Oleh: Abdy Bushan, S.Pd, M.Pd, M.Fil
MUNGKIN benar kutipan syair lagu yang pernah didendangkan Doddie Latuharhary, bahwa: “Tanah Papua, tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke bumi”, dan bla, bla, bla. Benar pula, jika dikatakan: “tanah Papua.. adalah harta harapan… “. Namun rasanya tidak benar jika manisnya syair lagu ini diletakkan pada realitas yang sesungguhnya, karena petikan syair lagu itu hanya menjadi bagian dari cerita MOB dalam kisah sang Abunawas.
Ya, secara teoritis, boleh di bilang pemerintah Indonesia sudah melakukan perubahan di bumi Papua sejak zaman Orde Baru hingga sekarang. Namun secara praksis, sungguh perubahan-perubahan yang dimaksud itu justru melahirkan hal-hal muskil yang tak kunjung berakhir.
Dalam bidang politik misalnya, bukan hal baru lagi jika sampai detik ini, sebagian masyarakat Papua masih mempertanyakan legitimasi kekuasaan Indonesia atasnya. Bahkan terkesan pemerintah selalu menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua. Akhirnya muncullah tuntutan masyarakat Papua untuk meminta secercah keadilan melalui apa yang disebut dengan “referendum”.
Permasalahan lainnya, adalah soal sumber daya alam, dimana sumber daya alam Papua kerapkali digerogoti oleh orang pendatang, terutama perusahaan bisnis yang bekerja sama dengan militer dan pemerintah Indonesia, yang sebenarnya justru tidak memberikan sumbangan nyata bagi perkembangan Papua secara utuh dan menyeluruh. Seharusnya, kerja sama yang adil dan sistematik antara pemerintah Indonesia, masyarakat Papua, dan komunitas Internasional, sekiranya bisa menyelesaikan konflik multidimensional yang terjadi selama ini di Papua.
Persoalan pembagunan juga masih menyisahkan rekam jejak yang bias, karena sepertinya pemerintah pusat masih parsial dalam menyelesaikan persoalan melalui percepatan pembangunan di bumi Cenderawasih, Papua.
Ya, semua persoalan di Papua sebenarnya harus disentuh secara simultan mengingat persoalan satu dengan persoalan lainnya memiliki keterkaitan. Pendekatan pembangunan misalnya, hal ini memang penting bagi orang Papua, tetapi ada persoalan lainnya yang tidak bisa diselesaikan hanya menggunakan pendekatan ini.
Contoh sederhana adalah persoalan HAM. Persoalan ini tidak bisa dipandang hanya sekedar persoalan ‘kekerasan’ saja. Tetapi jauh daripada itu, bahwa persoalan ini berhubungan dengan tidak terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masayarakat Papua, seperti: infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Munculnya diskriminasi dan marjinalisasi misalnya, hal ini tidak bisa dikaitkan hanya sebatas aspek ekonomi semata, tetapi harus pula bersinggungan dengan aspek sosial, budaya, dan politik.
Pendekatan Militeristik Menihilkan Kemanusiaan
Sejak pemerintahan Presiden Soeharto, pendekatan militeristik seharusnya menjadi catatan penting sehingga terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM di tanah Papua. Sehingga hampir sebagain besar orang Papua masih menyimpan trauma dan memori buruk atas pendekatan militer yang terjadi hingga saat ini.
Pendekatan militeristik sebenarnya akan menciptakan ketakutan, teror, konflik, bahkan kematian di berbagai tempat. Dan ini sungguh bertentangan dengan nurani orang Papua yang sungguh merindukan kemurnian identitas mereka yang jauh dari kekerasan dan genjatan senjata.
Dan bukan tidak mungkin, dengan Pendekatan militeristik ini, masyarakat Papua semakin hidup di dalam delusi berkepanjanjangan. Sehingga mereka hanya ingin hidup dan bergaul dengan orang-orang yang satu identitas. Akhirnya, sikap tertutup ini merusak keutuhan bangsa Indonesia. Sikap ini pula yang akhirnya melukai kehidupan, dan mengundang kematian di bumi Papua tercinta.
Akibatnya, timbullah pemberontakan sepihak dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang terus merongrong keutuhan berbangsa dan bernegara. Seharusnya persoalan KKB tidak bisa diselesaikan dengan intervensi –intervensi Pemerintah melalui pendekatan militer. Persoalan ini setidaknya bisa diselesaikan melalui kewenangan dengan memanfaatkan kearifan lokal. Artinya pendekatan kultural dan kemanusiaan harusnya diutamakan demi menangani permasalahan KKB di Papua, tanpa menghilangkan pendekatan aspek lain, sehingga tidak bersinggungan dengan kekerasan dan menihilkan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sebagaimana kisah dalam novel terkenal yang pertama mencetuskan terminologi “nihilisme‟ dalam karya Ivan Turgenev, berjudul: “Fathers and Souns” (1862). Dalam novel itu dikisahkan sikap salah seorang tokoh yang menegasi tradisi atau kepercayaan secara total sebagai ‘nihilisme’. Dan sikap ini bukanlah suatu sikap acuh tak acuh, tetapi lebih kepada sikap penolakan, peniadaan, dan penghancuran—seperti yang tampak pada pemberontakan KKB di bumi Papua.
Seharusnya, benar seperti apa yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (1860-1873) dalam karyanya yang sangat terkenal, “On Liberty”. Di situ Mill menuliskan bahwa “Segala yang menjadikan eksistensi, menjadi berharga bagi setiap orang yang bergantung pada penegakkan pengendalian tindakan-tindakan orang lain“ (John Stuart Mill, On Liberty, 130). Mill sebenarnya ingin menyatakan disini bahwa, apabila kebebasan rakyat ditekan secara penuh, maka tentu sebagian besar diantara mereka akan memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan itu untuk mengesploitasi orang lain.
