Beranda Birokrasi Jokowi ‘Effect’

Jokowi ‘Effect’

1970
Thomas CH.Syufi (Foto:Dok Pribadi)

Oleh Thomas Ch. Syufi*

“Historia Magistra Vitae, sejarah adalah guru yang kehidupan.” (Adagium Latin ini pertama kali diucapkan Marcus Tillius Cicero- filsuf, orator, ahli hukum, negarawan, dan senator merangkap juri bicara Senat Romawi-yang hidup pada 106-43 SM).

Perdebatan soal kesalahan isi teks pidato yang dibacakan Presiden Jokowi pada Hari Lahir  Pancasila 1 Juni 2015 di Blitar Jawa Timur berbuntut panjang. Yang mana dalam pidato- Jokowi menyebutkan, Proklamator dan Presiden pertama Indonesia, Soekarno lahir di Blitar. Padahal, sebenarnya-Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901. Jokowi dinilai telah melakukan kesalahan fatal dan akan membawa dampak buruk bagi generasi Indonesia untuk mengulangi kesalahan yang sama atau kesalahan lain yang lebih parah di masa depan.
Setelah diketahui kesalahan tersebut, beritanya pun cepat merembet kemana-mana, seperti magnet yang cepat menarik perhatian publik untuk memberikan kritik, saran, bahkan pembelaan. Tampknya kritik bukan saja datang dari kalangan luar, tetapi juga datang dari kalangan internal partai pengusung Presiden Jokowi, PDI Perjuangan sendiri.
Kritik sebagaimana disampaikan oleh salah satu aggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolan, yang mana, Effendi menyesalkan atas pidato Presiden Jokowi yang berakibat fatal dengan menyebut Soekarno lahir di Blitar. “Jokowi sebagai Presiden harus minta maaf kepada semua rakyat Indonesia. Bayangkan, bagaimana kita mau ikuti presiden kalau presidennya saja salah,” kata Effendi.
Sangat jarang kita melihat adanya kritik antarsesama elit disinggasana kekuasaan seperti ini. Mungkin karena Soekarno bukan saja seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia, tetapi ia juga memiliki garis politik dan kedekatan dengan PDI-P ia juga mewariskan Nawa Cita dan Trisakti yang kini menjadi platform politik PDI-P dibawa pimpinan Presiden Jokowi.

