Beranda News Juni 2015, Momentum Politik Papua?

Juni 2015, Momentum Politik Papua?

2840
Thomas Ch. Syufi     Foto:Facebook.com
Thomas Ch. Syufi                     Foto:Facebook.com

 “Accipe quam facere praestat iniuriam (lebih baik menderita karena ketidakadilan daripada melakukan ketidakadilan”. – Demikian ungkapan cerdas dari Marcus Tullius Cicero, filsuf, orator ulung, advokat, negarawan, dan senator Romawi SM.

Setelah sekian lama organisasi Papua Merdeka berjuang, Konferensi Tingkat Tinggi Melanesian Spearhead Group (KTT MSG) yang digelar di Salomon Island pada 5 Juni 2015 berpotensi menjadi tonggak Papua Barat menjadi Timor Leste kedua.
Perjuangan jalur politik dan diplomasi luar negeri gerakan separatis Papua Barat tampaknya tinggal menunggu waktu bakal tercapai. Kemauan politik Jakarta membendungnya kalah cepat dari manuver Melanesian Spearhead Group (MSG), yang terdiri dari  Vanuatu, Papua Nugini, Salomon Island,  Fiji dan FLNK (Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste). Pada 5 Juni mendatang, mereka menggelar KTT di Salomon Island.

