“Meraih kebebasan itu bukan berarti hanya melepas rantai seseorang, tetapi hidup dengan menghargai dan mendorong kebebasan orang lain.”
(Nelson Mandela – Negarawan, Peraih Nobel Perdamaian 1993, dan Presiden Pertama Afrika Selatan).
Akhirnya, Presiden Republik Indonesia ke-VII, Joko Widodo (Jokowi) menepati janji kampanye pemilihan presiden di Jayapura, Papua pengujung tahun 2014, yaitu akan mencabut pembatasan peliputan pers asing di Tanah Papua. Hal tersebut secara resmi diumumkan oleh Jokowi usai panen raya di Wapeko, Distrik Kurik, Merauke, Papua, Minggu (10/5/2015). Pengumuman yang disampaikan oleh Presiden pada kunjungan keduanya di Tanah Papua sejak dilantik, 20 Oktober 2014 itu, patut dihormati oleh semua pihak, sebagaimana di amanatkan dalam pasal 10 UUD 1945 amandemen keempat, yang berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”
Kebijakan presiden ini merupakan pelupur lara atau sebuah taman oase baru bagi kebangkitan masyarakat Papua, yang tak kurang dari 50 tahun dikekang oleh rezim otoriter, kaum komprador, imperalis, dan kontra-revolusi yang berckol di Bumi Cenderawasih itu. Kebebasan itu merupakan anugerah atau providentia Dei (penyelenggaraan ilahi) yang patut kita semua syukuri. Akan tetapi, harapan rakyat di Tanah Papua, pernyataan ini bisa segera ditetapakan dengan sebuah Pearturan Pemerintah hingga adanya kepastian hukum dan bisa berlaku untuk pemerintahan berikutnya, setelah Jokowi.
Joko Widodo menjadi satu-satunya Presiden Indonesia pertama yang secara kongkrit dan berani memberikan kebebasan bagi pers asing masuk di Papua. Padahal, banyak pemimpin di berbagai negara di dunia belum tentu berani mengambil sikap seperti ini. Apalagi hal tersebut mengganggu kepentingan nasionalnya. Lagi-lagi, daerah tersebut rentan terhadap isu separatisme, seperti Papua. Di era 1940-an, Adolof Hitler (1889-1945) penguasa Nazi Jerman yang otoriter dan telah membunuh enam juta orang non Arya (Yahudi), dan secara ekstrim menolak pers asing masuk di Jerman dan seluruh wilayah kekuasaannya, kecuali pers yang pro terhadap kepentingannya.
Menurut Hitler, “Pena lebih kejam daripada pedang dan satu orang penulis lebih kuat daripada satu batalyon prajurit.” Namun, Hitler menambahkan, militer dan pers merupakan dua hal yang sama-sama penting. “Militer memenangkan pertempuran, dan pers memenangkan opini,” jelas diktator berkumis dari Benua biru itu.
Setelah berhasil mengakhiri demokrasi dan merombak Jerman menjadi kediktatoran yang dikuasai partai tunggal, Nazi melakukan kampanye propaganda besar-besaran untuk memenangkan loyalitas dan kerja sama dari masyarakat Jerman. Kementerian Propaganda Nazi, yang dikepalai Dr. Joseph Goebbels, mengambil alih kendali atas semua bentuk komunikasi di Jerman: surat kabar, majalah, buku, pertemuan publik, dan reli, seni, musik, film, serta radio. Segala macam sudut pandang yang sifatnya mengancam terhadap keyakinan Nazi atau terhadap rezim tersebut disensor dan dihapus dari semua media.
Selama musim semi tahun 1933, organisasi-organisasi mahasiswa, para profesor, dan pustakawan Nazi menyusun senarai-senarai panjang buku yang menurut mereka tidak boleh dibaca oleh masyarakat Jerman. Kemudian, pada malam tanggal 10 Mei 1933, Nazi menjarah perpustakaan dan toko-toko buku di seluruh Jerman. Dengan disinari cahaya obor, mereka berpawai pada malam hari sembari bernyanyi dan melemparkan buku-buku tersebut ke dalam kobaran api unggun besar. Pada malam itu, lebih dari 25.000 buku dibakar. Beberapa di antaranya merupakan karya penulis Yahudi, termasuk Albert Einstein dan Sigmund Freud. Kebanyakan buku tersebut merupakan karya penulis non-Yahudi, termasuk penulis-penulis ternama Amerika seperti Jack London, Ernest Hemingway, dan Sinclair Lewis, yang gagasan-gagasannya oleh Nazi dipandang berbeda dari gagasan mereka dan oleh karena itu tidak boleh dibaca.
