Oleh: Thomas Ch.Syufi*
Akhir-akhir ini hampir seantero masyarakat Indonesia disibukan dengan kegaduhan politiki bukota, Jakarta.Di mana, kegaduhan itu berawal dari calon gubernur Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, yang dituding melecehkan ayat Al Quran (Surat Al-Maidahayat 51).
Kehebohan itu datang ketika Ahok—bertemu dengan warga Kepulauan Seribu— yang mana ia melontarkan salah satu kata yaitu;“Dibohongin pakai surat Al-Maidah 51 macam-macam”.
Dalam teks a yatitu menegaskan, orang-orang beriman dilarang mengambil orang-orangYahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Pernyataan Ahok ini seiring dengan beredarnya isu-isu provokatif yang sengaja dimainkan oleh sejumlah kelompok kepentingan di DKI. Tentu, isu murahan ini dimaikan untuk menjatuhkan dirinya sebagai Gubernur Petahana yang akan mencalonkan diri pada Pemilukada Gubernur DKI 2017 mendatang.
Jelas, pernyataan Ahok itu bukan menyinggung atau melecehkan Al Quran dan Islam secara keselurahan. Sebenarnya, itu semacam ultimatum Ahok kepada para kelompok kepentingan atau rival-rival politiknya yang cenderung mengkomoditaskan ayat Al Quran atau nama Islam untuk kepentingan jangka pendek mereka.
Geliat ini terlihat jelas ketika Ahok menjabat wakil gubernur hingga menggantikan Joko Widodo sebagai gubernur DKI, gelombang penolakan terhadap dirinya cukup kencang.Berbagai opini, isu, dan propaganda tak sedap terus dimainkan oleh oknum-oknum politisi di ibukota.
Bukan saja ayat Al Quran yang menjadi jualan politik, tapi juga Alkitab. Misalnya, di Provinsi Papua dan Papua Barat, kerap kali momentum politik seperti pemilu atau pemilukada, ayat-ayat Alkitab menjadi barang laku di pasar demokrasi politik.
Banyak ayat Alkitab yang dikutip dan dijadikan sebagai jargon politik untuk menarik simpati konstituen. Memang ayat kitab suci terkadang menjadi jalan tol atau jalan emas yang menghantarkan para politisi untuk segera mencapai singgasana kekuasaan.
Tak sedikit politisi kita yang jarang menjalani Solat dan jarang ikut Misa tapi jago mengutip ayat-ayat AlQuran maupunAlkitab. Mereka menjadikan ayat kitab suci sebagai jargon politik. Itulah kekhasan daripara politisi kita yang berbulu domba berwajah serigala. Mereka keliru mendefinisikan etika komunikasi politik di tengah masyarakat Indonesia yang religius dan plural.
Para politisi kita seakan-akan bukan bertarung berebut kursi kekuasaan tapi berebut kerajaan Allah. Atau simplisit mengutip judul buku Agustinus (354-430), filsuf dan pujangga gereja, merebut “KotaTuhan, DeCivitate Deiatau The City of God”.
Tidak tahu, orang-orang yang hobi mengutip ayat kitab suci untuk kepentingan politik mereka, itu sudah baik secara moral atau belum ?
Jangan terlalu sempurna, tapi menjadi politisi atau pemimpin yang baik dan jujur saja sudah cukup. Selain itu, belum ada limitasi bagi setiap orang yang mengutip ayat kitab suci secara tidak keruanakan dikenakan sanksi dari institusi agamanya atau hukum positif.
Karena itu, butuh kesadaran pribadi para politisi yang mencalonkan diri untuk merebut kekuasaan. Bila ia berhasil meraih kekuasaan harus dipertanggungjawabkan secara moral dari jargon-jargon politik yang telah diperkenalkan kepada masyarakat.