Forum tersebut tidak bisa dianggap remeh. Sebab, secara kelembagaan, MSG dilindungi oleh PBB berdasarkan “Agreed Principles of Cooperation Among Independent States of Melanesia”. Perjanjian yang ditandatangani di Port Vila pada 14 Maret 1988 itu memasukan MSG sebagai badan resmi PBB di bawah Pacific Islands Forum (PIF).
Kewaspadaan pemerintah RI makin tertuntut tinggi karena wacana Papua Merdeka menjadi topik utama dalam KTT MSG. Fokus agendanya ngeri-ngerisedap bagi NKRI, yaitu membahas status Republik Federasi Papua Barat sebagai anggota penuh MSG. Wah, memangnya sudah ada negara federasi Papua Barat?
Tanggal 5 Februari kemarin, MSG telah menerima pendaftaran ulang kelompok perlawanan Papua menjadi Republik Federal Papua Barat dalam wadah United Liberatian Movement for West Papua (ULMWP) di Port Vila, Vanuatu.Wadah inilah yang bakal dilebur menjadi Republik Feredasi Papua Barat.
Pendaftaran ULMWP dimotori oleh Benny Wenda, tokoh separatis Papua di Inggris, dan merupakan gabungan dari tiga organisasi perjuangan orang Papua. Yaitu Republik Federal Papua Barat, Parlemen Nasional Papua Barat dan Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan. Sebelumnya, pada 2013, MSG pernah menolak ULMWP menjadi bagian dari MSG justeru karena tidak adanya unifikasi kelompok-kelompok perlawanan di Papua Barat.
Bukan tak mungkin bila dalam KTT MSG mendatang melahirkan resolusi berdirinya Republik Federal Papua Barat. Kalau resolusi tercapai, tinggal dibawa ke  Sidang Umum PBB melalui pembahasan tingkat kawasan Pacific Islands Forum. Kalau PBB menyetujuinya, itu berarti Papua Barat akan menjadi Timor Leste kedua dalam sejarah Indonesia. Terlebih lagi, sampai sejauh MSG masih solid mendukung Papua Barat melepaskan diri dari NKRI.
Soliditas tersebut tampak sekali ketika Proposal Papua, yang akan dibahas dalam KTT MSG sejatinya digelar pada 23-24 Maret lalu, tapi dijadual ulang pada Juni mendatang hanya karena menunggu situasi normal Vanuatu. Negara anggota MSG sekaligus sebagai Kantor Sekretariat MSG dan negara-negara Pasifik Selatan itu sedang dilanda bencana alam angin topan.
Vanuatu selama ini sangat loyal mendukung berdirinya Republik Federasi Papua Barat. Yang mutakhir, PM Vanuatu, Joe Natuman, menyatakan sama sekali tak keberatan menawarkan diri menjadi tuan rumah simposium para aktivis OPM yang digelar pada akhir tahun kemarin.
Yang patut disesalkan, langkah RI mengantisipasi ancaman disintegritas NKRI dalam kasus Papua Barat ini tergolong lambat dan lembek. Langkah pemerintahan Presiden Jokowi belakangan masih terbilang reaktif berjangka pendek dan tidak menuntaskan akar persoalan, yaitu memadamkan bara separatisme.
Pemikiran bahwa memberi bantuan bagi korban bencana angin topan kepada Vanuatu sebesar 1 juta US$ pada pertengahan Maret lalu akan membuat negara kecil akan lebih bersahabat pada Indonesia sebaiknya disisihkan. Bantuan itu tidak akan menyurutkan dukungan Vanuatu pada upaya mendirikan Republik Feredasi Papua Barat. Begitu juga dengan penyaluran dana otonomi khusus (otsus), yang malah sering diselewengkan oleh birokrasi Jakarta dan Pemda setempat.
Pendekatan berupa dialog damai Jakarta-Papua yang digagas belakangan, juga tak banyak memadamkan bara api separatisme secara kongkrit. Masuknya Indonesia sebagai Observer Country dalam MSG pun masih terbilang tanggung, karena hanya sebatas peninjau semata.Kalaupun Indonesia diterima menjadi anggota penuh MSG, itu juga tak banyak membantu.Sebab dalam voting, pasti suara Indonesia kalah karena dikeroyok oleh mayoritas anggota MSG.
Besarnya potensi Papua memisahkan diri dari NKRI, jelas membutuhkan terobosan.Di tingkat domestik, terobosan itu berupa jalan pintas untuk mensejahterakan rakyat Papua. Hal lain adalah langkah kongkrit untuk memberantas korupsi, penataan sektor-sektor ekonomi Papua secara berkeadilan dan kontinyu serta menaikan indeks pendidikan masyarakatnya.
Di lain pihak, menempuh jalan kompromi dengan tokoh-tokoh OPM merupakan pendekatan persuasi yang tak kalah pentingnya, bukan dengan jalan represif menetapkan para pentolan itu sebagai DPO sebagaimana yang pernah dialami oleh Benny Wenda. Menurut sumber IndonesianReview, jumlah personil fanatis gerakan separatisme Papua yang ngotot merdeka tidak sebanyak yang dibayangkan.Jumlahnya hanya sekitar 70-an orang, dan selebihnya hanya personil pelaksana tugas yang bekerja karena iming-iming bayaran.
Dalam persuasi terhadap pentolan tersebut, jalan kompromi sebagaimana langkah Jusuf Kalla dalam perdamaian Aceh patut dimutasikan ke Papua dan disesuaikan dengan konteks mutakhir tanah Cenderawasih tersebut. Itu tentu saja kalau ada good will dari pemerintah RI.
Di tingkat diplomasi luar negeri, pendekatan perlu dilakukan melalui jalur politik dan ekonomi.Hubungan hangat yang telah terjalin antara Presiden Jokowi dan PM. Papua Nugini, Peter O’Nieill, menjadi modal sosial yang perlu diperluas kepada para kepala pemerintahan negara anggota MSG lainnya.
Hubungan hangat yang dimaksud bukanlah sekedar acara-acara seremoni kenegaraan sebagaimana pengalaman Peter O’Neil yang menjadi tamu kenegaraan pertama usai pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI ke-7 pada Oktober tahun lalu.Kalau hanya hal semacam ini yang ditonjolkan, diplomasi bakal percuma karena tidak ada hubungan yang mengikat dan mendalam di kedua belah pihak.
