
Oleh:Thomas Ch. Syufi*
Sejak tahun 1961, tanggal 1 Desember sebagai hari yang sangat berharga dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat, bebas dari belenggu penjajahan Belanda. Pada tanggal itulah para anggota Nieuw Guinea Raad (Perlemen Nieuw Guinea) mensahkan negara, sekaligus atribut, sistem, dan bentuk negara Papua Barat.
Di mana, atribut negara itu meliputi bendera bintang fajar, lagu kebangsaan āHai Tanahku Papuaā sistem pemerintahan presidensial, dan bentuk negara kesatuan. Sejumlah politikus kondang Papua, seperti Nicholaus Jouwe, Nicholaus Tanggahma, Markus Kaisiepo, Herman Wayoi, Elieser Jan Bonay, dan Simon Inuri telah melakukan berbagai langkah menuju proses bernegara itu.
Beberapa tahapan yang dilakukan oleh para founding father negara Papua tersebut, meliputi pembentukan lembaga-lembaga politik, seperti Nieuw Guinea Raad dan pembentukan sejumlah partai politik yang diketuai oleh beberapa orang di antara mereka.
Waktu itu, orang Papua pun diajarkan untuk bagaimana berpartisipasi secara politik dalam proses penyelenggaraan negara. Pendidikan politik, menjadi salah satu proses yang dilakukan saat itu kepada rakyat Papua. Rakyat Papua diajarkan bagaimana cara mereka bisa berpartisipasi secara politik melalui proses demokrasi, pemilihan umum (pemilu).
Dari itu, sebagian besar rakyat Papua memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup dalam proses berdemokrasi atau pemilu. Karena, sosialisasi telah dilakukan hingga ke berbagai pelosok negeri Papua untuk keterlibatan orang Papua dalam pemilihan anggota Nieuw Guinea Raad yang telah dibentuk oleh pemerintah Belanda untuk negara Papua.
Namun, menurut rakyat Papua, hasil jerih payah itu menjadi sirna karena invasi militer Indonesia secara paksa melalui Trikora (Tri Komando Rakyat/ Tiga Komando Rakyat) yang dicetuskan oleh Presiden Indonesia, Soekarno pada 19 Desember 1961.
Di mana, upaya sabotase itu mengintikan pada tiga hal pokok, yakni, gagalkan pembentukan Negara boneka Papua bikinan Belanda, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia. Dan yang terakhir, bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Pengambilalihan Papua secara paksa oleh Indonesia dengan kekuatan militer waktu ituābukan saja menghilangkan entitas negara Papua. Tapi, dari proses itu ratusan ribu orang Papua harus hilang nyawa (dibunuh atau diculik) secara tak manusiawi.
Lembah Kebar, Tambrauw, pedalaman Arfak, pinggiran danau Ayamaru, Kaimana, Fakfak, Timika, Jayawijaya, danau Sentani, dan pantai Pasir Dua Jayapura menjadi saksi bisu bagi pembunuhan dan penculikan keji terhadap manusia Papua.
Seandainya, tempat-tempat itu sebagai manusia, tentu saat ini mereka berkata, puluhan atau ratusan orang Papua telah dibunuh dan dibuang di sini. Tapi, sayang, semuanya tak bisa berkata apa-apa. Membisu. Yang bisa menjawab itu hanya sejarah dan kebenaran itu sendiri.
Memang, sejarah itu mengajarkan, historia docet. Sejarah tetap menjadi sejarah, sejarah tak pernah mengikuti kemauan politik dan logika manusia semata. Karena, sejarah selalu berbicara soal fakta dan kebenaran masa lalu. Sejarah selalu mengaktualisasikan berbagai peristiwa masa lalu untuk masa kini dan masa depan. Karenanya, sejarah sukar untuk dibohongi oleh siapa pun.
