
Oleh : Nasarudin Sili Luli
EDISI (1) Hari Kemerdekaan : Muda dan Itelektual
Buku ini merupakan perpaduan antara analisis dan perenungan.Nasarudin Sili Luli adalah aktivis,tokoh pemuda yang bertransformasi menjadi pemikir kebangsaan dan kenegaraan ,seiring transformasi gejolak kebangsaan dan politik ganjaran bagi kaum muda di abad 21 .Dua hal ini yang menjadikan buku ini mengandung gagasan yang segar ,cara pembacaan realitas yang baru ,dan itropeksi yang jerni . Dalam konteks itulah negara dan masyarakat harus menyediakan ragam fasilitas yang memungkinkan kaum muda bisa kreatif dan inovatif dalam bidang apapun ;ilmu pengetahuan ,teknologi,seni,organisasi sosial ,dan bisnis .Lalu hasil daya cipta yang mereka lakukan harus mendapat ganjaran ,apakah itu dalam bentuk material atau imaterial .Menggagas narasi kebangsaan dan mengembangkan rasa nasionalisme mesti berangkat dari penghargaan pada hasil daya cipta kaum muda .
Selamat Membaca !
Menjelang kematiannya pada 1873, pujangga agung Keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita, menulis puisi ratapan, “Serat Kalatidha” (Puisi Zaman Keraguan).
Bait pertama puisi tersebut bersaksi, “Kilau derajat negara lenyap dari pandangan. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan keteladan. Para cerdik pandai terbawa arus zaman keraguan. Segala hal makin gelap. Dunia tenggelam dalam kesuraman”.
Menulis dalam majalah pengobar kemajuan, Bintang Hindia (volume no. 14/1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan âkaoem moedaâ sebagai âsemua orang Hindia (muda atau tua) yang tak lagi berkeinginan untuk mengikuti atoeran koeno, namun sebaliknya bersemangat untuk mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmoeâ.
Sejak itu, istilah kaum muda atau pemuda selalu dirapatkan dengan kualitas pengetahuan/keterpelajaran seperti tecermin dalam kemunculan entitas âpemuda-pelajarâ. Istilah Belanda âjongâ, yang kerap digunakan untuk menamai satuan-satuan organisasi pemuda-pelajar pada dekade awal abad ke-20, tidak merujuk pada sembarang pemuda, melainkan memiliki konotasi khusus pada âyang muda–yang terpelajar–yang berilmuâ. Jenis pemuda macam inilah yang kemudian melahirkan âSumpah Pemudaâ pada 28 Oktober 1928, sebagai tonggak penciptaan kebangsaan Indonesia.
Dengan modal pengetahuannya, kaum muda menjebol kelembaman kaum tua dengan âmenemukanâ politik. Bukan saja, hingga awal abad ke-20, bahasa Melayu-Indonesia tidak memiliki kata yang spesifik untuk âpolitikâ; tetapi yang lebih penting, lewat proses mimikri dari subjek-subjek kolonial, mereka mulai merumuskan visi dan ideologi politik-perjuangan.
Yang diperjuangkan oleh pergerakan kaum muda adalah kemerdekaan bangsa. Dalam alam pemikiran keindonesiaan, kemerdekaan pun mengandung prasyarat pengetahuan. Kata âmerdekaâ sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Kawi/ Sansekerta âmaharddhikaâ, yang berarti “rahib/biku” atau “keramat, sangat bijaksana/berilmu (alim). Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi), kata ini sering dinisbahkan kepada para “pandita” atau biku Buddha, yang karena keluhuran ilmu dan kebijaksanaannya menduduki stratifikasi sosial yang tinggi. Ditinjau dari sudut ini, perjuangan kemerdekaan merefleksikan cita-cita emansipatoris untuk membebaskan diri dari pelbagai bentuk ketidakadilan dalam distribusi kehormatan dan pemilikan dengan memperkuat modal pengetahuan/kebijaksanaan.
Dengan kesadaran penuh akan kemuliaan pengetahuan/kebijaksanaan itu pula gagasan kedaulatan rakyat hendak dibumikan. Demokrasi yang diidealisasikan oleh para pendiri bangsa tidaklah disandarkan pada legitimasi suara mayoritas, melainkan pada daya-daya deliberatif (permusyawaratan) dengan mengandalkan kekuatan rasionalitas-keilmuan dan kebijaksanaan.
Sila keempat Pancasila, âKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilanâ mengandung beberapa ciri dari alam pemikiran demokrasi di Indonesia: cita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan.
Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik; dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya âkesederajatan/persamaan dalam perbedaanâ.
Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Orientasi etis ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan dikendalikan oleh âmayorokrasiâ dan âminorokrasiâ.
Ketika kekuatan argumentasi (hikmat-kebijaksanaan) berhenti, yang akan berlangsung adalah dua kemungkingan yang destruktif. Pertama, toleransi negatif yang mengarah pada politik dagang sapi untuk kepentingan jangka pendek. Kedua, âkekuatan logikaâ akan digantikan âlogika kekuatanâ yang menutup proyek demokrasi dengan konflik-anarkisme di jalanan.
