Beranda News Poksus DPR Papua Usul Pilkada Papua Dikembalikan Ke DPRP/DPRK

Poksus DPR Papua Usul Pilkada Papua Dikembalikan Ke DPRP/DPRK

378
Jhon NR Gobai ketika bertemu Almarhum Gubernur Papua Lukas Enembe. (Foto: Istimewa)

Oleh John NR Gobai

Pengantar

Pilkada dimulai dengan mencari Partai Politik dengan uang atau money politik sampai atur penyelenggara dan beli suara di TPS, apakah ini yang dimaksud dengan demokrasi ? Ada beberapa kisah penting yang bisa kita gunakan ssbagai case untuk melihat money politik.

Dirinya  duduk berdiskusi dengan Bapak Almarhum Lukas Enembe, beliau katakan,… kami ini bikin 16 Kursi Partai Demokrat di DPR Papua, tetapi untuk maju harus tetap bayar administrasi ke Jakarta, nilainya bukan kecil, beberapa waktu saya cerita dengan salahsatu teman yang mau mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, beliau cerita saya sedang cari dana untuk membayar partai, dia katakan, partai akan lihat kursi di DPRD, dan harga dasar ditentukan tiap 1 kursi, sekitar 500 juta sampai 1 milyar bahkan lebih. Salahsatu Tokoh Papua beberapa waktu lalu telepon saya bercerita,….ade saya ngeri dengar nilai uang mereka bayar Partai untuk dapat Rekomendasi Partai untuk maju dalam Pilkada. Pertanyaannya adalah Uang dari Mana?

Menurut saya Politik uang sudah berlangsung dari sekian tahun lalu, karena itu dia akan menjadi pemicu korupsi karena dapat saja mengorek APBD atau dana dari OPD dan praktik politik yang tidak etis, para politisi yang mencari pendanaan besar-besaran sering kali terjebak dalam jaringan korupsi dan menawarkan konsesi yang tidak bermanfaat bagi kepentingan publik hanyak untuk mendapatkan dukungan finansial.

Pilkada sebagai investasi

Hal yang lain adalah Pilkada Langsung merupakan bagian dari Investasi para kontraktor bila kandidat yang didukung menang maka kompensasinya adalah kontraktor tersebut akan mengelola proyek dari APBD, hal ini tentu akan menutup ruang pengembangan Kontraktor Lokal atau OAP, disisi birokrasi, Pilkada juga merupakan investasi bagi ASN, ketika ada ASN ikut menyumbang maka dia akan mendapatkan jabatan strategis, kepentingan dan money politik ini jugalah yang akan mengakibatkan afirmasi sebagaimana diatur dalam UU Otsus Papua bagi ASN OAP terhambat.

Upaya DPR Provinsi Papua

Ketika Pembahasan revisi undang-undang Otsus Papua tahun 2021, sebagai Anggota DPR Papua, kami pernah membuat sebuah makalah yang isinya pokok pikiran usulan peruban UU Otsus, salahsatu yang kami usul adalah Pilkada melalui DPRD, artinya Pemilihan tidak langsung.

Hal ini kami usulkan sesuai dengan pengamatan kami selama ini di Tanah Papua, yang menurut kami jenis pemilihan langsung sudah waktunya di evaluasi, alasannya antara lain: membuat oknum oknum ASN tidak netral, yang potensial tergeser karena mendukung calon tertentu ASN yang mendukung kandidat tertentu aman, daerah yang tidak memberi suara tidak mendapat perhatian, konflik berkepanjangan, memerlukan biaya tinggi yang akhirnya akan menguras APBD dan karena kondisi asal Luber tidak akan terjadi, karena kepentingan politik dan money politik relasi dalam pemerintahan tidak akan berjalan sepatutnya, artinya penerapan nilai nilai demokrasi tidak harus langsung sehingga sebagai pelaksanaan desentralisasi asimetris di tanah Papua tidak harus Pilkada langsung.

Pilkada Asimetris

Pemerintah pernah memikirkan untuk mengusulkan sistem pilkada asimetris, yakni sistem pilkada yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pemilihan kepala daerah antardaerah, misalnya karakteristik tertentu daerah tersebut seperti kekhususan aspek administrasi, budaya, dan faktor strategis wilayah.

Pilkada asimetris sudah diterapkan di beberapa daerah, seperti Aceh dan Yogyakarta. Pilkada Aceh menyertakan keberadaan partai politik lokal, pilkada di Yogyakarta tanpa pemilihan gubernur, dan Pilkada DKI dengan tanpa pemilihan wali kota maupun bupati, sementara Papua apakah hanya Gubernur dan Wakil Gubernur harus Orang Asli Papua..