Dalam penyensoran Nazi tersebut juga dibakar buku-buku karya Helen Keller, yang meskipun tunarungu dan tunanetra menjadi penulis yang diperhitungkan; ketika dikabarkan tentang pembakaran buku tersebut, dia berujar, “Tirani tidak dapat mengalahkan kekuatan gagasan.” Helen juga menyitir kalimat Sastrawan Perancis, Victor Hugo, yang menyatakan “Anda boleh melawan bala tentara tetapi Anda tak dapat menahan ide yang tiba pada waktunya.” Ratusan ribu orang di Amerika Serikat memprotes pembakaran buku tersebut, yang jelas-jelas merupakan pelanggaran kebebasan berekspresi, lewat reli-reli umum di New York, Philadelphia, Chicago, dan St. Louis.
Sekolah-sekolah juga memainkan peranan penting dalam menyebarkan gagasan Nazi. Sementara beberapa buku ditarik dari ruang kelas lewat penyensoran, buku pelajaran lainnya, yang baru ditulis, dibawa masuk untuk mengajarkan murid-murid kepatuhan buta kepada partai, kecintaan kepada Hitler, dan antisemitisme. Pertemuan-pertemuan seusai sekolah organisasi Pemuda Hitler dan Liga Putri Jerman melatih anak-anak untuk setia kepada partai Nazi. Di dalam dan di luar sekolah, kaum muda melakukan perayaan-perayaan pada kesempatan-kesempatan seperti saat ulang tahun Adolf Hitler dan peringatan ketika dia merengkuh kekuasaan.
Selain Adolof Hitler, pada tahun 1922, pemimpin gerakan fasis Italia, Benito Mussolini juga menggunakan pers untuk mendukung gerakan kudetanya yang menghantarkan dirinya menjadi Perana Menteri Italia, yang kemudian hari dikenal sebagai diktator Italia. Mussolini menyelesaikan masalah kedaulatan Dodecanese pada Perjanjian Lausanne tahun 1923, yang meresmikan administrasi Italia atas Libya dan Kepulauan Dodecanese, sebagai balasan untuk pembayaran ke Turki, negara penerus Kesultanan Utsmaniyah. Meskipun Mussolini gagal dalam ikhtiranya memperoleh mandat untuk sebagian Irak dan Britania.
Sebulan setelah ratifikasi perjanjian Lausanne, Mussolini memerintahkan ke pulau Korfu di Yunani setelah terbunuhnya seorang jenderal Italia di sana. Pers Italia aktif mendukung tindakan itu, menyebut-nyebut, Korfu pernah menjadi bagian dari Republik Venesia empat ratus tahun. Meskipun masalah ini dibawah oleh Yunani ke Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Mussolini tetap berhasil menahan tekanannya dan hanya ancaman perang dari Britania yang meyakinkannya untuk mengevakuasi pasukan Italia dari Yunani. Semua sepak terjang Mussolini di belantara politik dunia, kebanyakan menggunakan propaganda media serupa dengan rekannya Adolof Hitler hingga opini publik pun harus mengikuti jalan pikiran mereka. Sistem pers otoriter dikenal sebagai sistem pers paling tua, lahir abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut yang masih menyelimuti dunia, terutama di Benua Eropa ketika itu. Itulah karakteristik pers otoriter yang tugasnya hanya melaksanakan kepercayaan yang diberikan pengusa dengan memperoleh imbalan berupa fasilitas maupun keuntungan lainnya.
Padahal, esensi dasar sistem liberatarian memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini, manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara baik jika diberikan kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya untuk tujuan yang mulia. Kebebasan adalah hal utama dalam mewujudkan esensi dasar itu. Sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi ‘pemerkosaan’ kebebasan berpikir. Karena itu, pers harus diberi tempat sebebas-bebasnya untuk membantu mencari kebenaran. Kebenaran akan diperoleh jika pers diberi kebebasan sehingga kebebasan pers menjadi tolak ukur dihormatinya hak bebas yang dimiliki manusia.