Lihat saja dalam pertemuan itu, di depan Jokowi, PM Papua Nugini tersebut bersikap manis dengan menyatakan pihaknya menghormati kedaulatan Indonesia. Namun, sekitar empat bulan setelah itu, tak urung Indonesia mempertanyakan sikap aneh Peter O’Neill yang bersedia menjadi pemimpin diskusi Republik Feredal Papua Barat di tingkat regional Pasifik Selatan.Peter O’Neill juga menuduh pemerintah Indonesia sering menekan penduduk Papua, walaupun tuduhan itu telah dibantah langsung oleh Rimbink Pato, Menteri Luar Negeri-nya sendiri.
Hubungan hangat RI dengan negara-negara MSG mestinya diikat dengan kerjasama ekonomi lebih kongkrit.Dalam kerjasama bilateral tersebut, Indonesia tak perlu sok jagoan dengan mengeluarkan APBN untuk membantu permasalahan ekonomi negara setempat, karena wajah perekonomian Indonesia juga masih babak-belur. Jika ada itikad baik dari Presiden Jokowi, pemerintah RI bisa saja mengarahkan kelompok konglomerasinya untuk menyambung pasar berbagai komoditas dan jasa antara RI dengan negara-negara MSG hingga nampak ada kemanfaatan ekonomi dari hubungan bilateral yang terjalin.
Yang tak kalah pentingnya, pemerintah RI menghimpun berbagai fakta sosial, politik, ekonomi dan Hankam Papua dalam sebuah Dokumen NKRI.Dokumen inilah yang meyakinkan negara-negara MSG dan negara sahabat Indonesia bahwa permasalahan Papua adalah urusan rumah tangga Indonesia, bukan persoalan internasional.
Pelaksanaan pendekatan domestik dan diplomasi luar negeri yang bersifat radikal tersebut adalah cermin kedaulatan RI dalam menegakan hukum domestiknya di atas hukum internasional.Peluang untuk menegakan hukum domestik RI terhadap permasalahan Papua ini memang masih ada sisa waktu walau terbilang terlambat.Ini setidaknya tecermin dari aturan main MSG dimana syarat Republik Federasi Papua Barat menjadi anggota penuh MSG mesti melalui persetujuan RI.
Bila dua pendekatan tersebut tidak ditegakan dan Presiden Jokowi salah langkah, nasib Papua menjadi Timor Leste kedua tinggal menunggu waktu.(Indonesian Revieuw, Mei 2015).
Solusi tepat.
Sejak integrasi 1 Mei 1963 hingga saat ini, masalah Papua terus menjadi perdebatan yang hangat di berbagai aras, baik di tingkal lokal, nasional, regional dan internasional.Konflik yang terjadi di Papua ini terus membara karena konsep penanganannya tidak tepat dan lebih parah lagi, pemerintah pusat tidak serius untuk mengurusinya.Diam.
Sebuah adagium Latin kuno, “Accidere ex una scintilla incendia passim( sepercik bunga api bisa menyebabkan kebakaran). Telah menjadi pengetahuan umum bagi semua orang yang berada di Indonesia.Ada empat sumber konflik di Papua, yakni Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. “Orang Papua masih belum merasa bahwa proses integrasi ke dalam Indonesia itu benar. Itu harus dibicarakan.
Kedua, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak terselesaikan.Operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 hingga kini, membuat masyarakat Papua memiliki catatan panjang mengenai kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia.”Itu membuat masyarakat Papua semakin sakit hati terhadap Indonesia.Luka kolektif itu terpendam lama dan selalu mereka sosialisasikan itu di masing-masing komunitas masyarakatPapua.
Oleh karena itu, dipandang fenomena gerakan generasi muda Papua yang lebih radikal dapat dipahami dengan penjelasan di atas.Karena itu, kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang tak pernah kita pertanggungjawabkan.
Ketiga,semua hal di atas membuat masyarakat Papua timbul stigma sebagai orang yang termarjinalisasikan.Dengan migrasi, pembangunan, dan lain-lain yang tidak melibatkan orang Papua, maka mereka merasa tersingkir di negeri sendiri.
Jika sudah merasa tersingkir dengan kenyataan kondisi pendidkan dan kesehatan yang buruk, masyarakat Papua semakin merasa terdiskriminasi oleh proses modernisasi. Kalau orang Papuakurang gizi dan bodoh, maka orang Papua tidak akan dapat pekerjaan yang baik. Di situ orang Papua terdiskriminasi oleh struktur.
Keempat, kegagalan pembangunan Papua.Pemerintah gagal membangun. Ukurannya sederhana saja, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat. Kenyataan di Papua, mudah sekali menemukan sekolah yang tidak berjalan proses belajar mengajar karena tidak ada guru dan juga puskesmas yang kosong karena tidak ada tenaga medis dan obat-obatan.
Perlu diakui dari keemapat konflik ini, ada yang telah dilakukan upaya penyelesaian tetapi ada juga yang belum diselesaikan dengan alasan tertentu.Misalnya, salah satu solusinya adalah diberikan kebijakan Otonomi Khusus Nomo 21 tahun 2001, yang fungsinya untuk memberdayakan orang asli Papua.
Kebijakan Otonomi Khusus yang diberlakukan sejak tahun 2001 hingga sekarang, belum memberikan dampak yang signifikan bagi perbaikan hidup masyarakat asli Papua yang bermukim di dua Provinsi, Papua dan Papua Barat. Presiden berganti presiden hanya sebatas beretorika. Janjinya akan segera menyelesaikan konflik Papua dengan cara-cara yang damai, adil, demokratis dan bermartabat. Ternyata, koersifitas yang berlaku.
