Oleh : Thomas Ch. Syufi*
Hampir sepanjang pekan ini, Manokwari diselimuti hijan lebat hingga timbul banjir masif yang cukup menggangu aktivitas warga, terutama mengancam kegiatan dagang para pedagang di Pasar Sanggeng, Manokwari, Papua Barat. Karena kondisi pasar yang kurang memadai hingga sering terendam banjir.Di pasar tersebut tampak sejumlah ibu-ibu yang sibuk lari sana- sini untuk mengatur atau mengisi barang dagangannya saat hujan deras mengguyur, Kemarin, Kamis (20/7/), sekitar pukul 11.00 WIT.
Mengamankan barang dagangan mereka supaya tidak terkena basah atau terseret banjir, hingga bisa dijual pada esok harinya.
Hal tersebut diakibatkan dengan kondisi Pasar Sanggeng yang kini makin parah kondisinya, sempit, becek, dan kumuh.
Bahkan, sebagian pedagang juga berjualan di sepanjang jalan masuk pasar dengan beralaskan daun pisang muda, karton atau karun bekas, juga menggunakan payung sebagai penangkal panas dan hujan. Tatkala juga terjadi keributan antarpara pedagang karena saling menguasai lapak. Padahal, Pasar Sanggeng merupakan pasar tertua dan berada di jantung atau posisi strategis di kota Manokwari, yang setiap hari ramai dengan para pedagang, juga konsumen.
Pedagang yang tangguh. Sebagian dari mereka tak bisa langsung pulang ke rumah ketika diguyur hujan bila jualannya belum laku.”Sekalipun hujan deras, basa kuyup kami tahan (tetap jualan) karena mau pulang makan apa di rumah bersama keluarga, kata Mama Muabuay(53), pedagang pinang, yang dijumpai beberapa bulan lalu.
Kondisi jalan pun rusak. Tak kelihatan ada aspal di sepanjang ruas jalan masuk ke pasar tersebut. Karena aspalnya sudah keropos, mengelupas hingga banyak koral dan bongkahan batuan sedang yang berserakan ke mana-mana, di badan dan tepi jalan.
Terdapat sekitar 10 lubang di badan jalan dan sangat berbahaya bagi pejalan kaki, bisa terperosok ke lubang bila tergenang air.
Jalannya pun sangat sempit, luasnya sekitar 6 x 50 meter. Di semua sisi jalan bahkan di tengah jalan telah diisi dengan aktivitas dagang. Banyak masyarakat yan membuka lapaknya di tempat tersebut hingga sering para pembeli atau konsumen pun saling bertabrakan.
Sering untuk mencapai jarak 50 meter butuh waktu tempuh sekitar 30 menit dengan jalan kaki, kerena harus mengantre, apalagi saling melangkali memang agak sulit.
Itulah kondisi riil yang dihadapi masyarakat Manokwari yang berjualan di Pasar Sanggeng. Memang, ada bangunan baru Pasar Sanggeng di bagian timur, hanya belum bisa digunakan dan kapasitanya agak kecil hingga sulit untuk menampung semua pedagang yang mencapai ribuah lebih di pasar tersebut.
Hujan atau banjir bukanlah alasan yang menghambat aktivitas para pedagang yang berjualan. Para pedagang di Pasar Sanggeng berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Mereka, antara lain, Papua, Makassar, Maluku, NTT, dan Jawa.
Mereka yang pada umunya hanya menggantungkan hidup hanya pada usaha kecil dan menengah, seperti jual pakain, perkakas dapur, sayur-mayur, buah pinang, ubi-ubian, sisir rambut bambu, dan noken Papua.
Bukan saja Pasar Sanggeng yang mengalami kondisi parah, terendam banjir, tapi Pasar Wosi, termasuk pasar malam Borobudur pun mengalami hal yang sama.
Jalan raya
Di sejumlah badan atau ruas jalan protokoler pun mengalami kondisi yang sama, terendam banjir. Perempatan lampu merah Wosi, Jalan Pasir, juga terendam banjir hingga mencapai ketinggian sekitar 30-60 cm. Banjir tersebut membuat banyak kendaraan roda dua atau empat pun terjebak.
Kebanyakan pengendara tidak bisa melintas di jalan tersebut, tapi mencari jalan alternatif, yaitu melewati jalan Wosi dalam hingga keluar di Jalan Pahlawan. Sebagian pengendara memilih melewati jalan Pasar Wosi hingga keluar di Jalan Pasir hingga ke Sanggeng.
Kondisi ini terjadi akibat dari sampah, botol air mineral atau industri rumah tangga, misalnya, yang begitu marak mengampung atau berserakan di sungai, kali, atau berbagai parit dan selokan hingga meyumbat sejumlah rute aliran air. Juga, kondisi jalan yang sempit dan rusak pun menjadi salah satu penyebab banjir.
Tampak wajah kota yang baru saja merayakan usianya 100 lebih tahun ini belum mengalami perubahan yang signifikan, baik bupati sekarang maupun para bupati sebelumnya yang pernah memimpin Manokwari.
Belum ada itikad baik (goodwill) dari para pemimpin kabupaten ini untuk merawat, memantapkan, atau membangun Manokwari. Lalu, apa gunanya kita berpemerintahan, apa gunanya kita bekabupaten, apa gunanya kita bernegara, kalau tujuan-tujuannya belum dipenuhi?
Hanya mengingatkan kita, tahun ini, 2017, Provinsi Papua Barat menerima dana Otonomi Khusus Papua sebesar Rp 2, 4 triliun rupiah!
Namun, uang bukanlah indikator utama untuk menolong sesama yang lain, terutama mereka yang memang benar-benar butuh pertolongan, tapi yang lebih penting adalah sikap simpati dan empati dengan dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang dalam dan utuh.
Karena itu, Voltaire (1694-1778), filsuf dan penulis besar Perancis Era Pencerahan pernah bilang, “ Tak a da orang besar yang tidak menyumbangkan kebesaran pengabdiannya kepada kemanusiaan”. Semoga.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, dan HAM DPD KNPI Papua Barat, juga mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, periode 2013-2015.
Baca Juga Artikel Lainnya : Jabatan Itu Amanah