Namun justifikasi juga dari politikus PDI-P Hamid Basyaib menilai kesalahan yang dilakukan Presiden Jokowi ketika menyebut Blitar sebagai tempat kelahiran Soekarno sebagai hal yang wajar. Pasalnya, masih banyak sumber tertulis yang menyebutkan bahwa Proklamator Republik Indonesia itu lahir di Blitar dan bukan Surabaya.
“Saya bukan membela ya, tetapi ngga juga bisa dibilang nggak jeli. Karena memang beberapa sumber menyebut itu (Soekarno lahir di Blitar, red). Jadi maksud saya itu memang salah di tim komunikasi. Tapi itu kesalahan yang menurut saya cukup manusiawi dan bisa dimaafkan,”(JNN/6/6/2015).
Jika kesalahan yang dilakukan oleh presiden tersebut karena akibat keseleo lidah pasti dimaklumi. Namun, jika hal tersebut terjadi karena kesalahan penulisan naskah pidato itu merupakan sesuatu yang fatal. Dan, teks pidato tersebut terlihat keburuan pembuatannya sehingga tidak dilakukan koreksi. Kesalahan tersebut terjadi karena satu-satunya referensi yang digunakan oleh tim penyusun pidato presiden itu adalah situs web asal Belanda, Topenmuseum.nl, yang menyebutkan Bung Karno lahir di Kota Blitar, Jawa Timur.
Selain data kadaluarsa dan tidak jelas tersebut, Sukardi salah satu tim penyusun pidato itu mengaku, ia teringat tentang cerita rakyat semasa kecilnya di kampung yang menyebut, Soekarno lahir di Blitar. Dari pengakuan ini kita bisa dinilai kemampuan seorang konseptor pidato presiden lebih percaya pada mitos dan cerita rakyat di masa lalu ketimbang fakta dan dinamika terjadi saat ini.
Padahal, pada hakekatnya segala sesuatu yang ada di bumi ini tidak ada yang kekal, tetapi selalu berubah. Sebagaimana ucapan terkanal filsuf  Herakleitos dari Efesus di Asia Kecil, “Panta rhei kai uden menei, yang berarti, “semuanya mengalir dan tidak ada satupun tinggal tetap, seperti aliran sungai. “Engakau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama,” kata Herakleitos. Ia hidup sekitar abad ke-5 SM (540- 480 SM). Herakleitos hidup sezaman dengan Pythagoras dan Xenophanes, namun lebih muda usinya dari mereka.
Selain itu, sebagai seorang penulisprofesional harus lebih pengutamakan akurasi, baik verifikasi dan konfirmasi kepada semua sumber hingga proses penulisah naskah pidato tidak remrawut dan berakibat fatal seperti yang termuat dalam naskah pidato Presiden Jokowi pada hari Kembangkitan Nasional, minggu lalu.
Tim penyusun naskah pidato presiden harus mengetahui- hal paling utama dan terpenting dalam menyusun pidato adalah pengumpulan bahan. Dan, para penulis juga harus bersikap skeptis terhadap berita tentang tempat kelahiran Soekarno. Mereka seharusnya melakukan verifikasi dan konfirmasi tentang tempat kelahiran Soekarno hingga isi naskah menjadi lengkap.
Tidak ada salahnya, jika tim penyusun pidato Jokowi melakukan verifikasi dan pengumpulan data tambahan dari berbagai sumber, seperti bertanya kepada orang atau sejarawan, buku-buku, majalah, dan surat kabar tentang kapan dan di mana tempat lahirnya Soekarno? Dengan berbagai berita yang dihimpun kemudian dilakukan perbandingan hingga diuraikan dalam naskah pidato-sehingga naskah pidato menjadi valid dan tidak menyesatakan atau merugikan pihak lain seperti sekarang, saat ini.
Penulis naskah pidato Jokowi perlu mencotohi Jonathan Favreau, penulis pidato Barack Obama yang selalu memukau dunia. Bukan hanya karena pandai menjahit kata-kata yang baik dan benar, tetapi ia juga lebih mengutamakan  akurasi dalam naskah pidato Obama, baik pidato dalam negeri maupun pidato dalam lawatan ke luar negeri.
Karena kepandaiannya menyusun kata dengan fakta dalam sebuah naskah pidato yang cukup menarik membuat partai kesengsem. Petinggi Demokrat yang saat itu menjabat Sekretaris Gedung Putih, Robert Gibbs merekomendasikan Obama untuk memakai tenaga Favs dalam kampanye senatnya. Kerja sama itu diteruskan dalam kampanye presiden 2008.
Dari Favs-lah lahir  “Yes We Can,” slogan sederhana yang kemudian mendunia. Saat Obama dilantik, Januari 2009. Dia tercatat sebagai penulis termuda untuk Pidato Presiden di umur 27. Dia juga mendapat ruang kerja tersendiri di West Wing Gedung Putih, jadi nahkoda bagi tim penulis pidato yang terdiri atas penulis-penulis senior.
Obama memang sangat mempercainya. Misalnya, Pidato Obama di Universitas Indonesia pada kunjungannya tahun 2010 juga menggunakan teks pidato yang disusun oleh Favs. Dia belajar dan mampu memahami geopolitik Indonesia hingga teks pidato yang di susunnya cukup valid. Namun, sebelumnya, Gedung Putih juga memiliki penulis pidato terbaik, seperti Walter Lippmann penulis pidato untuk beberapa presiden, di antaranya Lyndon Johnson, dan Theodore Serensen penulis pidato terbaik Presiden John F. Kennedy.
Selain itu, Indonesia juga pernah memiliki beberapa konseptor pidato yang hebat, seperti Yusril Izha Mahendra yang pernah menjadi penulis pidato Presiden Soeharto dan Dino Patti Djalal pada periode pertama Presiden SBY.  Mereka sangat teliti dan akuratif dalam menulis naskah pidato hingga kepemimpinan dari kedua presiden itu terbilang tidak pernah mengundang keributan dan cercaan seperti Jokowi, sekarang.
Padahal, persoalan kapan, dimana, dan aktivitas hidup tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir telah menjadi pengetahuan umum bagi anak-anakdi tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Tetapi sangat di disayangkan, Indonesia saat ini dihebohkan dengan kesalahan pidato Presiden Jokowi yang menyebut Bung Karno- ayah dari Ketua Umum  PDI- Perjuangan, Megawati Soekarnoputri itu lahir di Blitar.
Sebaiknya, Jokowi sebagai kader PDI Perjuangan harus mengerti luar dalam mengenai sosok Bung Karno, apalagi seorang Presiden mutlak untuk mengetahui sejarah para pemimpin bangsa ini.
Jika dilihat video yang diunggah di YouTube, Jokowi membacakan naskah pidato tersebut, ia sangat mengagumi sosok Bung Karno. Bahkan berulang-ulang kali, ia menyatakan, “Setiap kali saya berada di Blitar kota kelahiran proklamator kita, Bapak Bangsa kita, Bung Karno, hati saya selalu bergetar. Getaran ini senantiasa muncul karena di kota ini, kita secara bersama-sama menghayati, semangat yang bersumber pada ide dan gagasan besar  Bung Karno. Dengan ucap-ucapan itu-lah Jokowi disalahkan karena kurang pengetahuan tentang sejarah (tempat) kelahiran Soekarno.