Tidak berat, hanya dibutuhkan bisa menjadi pengelola kekuasaan yang arif dan bijak untuk mencapai kebaikan bersama (bonum commune ) saja sudah cukup. Ketika terpilih menjadi pemimpin, diharapkan, harus berani membela kebenaran, berani jujur, sekaligus bisa menjadi bapak atau ibu untuk semua orang tanpa pilih kasih. Serta mampu menciptakan kedamaian ditengah heterogenitas masyarakat.
Bukan sebaliknya, menyembur-nyemburkan kebohongan saat kampanye. Atau setelah menjadi kepala daerah melakukan korupsi, buat keputusan dan kebijakan yang tak populis, bertolak belakang dengan nurani publik. Hanya itulah yang menjadi pesan penting bagi siapa pun yang kelak dipercayakan negara dan mendapat amanah dari rakyat untuk menjadi gubernur, bupati, dan walikota di tanah Papua: Provinsi Papua dan Papua Barat.
Seharusnya kegaduhan yang terjadi di ibukota, menjadi pelajaran berharga untuk kita semua, terutama di tanah Papua, yang tengah menjalani tahapan pemilukada gubernur, bupati, dan walikota.
Isu suku, agama, ras,dan antar golongan (SARA) menjadi isu yang amat sensitif dan wajib dihindari atau dikubur. Sebab, dibanyak tempat, Irlandia Utara dan Bosnia-Herzegovina, misalnya, isu SARA telah menjadi sumbu yang menyulut pecahnya konflik vertikal dan horizontal yang sukar dibendung.
Tak kurang dari 20 tahun, masyarakat Bosnia-Herzegovina dibalut konflik dan sentimen SARA. Mereka terus didaerah konflik yang tak pernah berkesudahan, bagaikan terjerembap kesumur tanpa dasar.
Maka, kedamaian dan kenyamanan bersama dalam menghadapi pemilukada 2017 nanti, perlu dijaga, di pupuk bahkan ditumbuhkan. Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Karena kepentingan kelompok membuat berbagai sendi-sendi kehidupan porak-poranda dan mengancam keutuhan masyarakat, tercerai-berai.
Oleh karena itu, butuh gerakan bersama dari semua pihak di antarnya; tokoh masyarakat, pers, Polri, pemerintah, KPU, Panwas, dan partai politik, untuk memerangi berbagai manuver politik yang tidak sehat. Mengatasi segelintir orang yang hendak mendesain dan mengobralkan isu-isu murahan untuk cepat meraih kepentingan jangka pendeknya, yakni harta dan kekuasaan. Karena isu-isu tak sedap itu akan membuat masyarakat terbelah, terpolarisasi, dan memicu konflik yang akan mengancam berlangsungnya pemilukada.
Jangan karena ketidak becusan berdemokrasi membuat sesuatu dapat mengganggu ketentuan konstitusi. Karena, konstitusi adalah radar demokrasi. Jadi, Indonesia sebagai negara hukum, demokrasi,danPancasila adalah final dan mutlak.
Perlu disadari oleh kita semua, bahwa menjadi politisi atau pejabat publik yang dibutuhkan adalah sikap baik (good attitude) melayani masyarakat atau sesama manusia lain, serviam homines.
Barangkali masyarakat tidak akan bertanya, kami ingin punya presiden, gubernur, bupati, ataupun walikota berasal dari agama ini, warna kulit sana, atau dari partai politik itu? Tapi, mereka hanya butuh pemimpin yang lahir dari rahim rakyat, sekaligus bisa memperbaiki kondisi dan penuhi kebutuhan hidup rakyat. Misalnya,terpenuhinya kebutuhan makan, pakaian layak pakai, rumah layak huni, sekolah gratis, kesehatan terjamin, dan hidup damai.
Tidak berlebihan kalau Indonesia sekarang disebut ‘taman sari” yang amat indah, penuh kedamaian. Maka, momentum pemilukada langsung secara serentak tahun 2017,harus dijadikan sebagai vestifal tawaran konsep dan gagasan kepada pemilih. Bukan sebaliknya, vestifal jual isu SARA atau ayat Al Quran dan Alkitab! Semoga.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Staregis (LPKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, periode 2013-2015.