Penulis : Christian Degei
Tuntutan ‘Merdeka’ oleh rakyat Papua untuk bangsa west Papua sudah mendunia sejak tahun 1960-an hingga saat ini menjadi sorotan publik. Kegelisaan ingin mendeka berawal dari ketidakadilan negara terhadap bangsa Papua dalam segala aspek yang meliputi aspek hukum, ekonomi, sosial, dan budaya serta beberapa sub aspek lainnya. Haus akan keadilan dituntut dengan pelbagai cara oleh masyarakat Papua tetapi negara ini masih dalam kebingunan akan pemahaman dan pengertian apa gerangan rakyat Papua untuk melancarkan segala permintaan itu kepada Negara sebagai ibu angkatnya.
Bangsa Papua dilahirkan oleh keturungan ras melanesia yang kemudian berupaya diangkat oleh negara Indonesia keturungan Melayu melalui perebutan perangnya untuk orang Papua meng-Indonesiakan berarti negara ini adalah ibu angkatnya bangsa Papua.
Pelbagai tuntutan dilakukan dan dilancarkan masyarakat Papua untuk meminta keadilan, karena lantaran dinilai selama ini tidak ada rasa berkeadilan terhadap rakyat Papua. Sebab itu, tuntutan Merdeka terbuka luas. Jika dilihat, keadilan negara terhadap rakyat Papua hanya sebatas teori belaka. Tidak ada bukti nyata dilapangan, pelbagai pendekatan hanya diluar kemauan masyarakat Papua. Masyarakat Papua tidak meminta uang, tidak meminta bangunan bertingkat, tetapi masyarakat Papua minta rasa berkeadilan sama seperti daerah lain di luar Papua.
Jika dikaji, Merdeka adalah hak segala bangsa maka, penjajahan diatas Papua harus dihapuskan. Konteks ini memberikan makna tersendiri bahwa, yang disebut ‘Hak Segala Bangsa’ adalah termasuk hak bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri (Merdeka). Arti merdeka bisa dimaknai dari pelbagai sisi diantara merdeka untuk membentuk negara sendiri, merdeka dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, merdeka yang bebas dari pelanggaran HAM. Oleh karena itu, tidak salah kalau rakyat Papua minta Merdeka.
Dilain sisi, pandangan negara terhadap rakyat Papua adalah ANAK KEPALA BATU yang harus ditawarkan kemauannya dengan uang, mobil mewa dan rumah bertingkat agar tidak nakal lagi. Seharusnya, tidak perlu dimanja dengan uang tetapi kabulkanlah permintaannya agar belajar hidup bermandiri.
Pada dasarnya, pemberikan Otonomi Khusus oleh Pemerintah Pusat adalah meredam tuntutan Merdeka dengan kebijakan politik yang dilancarkan negara untuk ditumpulkannya ketajaman isu Papua yang kini mendunia untuk mengantisipasi dukungan pihak ketiga yaitu dunia Internasional. Sebenarnya Otsus itu senjata beracun yang tidak secara kasat mata ditawarkan Pemerintah Pusat kepada masyarakat Papua.
Menghadang tuntutan Merdeka dengan pelbagai tawaran oleh Pemerintah Pusat melalui sebuah program teristimewa yang disebut dengan Otsus. Jika dikaji, negara mana pun berikan Otonomi hanya sekali saja. Dengan tujuan akhir masanya harus Merdeka. Tetapi sistem negara ini memang aneh, malahan negara sedang merancang memperpanjang Otsus Plus dengan argumen pembangunan Papua belum maju. Padahal, masyarakat tidak meminta Otsus jilid II.
Buktinya, beberapa Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Khsusus yang diajukan Pemerintah Provinsi Papua tidak dapat mengvalidasi atau merespon dengan baik oleh Pemerintah Pusat. Hal itu menunjukan bahwa Otsus itu gagal terlaksana di bumi Papua. Beberapa kewenangan atau kebijakan khusus yang menjadi tugas DPR Papua dan Pemprov Papua diambil alih oleh Pemerintah Pusat.
Mama-mama Papua saja masih berjualan noken, buah pinang, bahkan sayur mayur diatas trotoal atau tempat yang tidak layak berjualan. Sedangkan kaum pendatang menempati posisi yang telah disediahkan pemerintah. Dalam sistem perdangan saja dikuasai kaum pendatang. Sebenarnya sistem perdagangan lokal semacam ini bisa diatur dalam Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus tetapi sengaja digagalkan Pemerintah Pusat dengan proyeksi lain. Semua segi dilakukan sama terhadap orang Papua, diskriminasi terus dilakukan hingga hari ini.