Dengan peristiwa 1 Desember 1961āitu selalu menjadi pegangan bagi rakyat Papua dalam kehidupan mereka selama ini. Padahal, secara de facto, Papua hari ini menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi orang Papua belum merasa mereka adalah bagian dari NKRI yang dihibahkan āgratiskanā oleh Jepang 17 Agustus 1945, ketika Negeri Sakura itu mengalami kekalahan pada Perang Dunia II dari pihak sekutu.
Jika dibandingkan, perayaan 17 Agustus HUT RI dan 1 Desember HUT Negara Papua. Orang Papua lebih menghargai dan terlibat secara aktif pada hari kemerdekaanya, 1 Desember. Walaupun ada yang melakukan kegiatan serimonial di Papua terkait HUT RI, itu hanya berlangsung di aras pejabat politik dan birokrasi (TNI, Polri, PNS, anggota DPR), dan para anggota musawarah pimpinan daerah/Muspida lainnya.
Seharusnya, ini menjadi sebuah evaluasi khusus bagi pemerintah Indonesia, mengapa sikap dan tindakan rakyat Papua seperti itu? Bahkan, kebanyakan rakyat Papua yang telah mendekam di balik jeruji besi atau matiāhanya karena merayakan HUT kemerdekaan Papua Barat.
Hal ini berlanjut hingga Perjanjian New York 15 Agustus 1962, dan penentuan pendapat rakyat (Pepera) 15 Juli-2 Agustus 1969 pun menjadi tragedi terbesar bagi rakyat Papua di abad ke-20. Menurut sejumlah saksi sejarah, Herman Wayoi (alm) dan Fred Suebu, penyatakan, Papua masuk ke Indonesia penuh dengan rekayasa.
Dalam pembuatan Perjanjian New York tidak pernah dilibatkan rakyat Papua di dalamnya. Selanjutnya, pada pelaksanaan Pepera 1969 pun tidak sesuai dengan salah satu isi Perjanjian New York, yakni one man one vote, satu orang satu suara, justru yang terjadi seribu suara diwakili satu orang kepala suka dari tiap-tiap daerah di seluruh Tanah Papua.
Sejarah buram inilah yang menimbulkan silang pendapat antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua. Tentu, rakyat Papua bergeming merayakan tanggal 1 Desember sebagai hari sejarahnya, karena itu pemerintah Indonesia jangan menganggap ini hal remeh-temeh.
Seharusnya, pemerintah Indonesia melihat hal ini dengan kacamata bening, bukan kaca mata kuda, main tangkap itu dan iniātanpa melihat akar masalahnya. Karena, tangkap menangkap, membunuh, menculik tak dapat menyelesaikan konflik Papua-Indonesia. Tak terhitung, ribuan orang Papua yang telah mati dibunuh oleh militer Indonesia, juga sebaliknya banyak anggota TNI dan Polri yang telah mati terbunuh oleh OPM harena mempertahankan keyakinan akan sejarah kebenaran itu. Prinsip rakyat Papua sebagaimana diutarakan oleh tokoh senior OPM pelarian politik ke Madang, Papua Nuguinea (PNG) di era 1970-an, Moses Weror, ā Broken one thousand grow, patah satu tumbuh seribuā.
Namun jelas, hari ini Papua merupakan bagian dari Indonesiade facto. Untuk membangun Papua yang lebih kokoh dalam NKRI, maka satu jalan adalah semua sejarah buram masa lalu harus diluruskan (atau diuraikan). Untuk membangun masa depan Papua dalam NKRI, suka atau tak sukaāmasa kini harus berdamai dengan masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik. Karena Fredrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), filsuf, kritikus budaya, penyair, dan komposer dari Jerman, āMasa depan mempengaruhi masa kini, sama banyaknya dengan masa lampauā.
Untuk meluruskan itu hanya melalui jalan dialog damai, demokratis, dan bermartabat. Negeri ini (Papua-Indonesia) takkan maju, jika kedua belah pihak terus terhantui bayang-bayang sejarah masa lalu dan terhanyut dalam samudra perdebatan yang tak mengenal tepian! Semoga,
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis (LKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, periode 2013-2015.