Dampak
Presiden Jokowi telah mewarisi sebuah kesalahan fatal kepada generasi Indonesia melalui pidatonya pada Hari Kebangkitan Nasional 1 Juni 2015 di Blitar, Jawa Timur pekan lalu. Mengapa Jokowi bisa melakukan sebuah kesalahan fatal bagi bangsa ini? Apakah ia memiliki para pemikir dan konseptor gadungan, berwawasan cetek atau para penulis itu sengaja menjerat Jokowi dengan mengutip sumber sesat yang menyatakan Bung Karno lahir di Blitar? Biarlah kebenaran yang menyatakannya.
Kesalahan ini akan menjadi preseden buruk bagi generasi bangsa ini ke depan.‘Jokowi effect’ atau dampak Jokowi ini akan membuat generasi Indonesia menjadi generasi yang suka atau bahkan hobi melakukan kesalahan. Bisa saja mereka mengulangi kesalahan yang sama atau melakukan kesalahan lain yang lebih parah, misalnya, menjadi generasi koruptor, anti HAM dan demokrasi, suka menipu rakyat, malas belajar sejarah, dan atau menjadi penghianat negara. Karena, asumsi mereka- presiden saja melakukan kesalahan.
Padahal, Bung Karno berulang-ulang kali menegaskan slogan ‘Jas Merah’, yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah. Namun, saat ini Indonesia berduka karena seorang presiden melupakan atau melakukan kecelakan sejarah yang mungkin saja tak terlupakan dalam sejarah bangsa ini, yaitu ia tidak tahu akan tempat kelahiran Bung Karno. “Jangan-jangan Jokowi tidak  tahu dengan Nawa Cita dan Trisakti yang dicetuskan oleh sosok Proklamator, Bung Karno hingga tempat kelahirannya pun- ia tidak tahu?
Selain itu, kesalahan tersebut bukan saja menyakitkan hati keluarga Bung Karno- terutama Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani yang hadir pada rangakain acara tersebut. Tetapi, juga menyakitkan hati seluruh rakyat Indonesia. Karena, apa pun alasannya, pemimpin rakyat Indonesia saat ini adalah Presiden Jokowi. Maka, diharapan presiden menjadi pelita bagi mereka di kegelapan malam samudera bangsa ini- dengan memberikan wejangan dan pidato yang mencerdaskan dan mengandung kebenaran. Rakyat akan jeneralisir, presiden pasti tahu segala-galanya. Oleh sebab itu- presiden jangan berbuat salah.
Soal tempat kelahiran Bung Karno, pernah juga dibicarakan dalam seminar berjudul ‘Pelurusan Sejarah Soekarno’ di Balai Pemuda, Surabaya, 28 Agustus 2010 lalu juga dijelaskan secara gamblang, tempat kelahiran Bung Karno di Kota Pahlawan, Surabaya. Selain tempat kelahiran Soekarno, dalam konstitusi negara Indonesia mencantumkan presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, maka apa pun gerak gerik yang dilakukan presiden adalah tindakan negara. Wibawa negara harus dijaga oleh presiden. Presiden adalah titik sentral dari sebuah negara, primus inter pares- bukan wakil presiden, menteri atau rakyat.
Tulisan ini bukan bermaksud mencerca atau mendeskreditkan Presiden Jokowi- tetapi hanya memberikan koreksi dan  perlu disadari oleh seluruh rakyat Indonesia, presiden juga manusia biasa seperti kita dan tentunya- ia juga berbuat salah. Maka, melalui kesalahan ini, Presiden Jokowi bisa mengevaluasi diri dan jangan mengulangi kesalahan yang sama atau kesalahan lain di kemudian hari. Untuk tidak mengulangi kesalahan itu, Presiden Jokowi harus banyak membaca.
Rakyat Indonesia juga mesti berterimakasih kepada Presiden Jokowi, karena dengan tulus dan rendah hati- ia telah menebus kesalahannya dengan permohonan maaf. “Apakah sejarah itu? Pengulangan masa lalu di masa depan; refleksi dari masa depan pada masa lalu.” -Victor Marie Hugo (1802–1885), pujangga, novelis, dramawan, dan aktivis HAM Prancis ternama abad ke-XVIIII”!Semoga!

*). Penulis adalah aktivis PMKRI Nasional-Sanctus Thomas Aquinas, di Jakarta.

Baca Juga Artikel Lainnya : Jabatan Itu Amanah

                                                    Politik dan Pemilu Uang

                                                    Jokowi “effect)