
Yogyakarta, Acara diskusi dan pemutaran film peringati 1 Juni yang diyakini sebagai hari proklamasi Kemerdekaan West Papua oleh rakyat Papua yang digelar oleh mahasiswa Papua di kota Malang, Jawa Timur, Minggu (01/07/2018) belum lama ini, dibubarkan oleh orgmas, dua orang tentara berpakaian seragam dan beberapa Intel dari pihak Kepolisian dan bukan oleh warga setempat.
Hal ini disampaikan oleh Koordinator Umum pelaksana kegiatan, Jhon Giay kepada papualives.com saat dihubungi via telpon sellurel, Kamis (5/6/2018).
“Sebenarnya tindakan itu dilkukan oleh orgmas, tentara berseram dinas dua orang, pihak kepolisan kemudain beberapa intel dan preman-preman sekitar delapa orang. Kemungkinan mereka di pasang oleh intel. Kalau untuk warga, hanya ketua RT dan RW saja yang dimanfaatkan sementara warga sekitar, mereka aman-aman saja,” kata Jhon membenahi pernyataan yang dimuat di beberapa media yang mengatakan warga membubarkan mahasiswa Papua.
Kata Jhon yang juga sebagai Biro Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Pusat , dengan kejadian tersebut mereka (mahasiswa Papua, red) tidak hanya dibubarkan kegiatannya tetapi mereka diusir dari kontrakan yang mereka huni kurang lebih delapan tahun.
“Kami suru pulang, meninggalkan tempat. Eh ternyata pemilik Kontrakan menyuru penghuni juga keluar dari kontrakan, dengan alasan masa kontrakan sudah mau habis. Sedangkan biasanya kami bayar setiap bulan dengan biaya Rp, 2500.000.00. Dan pada bulan ini rencana mau bayar. Setiap tahun itu selalu kami perpanjang,” ujar Jhon.
Kemudian aksi pembubaran tersebut terjadi, kata Jhon pihaknya telah membangun koordinasi dan sepakat untuk tidak melanjutkan kegiatannya.
“Awalnya kami tidak ada perlawan. Sudah bangun pendekatan dengan baik, sehingga kami sepakat untuk tdak melaksanakan kegiatan kami. Tetapai sempat diludahi oleh preman. Saya dan teman saya didorong sempat kenal pukul lagi, teakhir kami dikeluarkan dari kontrakan dan kami didorong ke arah jalan raya. Saat itu ada satu kawan kami kena pukul dari preman dengan menggunakan besi di kepala dan mengakibatkan pendarahan,” jelasnya.
Lanjut Jhon, kejadian itulah yang memancing emosi mahasiswa Papua di Malang dan sempat terjadi aksi saling dorong-mendorong. “Sempat melempar batu ke arah preman dan kepada intel yang pakai baju biasa, dan bukan kepada warga. Tetapi setelah itu, kami berhasil tenangkan situasi.”
Menindaklanjuti kejadian tersebut, pada malam itu juga mahasiswa Papua long March menuju Kantor Porestabes Kota Malang untuk dimediasi sekaligus diminta mengamankan aknum yang diduga dari dari kepolisian itu agar diamankan dan dinasehati oleh atasan.
“ Tetapi seakan-akan terjadi penyerangan oleh mahasiswa dinilai terhadap warga. Yang tidak enak bagi kami itu dikatakan bentrok dengan warga. Dalam hal ini media telah melakukan pembohongan publik mengatakan mahasiswa Papua bentrok dengan warga, padahal dengan preman dan pihak kepolisian,” kesalnya lagi.
Kata Jhon pihaknya sudh melakukan pertemuan secara empat mata dengan Pihak kepolisian, RT Wali Kota, Warga. Dalam kesempatan tersebut , pihaknya telah sampaikan kalau bentrokan yang terjadi bukan dengan warga tetapi dengan ormas, preman dan intel.
Pembubaran acara ini dilaporkan sempat diwarnai insiden adu mulut, perusakan barang-barang, serta serangan fisik terhadap mahasiswa Papua, tetapi dibantah oleh kepolisian. Seperti yang dilansir BBC News Indonesia, edisi (Senin, 02/07) Kepolisian kota Malang menyebut sekelompok anggota masyarakat membubarkan acara itu karena materi diskusinya dianggap meresahkan warga.
“Kalau (pembubaran) dari kami tidak ada. Penolakan murni dari warga (kota Malang),” kata Kapolres Malang Kota, AKBP Asfuri, Senin (02/07/2018), seperti dilaporkan wartawan di Malang, Eko Widianto, untuk BBC News Indonesia.
Sementara itu, Musa Pekei sebagai pemantik materi dalam kegiatan tersebut mengatakan aksi yang lakukan oleh mahasiswa Papua sebetulnya adalah bagian dari pengenalan diri akan jati diri budayanya , sejarahnya, peradabannya. Maka hal itu tidak mengganggu aktifitas warga setempat, mereka baik dengan kita.
“Mulai dari kami kontrak 2010 hingga 2018 sekrang,namun ada oknum oknum militer dan polisi intervensi masuk melalui Ketua RT setempat , lalu mereka menjadikan kekuatan lalu mengusir kami secara tidak manusia,” jelas Musa dengan tegas saat dihubungi papualives.com, Kamis (5/6/2018)
Menurut Musa, seharusnya pihak aparat mengamankan jalankan kegiatan nobar tetapi mala membirakan ormas rekasioner dan intel berpakaaina preman datang mengrebek, mengintimidasi, mengeroyok, terror, diskriminasi secara tidak etis dan tidak manusia.
“Saya kira hal ini sudah melanggark hukum dan HAM dan orams yang membuat onar dan kacaukan situasi mereka melepaskan dan mala polisi kembali mengkambing hitam kan kami mahasiwa papua secara bukti dan data yang tidak valid,” katanya.
Untuk itu kata Musa pelaku harus di tangkap dan dip roses secara hukum yang adil dan damai. “Jangan biarkan ormas rekasioner secara bebas dan menyalahkan mahasiswa papua ,itu adalah tidak benar dan ini semua murni otak dari permainan Kapolres Malang,” jelas Musa.
Kesempatan yang sama, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Pusat, Jhon Gobai mengatakan kami (mahasiswa Papua) datang merantau untuk menimba ilmu sebanyak mungkin.
“Kami datang dari West Papua hanya untuk belajar. Belajar ilmu pengetahuan (formal dan non formal); Belajar melawan; dan belajar bertahan hidup,” terangnya.
Menurut Jhin, tindakan rasis, ruang demokrasi yang tak memihak, kekerasan aparat Negera, penangkapan hingga membunuh aktivis (juga manusia Papua), itulah realita hari ini di West Papua. Praktek dari Kekuasaan yang mendominasi. “Maka tak peduli jumlah kami sedikit, dimana pun kami berada, kami akan terus belajar dan berjuang untuk bebas dari Penjajahan,” tutup tegas ketua AMP Pusat ini kepada papualives.com saat diwawancara.
Arhia