, termasuk Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat (MRP-MRPB) yang baru diseleksi .
Karena setiap orang atau warga negara yang telah dipilih oleh sesama warga negaranya untuk menduduki jabatan publik—itu merupakan amanah mulia yang dititipkan kepadannya.
Ia telah memikul bebas politik sekaligus moral untuk bertanggung jawab kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi.
Karena rakyat memilih pemimpin bukan berdasar dorongan apa pun, entah hubungan keluarga, suku, agama, ras, antargolongan, atau sesama jenis kelamin—tapi karena dinilai berdasarkan pada visi-misi dan kualitas pribadi (kecerdasaran intelektual, emosional, dan spiritual) yang baik.
Maka, apa pun alasannya, setiap pemimpin yang telah dipercayakan kepada rakyat, ia harus fokuskan pikiran, mata, telinga, tenaga, dan tindakan pada kepentingan rakyat, mewujudkan mimpi bersama, kesejahteraan, keadilan sosial, dan menciptakan keharmonisan dalam bermasyarakat. Hanya dengan cara itu semua keluh-kesah rakyat bisa diobati, sebab hal tersebut menjadi tujuan utama yang harus dicapai.
Jabatan yang diemban oleh pemimpin adalah sebuah anugerah yang harus digunakan secara baik untuk kemaslahatan orang banyak. Perlu dijaga marwah dan kesakralannya sebagai jabatan publik. Karena itu, jangan sekali-kali kesucian dan keluhuran jabatan yang diberikan oleh rakyat dikotori dengan hal yang tidak penting. Misalnya, menggunakan jabatan untuk menjadi seorang otoriter untuk menindas rakyat, menggarong uang rakyat, buat kebijakan-kebijakan yang non-populis dan anti-humanis.
Juga, orang yang telah dipilih atau ditunjuk untuk mengemban jabatan publik, misalnya, di kedua provinsi; Papua dan Papua Barat, seperti gubernur, bupati, walikota, anggota DPRD, anggota MRP-MRPB, TNI/ Polri, atau jaksa dan hakim, harus bersikap arif dan bijak dalam setiap keputusan dan praksis yang dimabil.
Ketika seorang pejabat yang telah resmi memangku jabatan publik maka loyalitasnya pada keluarga, partai politik, atau kepentingan kelompok telah berakhir dan loyalitas pada negara atau rakyat dimulai. Ia hanya bisa menghormati konstitusi dan setia pada kehendak rakyat.
(Baca Juga : Pemilu dan Politik Uang)
Banyak pengalaman, pemimpin yang berjalan tanpa aturan hukum dan mengukuti kehendak publik tak pernah sukses dalam berbagai kebijakan atau keputusan yang dilakukannya. Bahkan, cenderung mendapat resistensi dan perlawanan dari rakyat sebagai sasaran dari pembangunan.
Maka, kata Martin van Creveld (1946), dalam The Rise and Decline of the State (1999), sejarawan Israel kelahiran Belanda, “Keruntuhan negara terjadi saat “nurani” publik tidak lagi menjadi bagian pertimbangan negara dan pemerintahan” (Thomas Ch. Syufi—Bunga Rampai Indonesia; Sebuah Proposal Ringkas Papua, hal 105).
Pemimpin adalah orang-orang besar dalam sejarah. Kebanyakan sejarah dibuat dan diciptakan oleh orang-orang besar dan pahlawan, demikian kata sejarawan Inggris Thomas Carlyle(1795-1881). Seorang tokoh atau pemimpin besar yang kenang atau diingat jasa baiknya bila ada orang-orang (generasi baru) yang melanjutkan perjuangannya. Namun, tatkala pemimpin yang gagal menciptakan sejarah kadang juga diejek, dihina, bahkan dilupakan dalam sejarah.
Karena kebanyakan orang menjadi sombong ketika menduduki kekuasaan. Kesombongan menjadi awal dari kehancuran diri, karena menggunakan kekuasaan untuk menindas yang lemah, mengabaikan suara orang yang mengantarnya menduduki tampuk kekuasaan, mengambil hak orang lain (atau rakyat) untuk menyejahterakan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Karenanya, Bill Clinton kembali mengingatkan, jangan lupa sejarah kelak akan menjadi hakim.
Lanjut suami dari Hillary Clinton, calon prisiden AS dari Partai Demokrat yang dikalahkan Donald Trump(Partai Republik) dalam Pemilu 2016, “Tuhan, lihat orang-orang yang saya kalahkan”. Bush pun pernah menampik Bill Clinton tentang kualitas seorang presiden mengatakan, “Saya pikir, sangat penting mau mengetahui apa yang Anda tidak ketahui”.
Inti dari kekuasaan adalah pengabdian tiada akhir, bukan taman sari yang harus dinikmati, apalagi dijadikan sebagai mata pencarian untuk kesejahteraan diri, keluarga, dan kelompok. Rakyat telah mengontrakkan suara(atau hak) mereka kepada individu-individu yang mewakilinya, menduduki kekuasaan untuk memperjuangkan nasib mereka, seperti menghapus angka kemiskinan, buta aksara, membuka lapangan kerja atau lengkapnya, mampu menjawab kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Diharapkan para pemimpin di Tanah Papua (gubernur, bupati, walikota, DPR, dan MRP) juga aktif meperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Papua, dengan berbagai cara, seperti merancang dan menetapkan peraturan daerah khusus dan peraturan daerah provinsi sebagai bentuk keberpihakan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap orang asli Papua sesuai amanat Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Bukan sebaliknya ikut membagi-bagi kekayaan bagi keluarga pejabat di tiga cabang kekuasaan penting trias politika, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang akan jadinya adalah trias koruptika.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, dan HAM DPD KNPI Provinsi Papua Barat, juga Ketua LPKIS PP PMKRI Sanctus Thomas Aquinas Periode 2013-2015.