
Oleh Thomas Ch. Syufi*
Kehidupan orang-orang mati selalu terekam dalam memori orang-orang hidup. Demikian kataMarcus Tullius Cicero (106-43 SM), filsuf, penulis, ahli hukum, orator, negarawan, dan senator zaman Romawi.
Hari Sabtu, 18 Agustus 2018, dunia dikejutkan dengan berita duka atas meninggalnya Kofi Atta Annan, peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2001, Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-7, dua periode, 1997-2006, dan Utusan Khusus(Special Envoy) bersama PBB dan Liga Arab untuk penyelesaian konflik Suriah, di Bern, Swiss.
Dikabarkan oleh sejumlah media internasinal bahwa penyebab kematian Kofi Annan pun belum diketahui. Sosok yang merupakan representasi orang kulit hitam pertama dari Afrika yang menduduki kursi Sekjen PBB itu meninggal secara mendadak dalam usia 80 tahun(1936-2018).
Kepergian ini mengundang tangisan dan kesedihan panjang bagi warga dunia. Karena, pendiri dan Ketua Kofi Annan Foundation sekaligus Ketua The Elders ( sebuah organisasi internasional yang didirikan oleh Nelson Mandela) ini bukanlah seorang politikus kelas teri, bukan juga seorang diplomat karbitan, tetapi dia adalah “top diplomat” yang pernah dimiliki dunia. Dengan segala talentan dan kualitasnya, setelah sukses Menjadi Menteri Luar Negeri Ghana, ia terpilih oleh negara-negara anggota PBB menduduki kursi Sekjen PBB pada tahun 1997.
Hal ini menjadi georesan penting dalam sejarah orang kulit hitam di seluruh dunia, bahwa setelah ratusan tahun dunia diselimuti politik dan diskriminasi rasial, Annan berdiri tanpa beban dengan mampu memunjukkan eksistensi bahkan identitasnya sebagai orang kulit hitam pertama asal Afrika yang bisa menduduki singgasana Sekjen PBB.
Annan sepertinya menjawab kegelisahan dan mimpi besar yang ditinggalkan Martin Luther King Jr(1929-1968), pejuang hak asasi manusia dan tokoh anti-sistem perbudakan di Amerika, dan Nelson Mandela(1918- 2013), tokoh anti-politik apartheid dan politik rasial di Afrika Selatan. King dan Mandela mengingkan dunia yang bebas, dunia yang demokratis, dunia yang menghormati persamaan, dan dunia bisa merawat perbedaan menjadi sebuah energi untuk melakukan perubahan demi terwujudnya keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian abadi. Annan yang menangut Kristen ini pernah bilang, agama harus dilandasi dengan prinsip pluralisme.
Demi kebebasan, persamaan, persaudaraan, kemanusiaan, dan perdamaian itulah Kofi Annan menghabiskan separuh hidup untuk mewujudkannya. Ia membuktikan itu dalam praktik-praktik diplomasinya yang sangat santun, cerdas, bermatabat, juga tentunya berwibawa ke berbagai negara dan ke berbagai pelosok dunia, entah di Afrika, Amerika Latin, Eropa, Karibian, Australia, termasuk Asia.
Annan bukan saja melawan gelombang rasialisme untuk mencapai puncak tertinggi di kursi Sekjen PBB, tetapi ia ingin mempertegas identitasnya bahwa semua manusia diciptakan sama. Maka, martabat kemanusiaaan dari tiap manusia perlu dihormati sekaligus diperjuangkan.”Seorang manusia menjadi manusia karena dirinya mengakui orang lain sebagai manusia,” kata Desmond Mpilo Tutu, uskup, rekan seperjuangan Mandela, dan aktivis kemanusiaan Afrika Selatan.
Kofi Annan telah berhasil membongkar sekat-sekat primordialisme ( atau rasialisme), termasuk berperan aktif dalam menengahi berbagai konflik sosial, etnis, dan agama yang terjadi di berbagai negara di dunia, seperti Rwanda, Suriah, Myanmar, dan Bosnia, termasuk mengesahkan tuntutan referendum 30 Agustus 1999 bagi bekas Provinsi Timor Timur(kini Timur Leste).
Yang terpenting dalam kehidupan adalah bukan berapa lama atau sedikit kita hidup, tetapi yang paling esensial adalah mutu hidup; berapakah kita dapat berarti(atau melakukan) sesuatu demi kebaikan dunia, terutama bagi sesama manusia. Annan telah melewati semua zig-zag hingga perjalananindah itu, membuktikan pengabdiannya yang sangat agung dan luhur bagi keadilan, perdamaiain, dan kemanusiaan universal. Memang dunia, termasuk Indonesia sangat berkabung atas kepergian seorang tokoh penting, aman of peace: Kofi Annan.
Mati hari ini atau esok sama saja, yang penting telah melunasi kewajiban kita sebagai manusia untuk memanusikan manusia lain. Kofi Annan tentu menjadi manusia yang beruntung karena telah berjejal dalam deretan panjang tokoh-tokoh besar dunia yang pernah menggoreskan pengabdian yang tak sedikit demi kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian, mereka antara lainPaus Yohanes Paulus II, Bunda Teresa, Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Oscar Romero, dan Dom Helder Camara.
Ada pepatah dalam bahasa Latin berbunyi de mortuis nil nisi bene, yang artinya—tentang yang meninggal hanya yang baik-baik—untuk dibicarakan dan ditulis. Demikianlah harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Orang yang baik meninggalkan nama baik dan orang jahat akan meninggalkan nama buruk yang tercemar. Annan pun kini pergi meninggalkan nama baik yang harum semerbak; mewangi menembus tembok-tembok pemisah seperti suku, agama, ras, antargolonga, dan ideologi politik.
Kini, Tuhan telah memetik kutum terindahnya untuk menghiasi taman surga. Selamat jalan diplomat kawakan dari Benua Hitam, Selamat jalan negarawan global dan internasionalis yang sangat berkomitmen serta berjuang sepanjang hidupnya untuk dunia yang lebih adil, lebih damai, dan lebih bermatabat.“Tempus abire tibi est, untuk kamu sudah waktunya untuk pergi”, demikian kata pepatah kata Latin kuno yang layak dialamtkan untuk Sir Annan dalam perjalanan panjang ke tempat peristirhatan abadi dan kekal di Jerusalem Baru, Surga.Semoga.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis(LPKIS) Presidium Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas Periode 2013-2015. Dan kini Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, dan HAM DPD KNPI Papua Barat.