Sekali lagi, pemerintah harus arif melihat persoalan ini. Pemerintah harus kembali mengedepankan kemanusiaan melalui kearifan lokal. Sebab sesungguhnya permasalahan yang terjadi di Papua bukan hanya berhenti pada soal bagaimana menghentikan hal-hal yang tidak kita inginkan, tetapi harus menghasilkan hal-hal baru yang kita inginkan bersama. Inilah urgensi dalam menyelesaikan konflik yang terus bergulir di tanah Papua.
Perubahan yang Tidak berubah
Sampai detik ini, “perubahan” adalah hal terindah yang sangat didambakan oleh semua kalangan yang hidup di tanah Papua. Namun bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, beragam ancaman terhadap perubahan justru semakin bergulir hingga menuntut masyarakat untuk segera beradaptasi dengannya. Jika tidak, ancaman tergilas oleh perubahan itu semakin kuat dan terbuka.
Perubahan di semua lini kehidupan memang menjadi kata kunci yang sakti bagi masyarakat Papua. Apalagi di saat era inovasi disrupsi yang terjadi saat ini, tentu membuat perubahan menjadi formula baru khususnya bagi upaya masyarakat Papua untuk terus mempertahankan diri.
Namun sesungguhnya, berubah dan perubahan bisa mengarah pada kondisi negatif maupun positif. Perubahan sejatinya adalah self defence mechanism alamiah dari kemampuan beradaptasi manusia. Artinya, perubahan menuntut masyarakat Papua menciptakan era baru yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Bagaimana sebenarnya perubahan itu bisa terjadi dan sejauh mana akan berdampak pada kehidupan masyarakat Papua?
Dalam pidato terakhir CEO Nokia, Jorma Ollila, menegaskan bahwa “kita tidak melakukan suatu kesalahan, tetapi entah mengapa kami kalah”. Ini artinya bahwa perubahan kerap luput dalam penglihatan, namun dampaknya fatal dirasakan. Sudah banyak begitu banyak teriakan dan slogan-slogan perubahan di tanah Papua yang masih terus dikumandangkan hingga detik ini. Bahkan dalam derajad tertentu, kebijakan Pemerintah Pusat maupun Daerah juga sudah dikeluarkan demi menghadirkan perubahan di bumi Papua. Namun, bersamaan dengan harapan akan perubahan itu, keamanan dan kenyamanan hidup pun semakin mencekam.
Lalu, kapan perubahan akan terjadi di tanah Papua? Tentu kita tidak dapat memproyeksikan hal tersebut dengan presisi, tetapi kondisi dan situasi atas perubahan dapat dirasakan. Bagaimana sebuah perubahan dapat dirasakan? Secara nyata, bentuk fisik perubahan mungkin bisa jadi tidak nampak, tetapi lingkungan dan ekosistem bisa berubah setiap saat. Itu sebabnya pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk memutus rantai yang sampai saat ini terus memicu lahirnya persoalan baru, seperti: ketidakadilan, pelanggaran HAM, politik dan ekonomi.
Berbagai pelanggaran HAM setidaknya harus kembali diselidiki. Korban dan keluarga korban perlu mendapatkan kompensasi dan keadilan selayak-layaknya. Bahkan pelaku pun perlu ditemukan, dan dihukum sesuai dengan aturan maupun rasa keadilan masyarakat Papua. Pemerintah maupun perusahaan yang ada di Papua mungkin sulit untuk bersikap adil dalam hal ini. Maka dari itu, kerja sama dengan berbagai lembaga internasional kiranya juga diperlukan.
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang sulit diungkapkan selama ini, setidaknya bisa melibatkan komunitas internasional dalam memainkan peranan dalam membantu menguraikan konflik, dan mencari jalan keluar damai. Ini semua tentu tak berguna, tanpa kehendak baik, sekaligus kebijakan yang jernih dari pemerintah pusat. Tanpa upaya ini, maka Papua akan terus bergejolak.
Pendekatan militer harus pula dibatasi. Sebab dalam banyak kasus, pendekatan militer justru memperburuk keadaan. Masyarakat menjadi agresif dan reaksioner, ketika dihadapkan dengan pendekatan keamanan. Dalam segala persoalan, dialog adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah. Jalur hukum bisa ditempuh, jika jalan dialog mengalami kebuntuan.
Dalam hal lainnya, pemerintah dan perusahaan yang beroperasi selama ini di tanah Papua, sebaiknya tidak memberikan janji-janji muluk pada masyarakat Papua. Untuk mencapai kesepakatan dengan masyarakat lokal, seringkali pemerintah maupun pebisnis membuat beragam janji. Ketika akhirnya sulit terpenuhi, maka timbuk kecewa dalam diri masyarakat. Dan perlu dipahami bahwa dalam jangka panjang, kekecewaan ini bisa menjadi dendam yang merupakan tempat subur untuk munculnya konflik.
Sekali lagi, jantung pada persoalan politik dan sumber daya yang mengemuka selama ini di Papua, adalah menyangkut persoalan keadilan. Di tanah yang kaya ini, begitu banyak orang Papua hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sementara para pendatang semakin menggeliat dan kian mengeruk kekayaan Papua, sehingga menjadi kaya di luar batas-batas akal sehat.
Penulis adalah Dosen pada Universitas Kristen Artha Wacana – Kupang, serta Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Penulis dibesarkan di kota Nabire, Papua.