Adolof Hitler dan Mussolini telah menghianati dunia kebebasan dan melanggaran hak fundamental manusia, serta mempolitisasi pers saat itu. Di Indonesia pada era demokrasi terpimpin pers diarahakan untuk memihak pada kepentingan partai-partai yang berhaluan komunis dan di era Orde Baru makin parah kebebasan persanya. Yakni pers yang kritis terhadap ‘kebiadaban, pengusa dikekang hingga tak bernafas bahkan berujuang pada pembredelan. Misalanya, Majalah Tempo yang lahir tanggal 5 April 1971, dua kali dibredel, yaitu pertama tahun 1982 dan kedua pada tanggal, 21 Juni 1994. Dua kali pembredelan ini dilakukan pada rezim Orde Baru yang dikomandani Jenderal (Purn) Soeharto. Pada bulan Mei 1998, Majalah Tempo terbit kembali hingga sekarang dikenal sebagai media paling kritis di republik ini.
Seiring berjalannya waktu, Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun pun collaps, 21 Mei 1998, dan digantikan dengan era reformasi. Pergantian kedua era inilah pers di Indonesia sedikit menghirup udara segar dalam menjalankan tugas jurnalistiknya demi kemajuan Indonesia yang di cita-citakan. Setahun kemudian, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Sementara itu, pada pasal 14 UU tersebut, menjabarkan fungsi pers adalah menegakkan dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan, dan kebenaran.
Berdasarkan fungsi dan peran pers yang begitu besar. Maka, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif.
Meskipun telah ada Undang-Undang Pers, tetapi secara substansial belum sepenuhnya menguntungkan para insan per situ sendiri. Seharusnya, dalam Undang-Undang Pers tersebut harus mengatur secara koprehensif tentang fungsi, peran, dan perlindungan hukum bagi pers. Misalnya, dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengatur tentang Dewan Pers yang fungsinya mengembangkan dan mengontrol semua lembaga pers di Indonesia dan memberikan sanksi bagi yang melanggar undang-undang tersebut. Tetapi, isi dari UU tersebut tidak mengatur tentang bagaiman proses perlindungan dan konsekuensi hukum bagi pelaku tindak pidana terhadap para insan pers.
Misalnya, insiden ditikamnya wartawan Jaya TV, Findi yang berakibat pada kematian pada tahun 2009 di Jayapura oleh oknum Satpol PP, dan baru saja terjadi, Sabtu (9/5/2015) di Kabupaten Biak Numfor, Papua, yakni pemukulan yang dilakukan oleh Bupati Biak Numfor, Thomas Alfa Edison Ondy terhadap wartawan Cenderwasih Pos, Fiktor Palembangan, yang hingga kini proses hukumnya belum selesai dan hanya mau ditebus dengan permohonan maaf dari pelaku. Hal ini hanya akan melecehkan profesi wartawan. Keruwetan ini diakibatkan oleh UU Pers kita yang belum lengkap pengaturannya. Masalah pidana yang menimpa insan pers dibawah ke pidana umum atau KUHP, seharusnya di atur dalam hukum pidana khusus dalam UU Pers hingga prosesnya pun tidak terlalu sukar.
Dari rangkaian permasalahan pers secara universal, nasional hingga lokal masih menyimpang banyak persoalan sirius yang harus segera dibenahi oleh semua pihak, terutama dukungan dari pemerintah sangat diharapkan. Namun kini, Presiden Jokowi telah membuktikan tekadanya dengan membuka ruang kekebasan bagi pers asing di Tanah Papua. Perlu diberi apresiasi kepada Jokowi, karena ia lebih baik dalam merangkul pers demi bonum commune, kebaikan bersama, daripada kedua diktator dari Eropa (Hitler dan Mussolini), yang mengkondisikan pers untuk menyukseskan ambisi politik teritorial mereka.
Jangan takut
Sejumlah politisi Indonesia mengecam tindakan Presiden Jokowi mencabut izin larangan pers asing di Papua. Sebagaimana dikatakan anggota Komisi I DPR RI yang membidangi masalah pertahanan dan keamanan, Sukamto. “Tindakan Jokowi itu hanya merespon desakan dunia internasional atas ditangkapnya dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, di Wamena Papua, karena menyalahi izin tinggal.”
Menurut Sukamto, upaya yang dilakukan oleh Jokowi tidak lain, ialah meresposn situasi tersebut. “Pendekatan yang dilakukan Jokowi adalah pendekatan reaktif bukan substantif atau bisa saja karena desakan dari dunia internasional atas ditangkapnya dua insan pers Prancis yang meliput di Papua, akhirnya Jokowi mencabut syarat ketat bagi pers asing melakukan liputan di Papua, kata politisi PKS itu.