Selain itu, pasca Otsus Papua telah dipenuhi dengan berlumurah darah orang yang tidak bersalah, rakyat Papua dibunuh, dituduh separatis, kendatipun rakyat tidak bersalah. Pihak keamanan berpatroli dengan rencana sadis, artinya umpang masalah dengan masyarakat setempat dimana mereka bertugas. Ketika rakyat berterik, TNI/POLRI dituduh mereka (masyarakat Papua) adalah separatis atau OPM kemudian main tembak seenaknya lalu tidak bertangjawab dibiarkan begitu saja, seakan binatang liar galak yang harus ditembak. Ketika pemerintah minta TNI/Polri harus bertanggungjawab, mereka melayangkan dengan argumen yang tidak jelas. Hasil akhir dari permintaan pemerintah sering tidak membuahkan hasil, disitulah gagal hukum itu terbukti clearly.
Pelbagai kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berskala mikro maupun makro yang sudah sedang terjadi di Papua belum pernah terselesiakan via lembaga hukum yang ada di Indonesia, tetapi kenyataannya selalu dibumkam. Kendati, masyarakat melakukan aksi demontrasi menuntut pelbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua harus diselesaikan tetapi kenyataannya selalu dibubarkan oleh pihak keamanan dengan alasan mereka adalah pengacau dan pemberontak. Pahahal, demo adalah hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat, kegelisaan, kemauan, dan atau aspirasinya kepada pemerintah setempat agar segala aspirasinya berharap harus didorong sehingga pada puncak penyelesaian di lembaga hukum. Tetapi sayangnya, para aktor hukum menjadi gagal paham seputar hukum itu sendiri sehingga bisa disebut negara gagal hukum. Wajar juga karena sistem hukum yang diberlakukan dinegara ini diadaptasikan dengan hukum zaman penjajahan negara Belanda yang disebut zaman kuno, tidak ada yang klasik dan modern.
Mau lanjut Otonomi Khusus atau Meredeka, pastinya masyarakat Papua menjadi korban. Sedikit penjelasan terkait “Mau lanjut atau Merdeka”.
1. Otsus Harus Lanjut
Kendati dengan kebijakan Pemerintah Pusat maupun kebijakan para elit politik di Papua sendiri memutuskan untuk Otsus harus lanjut, itu pun rakyat Papua adalah pihak pertama yang menjadi sasaran dan korban. Kerana hasil kebijakan politik pemerintah ini diberlakukan diluar kehendak dan kemauan masyarakat Papua. Sehingga dalam proses implementasi kelak akan terjadi banyak kekeliruan dan kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat Papua. Masyarakat ditakuti dengan sebuah pendekatan yang disebut dengan pendekatan militeristik, kebijakan yang menindas kaum lemah sehingga angka kesejahteraan ekonomi masyarakat asli Papua terbilang cukup sedikit kelak. Itu juga jumlah yang menunjukan status OAP adalah mereka yang punya status penghasilannya jelas.
2. Merdeka
Tidak lanjut “Harus Merdeka”, itu pun rakyat Papua menjadi korban karena Merdeka harus diawali dengan pertumpahan darah. Tidak ada daerah yang dimerdekaan secara damai, kecuali daerah itu tidak memiliki potensi Sumber Daya Alam yang cukup atau potensi lain yang tidak membutuhkan negara jajahan yang menjadi kebutuhan prima.
Jika dibandingkan dengan Papua amat berbeda, artiya Potensi SDA Papua sangat berlimpah dan bahkan kekayaan SDA-Nya pun terlalu bersurplus. Oleh karena itu, jangan berharap langsung dimerdekakan secara damai oleh negara ini. Harus melewati badai penghadang ini dengan api semangat, persatuan, kebersamaan, dan kekompakan adalah kunci utama menembus badai tersebut.
Kedua pengertian sederhana diatas adalah sebuah analisa nyata.
Sebuah upaya pasti dapat membuahkan hasil, tergantung yang bersangkutan semangat berjuang atau tidak. Apalagi, berjuan dalam sebuah tim. Hal utama yang paling diutamakan adalah kebersamaan/persatuan, kekompakan dalam upaya dan usaha untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Lahirnya Otsus di bumi Cenderawasih, membuka peluang tindakan anarkis selama ini, karena dengan adanya barang ini, pembunuhan dimana-mana, penembakan, pemerkosaan, penyaniayaan, dan pengejaran serta beberapa bentuk kasus lain yang tidak dapat disebutkan. Yang jelas bahwa, Otsus adalah wadah kelancaran negara untuk mengagalkan tuntutan Merdeka. Dan melalui tawaran otsus plus yang sedang berlangsung ini rakyat Papua memprediksi akan bertambah kasus pelanggaran HAM di tanah Papua atau suatu saat kelak akan terjadi seperti kaum Aborijin di Benua Australia atau Benua Amerika yang punya kaum indian. Sehingga, untuk mengantisipasi hal itu, masyarakat Papua dengan tegas tolak Otsus jilid II dan minta Merdeka.