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan mengusulkan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah kabupaten di Papua tidak dilakukan secara langsung seperti yang berlaku selama ini. Menurutnya, hal itu bisa dipertimbangkan untuk diterapkan pada pilkada selanjutnya.

Menurut wahyu, memang patut dipertimbangkan dan dikaji untuk dicari solusi terbaik tentang model pilkadanya itu, Salah satu opsi solusi yang dimaksud, yakni kepala daerah ditunjuk oleh DPRD setempat, banyak hasil pilkada langsung justru membuat masyarakat tidak rasional dan menghasilkan pemerintahan yang tidak adil.

Sejumlah konflik akibat pelaksaan Pilkada di sejumlah daerah yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. proses Pilkada di Papua sebaiknya dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua atau pemilihan secara tidak langsung. Pelaksanaan semacam ini dinilai jauh lebih aman dibanding yang berjalan selama ini. Karena tujuan dari pelaksanaan Pilkada ini kan memilih pemimpin untuk membuat rakyatnya sejahtera,bukan justru menjadi kekacauan akibat Pilkada dan menghasilkan dendaman dendaman.

Mantan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan alangkah baiknya jika pilkada langsung dievaluasi kembali,karena banyak terjadi kecurangan yang terjadi selama pemilihan langsung diterapkan dalam Pilkada. Mafhud, berani mengungkapkan hal tersebut karena sempat menangani sejumlah kasus sengketa pilkada saat masih menjabat sebagai Ketua MK. “Itu terbukti semua di pengadilan. Dan mengaku, dan itu banyak sekali terjadi. Itu kalau berdasarkan pengalaman saya,” ujar Mahfud dalam acara peluncuran buku Intelijen dan Pilkada di Gramedia,Matraman, Jakarta.

Ketua Komite I DPD RI Teras Narang menilai sistem pilkada bisa saja diubah baik langsung atau kembali ke DPRD,semua bergantung pada perkembangan situasi terkini apalagi jika dikaitkan dengan mahalnya biaya “Tentunya besaran dana itu bisa dialokasikan ke yang lain seperti pembangunan sekolah, puskesmas, atau infrastruktur berupa jalan,” kata Teras.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun justru menilai model pilkada asimetris yang kekinian telah diterapkan di beberapa daerah perlu dievaluasi. Misalnya, pilkada asimetris di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Aceh, DKI Jakarta dan Papua,saya setuju kita harus mengkaji asimetris ini lebih lanjut. Sebagai contoh misalnya, apakah di Papua di daerah-daerah tertentu yang di pegunungan terutama yang masih memberlakukan sistem noken masih memerlukan pemilihan secara langsung atau tidak, Karena pemilihan langsung itu adalah pemilihan luber dan jurdil harusnya, yaitu langsung,umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Nah, dalam sistem noken saya kira luber susah tercapai,”katanya.

Tanah Papua yang diberi predikat otonomi khusus dengan undang-undang boleh saja bersifat desentralisasi asimetris, bukan simetris, dengan arti kata, Pemilihan Kepala daerah dapat berbeda dengan Provinsi lain mungkin itu juga salahsatu yang asimetris di Tanah Papua, berbeda dari daerah yang lain.

Aspirasi Pilkada oleh DPRP/DPRK, pernah terungkap dalam,Workshop 19 Tahun Implementasi dan Otonomi Khusus (Otsus) di Wilayah Adat Tabi-Saireri, yang berlangsung di Media Center, di Suni Garden Lake Hotel and Resort, Hawaii, Kota Sentani, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, dalam Forum Kepala Daerah se-Tabi dan Saireri, di Point 8) Pemilihan Kepala Daerah harus ada pengaturan bersifat khusus; karena itu kami mengusulkan terkait Pemilihan Kepala Daerah, adalah di tanah papua dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat hal ini harus diatur kembali dalam Undang-Undang Otsus Papua .

Penutup

Hal ini tentu diperlukan upaya untuk mengatur kembali melalui UU, sebagai bentuk asimetris, sebagaimana lalu disebutkan dalam UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Pasal 7 ayat 1 huruf a UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,tugas dan wewenang DPRP, a.memilih Gubernur dan Wakil Gubernur dan menambah pasal terkait dengan tugas dan wewenang DPRK.

Penulis adalah Ketua Poksus DPR Papua dari Daerah Pengangkatan (Dapeg) wilayah Meepago.