Dia menambahkan, Jokowi tidak ada jaminan, jika pers asing masuk ke Papua akan memberikan kabar posotif tentang Indonesia dan melakukan pemberitaan yang cover both side sesuai dengan etika jurnalistik. “Sederhananya, jika saat masih dibatasi saja, banyak berita asing yang melanggar prinsip-prinsip jurnalisme dan menyudutkan Indonesia di mata dunia, apalagi jika dibebaskan sebebas-bebasnya, parah jadinya” tegasnya,
Pernyataan Presiden Jokowi yang mengumumkan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi jurnalis asing melakukan kegiatan jurnalistik di Papua, mendapat dukungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ketua Umum AJI, Suwarjono mengatakan pembatasan peliputan terutama oleh jurnalis asing di wilayah paling Timur Indonesia ini, sudah berlangsung sejak Papua menjadi bagian dari Indonesia, 1 Mei 1963.
Menurut Suwarjono, jurnalis-jurnalis asing yang akan meliput Papua harus melalui lembaga clearing house yang melibatkan 12 kementerian atau lembaga negara, mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, sampai Kementerian Kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan. “Mekanisme ini menjadi alat pemerintah membatasi jurnalis-jurnalis yang ingin melaporkan soal Papua secara bebas. Mekanisme clearing house ini tidak transparan karena memang tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” katanya.
Kebijakan presiden untuk menarik izin larangan bagi pers asing di Papua merupakan langkah paling mujarab untuk memecah semua kebekuan dan kesimpangsiuran informasi selama ini. Oleh sebab itu, tidak perlu untuk ditakuti, apalagi ditangisi. Justru keterbukaan bagi pers asing itu membantu pemerintah Indonesia mengungkapkan fakta-fakta pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Tidak masalah apa-apa kok, jika pemerintah Indonesia beritikat baik membangun Papua. Wajar saja pers asing masuk di Bumi Cenderawasih itu!
Jika ada pihak-pihak yang resisten terhadap itikat baik presiden ini, berarti para pihak tersebut patut dicurigai karena pasti mempunyai hiden agenda (agenda gelap) untuk menghacurkan rakyat dan Tanah Papua di masa akan datang. Itu pasti. Namun, sebagai penganut paham demokrat, kritik dan saran dari berbagai kalangan, terutama dari para anggota DPR perlu diapresiasi. Karena itu pil pahit yang menyembuhkan. Fungsi DPR adalah mengawal dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Selain memperjuangkan aspirasi rakyat, secara etimologis, DPR yang merupakan parlemen itu, berasal dari bahasa Inggris, yaitu parle artinya omong, dan men adalah orang. Jadi, pengertian harfiah dari parlemen adalah orang yang ngomong. Entah omongan itu benar atau salah, berhasil atau tidak, itu tidak jadi soal, asal ia telah menjalankan tugasnya untuk ngomong. Tapi perlu ingat, kebenaran hanya bisa diperoleh melalui perdebatan konstruktif seperti ini.
Karena selama ini, terjadinya mistrust pemberitaan di luar negeri soal kegagalan otonomi khusus, kasus pelaggaran HAM, pembatasan ruang demokrasi, dan kegagalan pembangunan lainnya di Papua, yang membuat citra Indonesia terbenam di kancah internasional. Oleh sebab itulah, kekebasan pers asing di Papua itu amat penting untuk meluruskan semuanya berdasarkan fakta tanpa spekulasi. Karena itu, Presiden AS ke-32, Franklin D. Roosevelt, menyatakan, “Kebebasan adalah lentera yang menyiangi jalan hidup.”
Apalagi presiden Jokowi saat ini mempunyai komitmen besar untuk membangun masyarakat di dua Provinsi paling Timur Indonesia itu, Papua dan Papua Barat, tentunya dukungan media asing sangat penting untuk mengekspos semua pogram pembangunan di Tanah Papua yang dilakukan oleh sang presiden berlandaskan tiga visi besar presiden, yakni poros maritim, tol laut, dan revolusi mental.
Harapan kami, niat baik dan tulus Jokowi itu harus disertai dengan pembuktian. Untukmu, Bapak Presiden Joko Widodo, kami berharap! Semoga.
Oleh Thomas Ch. Syufi*
==============================================
* Penulis adalah aktivis PMKRI Nasional- Sanctus Thomas Aquinas, di Jakarta! syufi_thomas@yahoo.co.id