Selain itu, masyarakat Papua juga meminta negara berhenti mempermainkan rakyat Papua. Karena menurut mereka, sudah cukup lama menderita di dalam bingkai NKRI, sehingga rakyat Papua maunya harus dimerdekakan (Referendum).
“Kami tidak ingin lagi bersama NKRI. Kami mau mandiri, kami mau bebas, maka kami minta Papua harus Merdeka,”katanya salah seorang mama Papua berinisial MW sambil bercucuran air mata.
Untuk mengetujui penawaran Pemerintah untuk UU Otsus plus harus direvisi dan lanjutkan periode kedua, tengah terjadi pelbagai perdebatan yang melahirkan polemik yang tidak melibatkan rakyat Papua sebagai korbannya dalam perdebatan Pemerintah tersebut.
Seharusnya Pemerintah Pusat yang melahirkan atau membuat UU Otsus, maka sekarang Pemerintah harus mendengarkan suara rakyat Papua bahwa “Rakyat Papua maunya apa? Kalau rakyat minta Merdeka harus merdeka, kalau minta Otsus harus lanjut ya demikian”,harus tanyakan rakyat Papua. Bukan secara diam-diam bermain politik bersama para elit politik atau kelompok kepentingan dibelakang layar. Masyarakat tidak ingin permainan semacam itu.
Yang merasakan Otsus itu rakyat Papua bukan para elit politik atau sekelompok orang yang tengah mengatasnakam rakyat Papua. Tanyakan langsung kepada masyarakat Papua karena korban serta sasaran utamanya masyarakat.
Pemerintah Pusat menjadi actor prima dalam penawaran Otsus itu sendiri, dan sebagian dari masyarakat Papua yang kontra dengan menentukan nasib sendiri lantas mengambil bagian dalam penawaran tersebut pula untuk melancarkan pendekatan pelbagai argumen untuk Otsus harus diterima di Papua. Tetapi sebagian dari masyarakat Papua tetap pertahankan prinsipnya untuk menentukan nasib sendiri. Karena tindakan negara melukai batin orang Papua yang sepantasnya tidak musti dilakukan sebab negara ini mengangut sisten demokrasi.
Tuntutan Merdeka sudah mendunia. Masyarakat Papua tuntut harus menentukan nabibnya sendiri yaitu harus ‘Merdeka’. Karena mereka menilai kehidupannya tidak serasi dengan negara ini. Mengapa sampai masyarakat Papua terus bersuara untuk harus merdeka. Karena ketidakadilan negara terhadap Bangsa Papua dalam segala hal masih terus berlanjut hingga saat ini.
Sebenarnya, Otonomi Khusus lahir membawa harapan baru bagi masyarakat Papua. Tetapi kenyataan dilapangan membuktikan lain, artinya Otsus lahir membawa malapetaka bagi masyarakat Papua. Kehadiran Otsus, seakan kehidupan masyarakat Papua seperti tidur dan bangun di Neraka. Mereka tidak merasakan amannya kehidupan tetapi merasakan panasnya api ditengan tembok raksasa yang terkurung dikelilingi beribu iblis.
Hulu hingga saat ini tidak ada suatu perubahan pun dalam kehidupan masyrakat Papua. Pemerintah pusat tidak membuka suatu ruang gerak bagi orang Papua dalam diberbagi segi sehingga Otsus bisa dibilang gagal, dan memang gagal.
Banyak pelanggaran HAM yang seharusnya diproses melalui hukum terus dibaikan oleh negara. Pengejaran warga oleh anggota TNI/Polri, penembakan membabibuta dimana-mana tanpa alasan yang jelas hingga tidak diproses hukum, diskriminasi yang berkepanjangan, melancarkan tindakan militeristik merupakan bukti tindakan biadap sehingga wajar jika masyarakat menolak Otsus jilid II.
Tujuan hukum dinegara ini adalah keadilan tetapi keadilan hanya sebuah pepata yang tidak berarti bagi negara.
Orang Papua ditipu dengan Otsus. Kegelisaan masyakarat Papua untuk menentukan nasib sendiri sudah dilemahkan dengan penawaran UU Otsus. Padahal, UU Otsus ini hanya sebuh pendekatan negara untuk menguasai daerah Papua yang masih prematur ini. Dijembatangi dengan Otsus, pendekatan militeristik kian meluas hampir menutupi Pulau Papua. Argumen prima pendekatan ini hanya untuk menakuti masyarakat Papua dengan laras panjang untuk mau menguasai Papua.
Akhir kata! Otsus itu badai penghalang.
Penulis adalah pemerhati HAM dan pengamat muda Otsus Papua.