Presiden Jokowi, misalnya, berjanji saat berkampanye pada tahun 2014 lalu di Papua, jika ia terpilih sebagai presiden, ia akan menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM Papua dan Indonesia di masa lalu. Hal ini tercantum dalam Nawacitanya untuk membangkitkan Indonesia yang mandiri, kuat, adil, dan sejahtera.
Masalah HAM pun tercantum dalam tiga program pokok Jokowi, yaitu poros maritim, tol laut dan revolusi mental yang masih terus diperjuangkan mantan gubernur DKI asal Solo, Jawa Tengah tersebut.Beberapa program, presiden telah melakukannya dengan baik, termasuk blusukannya ke berbagai daerah di Indonesia.
Dengan blusukannya itu, diharapkan Jokowi bisa mendengarkan semua aspirasi masyarakat di daerah sebagai referensi bagi Istana untuk mengambil langkah kongkit bagi penyelesaian berbagai ragam permasalahan, terutaama konflik Papua.
Setelah resmi menjabat presiden Indonesia, Jokowi telah melakukan dua kali kunjungan ke Tanah Papua, Provinsi Papua dan Papua Barat.Kunjungan pertama Sabtu (27/12/2014).Tetapi, dari hasil kunjungan itu, belum menunjukkan langkah kongkrit yang dilakukannya.Justru dibalik kunjungan itu, sebagian rakyat pun menolaknya, terutama dari kalangan generasi muda yang terdidik, aktivis, dan tokoh gereja.
Kini, mulai Sabtu (9/5) pagi, hingga Senin (11/5) pagi, Presiden Jokowi telah memulai kunjungan kerjanya yang kedua di Papua dan Papua Barat. Kunjungan kerja ke provinsi di ujung Timur Indonesia ini sesuai janji Presiden Jokowi pada akhir Desember tahun lalu.
Dalam kunjungan ini, presiden membawa 10 orang menteri, yakni Menteri Koordinator (Menko) bidang Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno, Menko bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Pendayahgunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek, Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, serta tiga menteri yang sejak Rabu (6/5) lalu sudah menyertai Presiden Jokowi. Ketiganya adalah Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri PU M Basuki Hadimuljono dan Menteri Pariwisata Arief Jahya.
Juga ada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman dan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS). Bahkan, selain para menteri, ada juga para staf menteri dan deputi dari Kantor Staf Presiden, di antaranya Staf Khusus Sekretaris Kabinet Jaleswari Pramodawardhani dan Deputi V Kantor Staf Presiden bidang Analisa Data  dan Informasi Strategis Mayjen Andogo Wiradi.
Sebenarnya ini menjadi momentum yang tepat bagi Presiden bersama para menterinya untuk mendengarkan secara langsung apa menjadi aspirasi dasar dari masyarakat Papua. Salah satunya, ialah membuka ruang dialog untuk penyelesaikan akar konflik antara Jakarta- Papua.
Di sisi lain, langkah berani dan kongkrit yang dilakukan oleh Jokowi dengan memberikan grasi kepada lima orang tahanan politik di Papua, memberikan ruang askses wartawan asing ke Papua, itu perlu diapresiasi. Namun, sayangnya, Jokowi juga sengaja melupakan tragedi kemanusiaan, yangbaru saja terjadi di penghujung Desember 2014 di Paniai, yang mana, lima siswa SMA tertembak mati oleh TNI/ Bromob setempat. Selama ini penanganan yang salah hingga konflik pun terus berlanjut di Bumi Cenderwasih itu.
Trust bulding antara kedua belas pihak pun belum ada. Dialog bukan suatu fobia, tetapi itu sebuah cara untuk mencari sumber permasalahan dan cara penyelesaiannya. Hal ini kadang memicu terjadi bentrokan kepentingan. Maka, seperti dikatakan Lord Palmerston (1784-1865), “Tidak ada kawan lawan yang abadi, kecuali kepentingan.”
Hans Joachim Morgenthau (1904-1980), ahli dalam studi hubungan internasional, dalam salah satu bukunya, Politics Among Nations, kira-kira mengingatkan, apabila suatu negara tidak tegas dan jelas dalam merespons serta menyikapi tantangan dari luar, taruhannya adalah citra dan status negara.
Pemikiran Hans Joachim Morgethau ini sebenarnya menjadi rujukkan bagi Jokowi untuk segera mengambil langkah cepat dan tepat bagi penyelesaian konflik Papua sebelum pembahasan status keanggotaan Papua Barat di kawasan negara-negara di Pasifik Selatan, MSG.
Muda-mudahan, Jokowi segera melakukan langkah ini, dengan optimistis, persoalan Papua tidak akan eskpansif dan merebak lebih jauh, serta simpati dunia internasional pun bisa meredup. Karena, pada hakekatnya, semua umat manusia itu ingin hidup dalam kondisi aman dan tertib.
Secara realistis, Presiden Jokowi telah menunjukkan sikapnya untuk membangun Tanah Papua yang lebih baik seperti provinsi lain di Nusantara ini.Oleh karena itu, dukungan semua pihak sangat diharapkan, terutama para pemangku kepentingan di republik ini, sepertilegislatif, partai politik, TNI/Polri, dan masyarakat.Jangan ada kerikil dalam sepatu dalam Rumah Besar bernama Indonesia. Momentum politik Papua pada Juni 2015 mendatang, tidak ada pengaruhnya, tergantung sikap presiden kita sekarang. Maka, dialog tentang masa depan Papua dalam NKRI harus dilakukan. Bagaimana Jokowi? Semoga!

Oleh : Thomas Ch. Syufi*

Penulis adalah Aktivis PMKRI Nasional—Sanctus Thomas Aquinas, tinggal di Jakarta.