Beranda News Masalah Kontrak Karya Dibawa ke Arbitrase, Apa Risiko Freeport?

Masalah Kontrak Karya Dibawa ke Arbitrase, Apa Risiko Freeport?

1030
The Grasberg Mine PT Freeport Indonesia (PTFI) Foto:IST

Kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg, Papua, terganggu sejak 10 Februari 2017 lalu karena PT Freeport Indonesia (PTFI) tak bisa melakukan ekspor konsentrat. Berdasarkan aturan baru dari pemerintah, PTFI harus mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) jika ingin mendapat izin ekspor konsentrat.

Tetapi PTFI masih tetap ingin mempertahankan KK. Akibatnya, stok konsentrat menumpuk, produksi bijih mineral terpaksa dipangkas. Sampai saat ini, sebagian besar produksi di tambang bawah tanah PTFI masih terhenti. Pemerintah dan PTFI masih bernegosiasi untuk mencari solusi yang memuaskan kedua belah pihak.
Produksi bijih mineral mentah (ore) dari tambang bawah tanah PTFI yang dalam kondisi normal mencapai 50.000 ton per hari kini hanya tinggal 15.000 ton atau sekitar 25% saja.
SVP Geo Engineering PTFI, Wahyu Sunyoto, berharap pihaknya dan pemerintah bisa segera menemukan win-win solution. Jika konflik berlanjut sampai ke arbitrase, baik PTFI maupun pemerintah akan sama-sama rugi (lose-lose).

“Saya tidak berharap arbitrase karena itu lose-lose. Jangan sampai terjadi. Pemerintah memberi waktu 6 bulan, kami akan memanfaatkan sebaik-baiknya,” kata Wahyu dalam diskusi IAGI di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (20/3/2017).

Ia mengungkapkan, situasi saat ini berbahaya bagi kelanjutan operasi dan produksi di Tambang Grasberg. Cadangan di tambang bawah tanah bisa hilang tertimbun akibat terganggunya kegiatan produksi.
Tambang bawah tanah PTFI menggunakan metode block caving, yaitu menggali terowongan menuju tempat cadangan bijih mineral di bawah tanah, meledakkan badan bijih hingga hancur di dalam tanah, lalu menariknya keluar secara bertahap lewat jalur-jalur terowongan yang sudah dibuat.

Dengan metode ini tegangan di bawah tanah diatur agar jangan sampai ambruk. Ibarat meja dengan 4 kaki, harus terus dibuat seimbang meski kaki meja dipotong satu per satu perlahan-lahan.

“Kalau sampai terjadi penghentian, panel produksi tambang runtuh dan tidak bisa diambil lagi cadangannya,” kata Wahyu.
Metode block caving membutuhkan kelanjutan, produksi jangan sampai terhenti dalam waktu lama. Ada risiko yang mungkin timbul bila produksi mengalami gangguan.

Dalam metode block caving, produksi ibarat maintenance alias perawatan. Ketika produksi terganggu, berarti perawatannya juga kurang. Badan bijih yang sudah dihancurkan di dalam tanah tetapi tidak segera ditarik keluar akan menciptakan akumulasi tekanan.
“Kalau block caving kami harus terus berproduksi sampai cadangan itu habis. Kalau tidak, tambang bisa runtuh dan cadangan tidak bisa diambil lagi. Itu kekhawatiran kami,” paparnya.

Risiko ini sudah pernah terjadi. PTFI kehilangan cadangan ketika tahun 2011 lalu para pekerja di tambang bawah tanah melakukan mogok kerja selama berbulan-bulan. 20% cadangan di DOZ tak bisa diambil lagi karena sudah terikat kembali.
Curah hujan tinggi membuat badan bijih yang sudah diledakkan di bawah tanah terkena air. Badan bijih mengeras lagi dan jadi sangat sulit untuk diambil.

Ada risiko lebih ekstrim yang dapat terjadi akibat terganggunya produksi dalam waktu lama, yaitu tambang bawah tanah kolaps. Bijih mineral yang mengeras karena terlambat ditarik keluar mengeras, membuat tekanan di dalam tanah semakin besar, lalu terowongan ambruk akibat tak bisa menahan tekanan. Ambruknya tambah bawah tanah berarti investasi dan cadangan mineral bernilai triliunan rupiah hilang. (mca/hns/detik.com)