Pada titik inilah, titik genting perkembangan demokrasi di Indonesia. Bahwa, gelombang pasang kebebasan demokratis di Indonesia beriringan dengan gelombang surut modal pengetahuan. Tingkat keberaksaraan dan keluasan erudisi manusia Indonesia saat ini mendapatkan ancaman dari pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis. Universitas dan lembaga pendidikan lainnya sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyedian instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis. Politik tidak dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan, melainkan oleh kekuatan pragmatisme dan uang.
Usaha apa pun untuk memancangkan kembali marwah keindonesiaan harus mempertimbangkan fitrah keindonesiaan yang perjuangan emansipasi berbasis daya muda dan daya pengetahuan. Untuk itu, Hari Kemerdekaan harus dijadikan momentum untuk memulihkan kembali etos kaum muda, kaum yang ingin mencapai rasa percaya diri dan kemajuan melalui kekuatan pengetahuan.
Apa yang tersisa ?
Benedict Andreson memaknai nasionalisme sebagai komunitas yang di imajinasikan atau di bayangkan sebagai satu kesatuan .orang yang menetap di suatu wilayah merasa diri jadi bagian dari apa yang di sebut sebagai bangsa,walaupun diantara mereka ada perbedaan bahasa,etnis,agama,dan kebudayaan.Mengapa mereka mempunyai emosi kolektif yang sama ?rasa kebangsaan bukan emosi yang dengan sendirinya suda ada dalam reprsentasi kolektif .Ada dua hal yang memungkinkan kesadaran kolektif .
Pertama ,adanya perasaan senasib yang di alami warga komunitas karena dijajah atau di dominasi komunitas lain .Perasaan disuboordinasi inilah yang mendorong mereka melakukan perlawanan .Terbentuknya nasionalsme Indonesia berada dalam kategori ini.
Kedua ,terbentuk dalam komunitas karena bisa menjajah ,mengembangkan teknologi dan ekonomi,atau secarah kultural menjadi rujukan komunitas lain.Kebangkitan nasionalisme di sebagian Eropa Barat berada pada golongan ini juga nasionalisme Amerika Serikat di dorong keunggulan ekonomi dan teknologi .Walau Boedi Oetomo di anggap organisasi elit Jawa,para pendirinya adalah kaum muda .Dengan demikian juga dengan organisasi-organisasi sosial âpolitik paska Boedi Oetomo di bentuk dan di pimpin kaum muda menjadi korban dan pengorbanan itu tanpa dilandasi sikap pamrih.
  Namun sesuda dekde republik ini berkibar ,kaum muda pula yang pertama-pertama didakwah bawa patriotisme mereka telah luntur ,di tuduh bergaya hidup hura-hura ,pragmatis ,individualistic,hedonis dam materealistis .
  Saat bangsa kita masih dijajah .merasa bernasib sama sebagai orang-orang yang disubordinasikan mereka berupaya agar jadi bangsa yang tidak dieksploitasi .Muncul rasa kebangsaan untuk mengusir kaum penjajah .Kita dapat memperkirakan ,kaum muda sekrangpun bila mereka hidup di masa lalu akan berjuang untuk menghapus sistem kolonialisme yang menindas itu.
Politik Penghargaan
Namun ,keadaan suda berbeda ,Persoalan yang di hadapi kaum muda pada era milinium baru ini ialah persaingan teknologi,ekonomi dan budaya pada tataran global .Kini teknologi berkembang pesat dan terus berubah .Ekonomi pasar menerabas batas geografis ,administrative dan politik negara bangsa.Indonesia juga suda menjadi bagian dari proses globalisasi ,kita suda masuk dan mengoperasikan teknologi informatika .bahakan sampai pada tingkat entitas rumah tangga dan perseorangan (televise,internet ,dan seluler). Demi kian juga dengan pasar ekonomi :banjir produk pangan,sandang,serta kebutuhan dan rumah tangga buatan luar negeri telah sampai masuk ke pelosok desa.Cara berpakaian,menikmati hiburan,dan selerah makanan yang merupakan bagian dari gaya hidup budaya populer di antara penduduk desa dan kota sekrang ini suda tidak begitu jauh berbeda .
Akan tetapi kelihatanya ,bangsa kita memakai analogi tranfusi dara masih sekedar resipien (penerima) ,bukan donor (pemberi).Dalam globalisasi ini kita hanya menerima dan melaksanakan segalah apa yang masuk dari luar ,tidak begitu banyak berkontribusi.Kebijakan pemerintah dalam globalisasi juga lebih mendorong pada posisi resipien ini.
Sangat sedikit upaya pemerintah menyediakan prasarana dan sarana yang yang memungkinkan kaum muda bertindak inovatif dan kreatif .Kalo ada diantara kaum muda kita yang ââpintar ââmenjuarai olimpiade internasional untuk ilmu-ilmu dasar dan teknologi ,adakah penghargaan atau reward (hadia)material psikologis ,sosial yang mereka terima dan dapat di banggagakan ?mengingat posisi kita lebih sebagai resipien ,bukan donor dalam proses globalisasi ini,jadinya kita kurang memiliki ââkebanggaan .Sangat kurang ragam teknologi,komoditas ekonomi,dan gaya hidup yang berasal dari hasil daya cipta bangsa indonesia .Padahal kebanggaan adalah salah satu prasyarat bertahan dan berkembangnya nasionalisme . Dalam konteks itulah negara dan masyarakat harus menyediakan ragam fasilitas yang memungkinkan kaum muda bisa kreatif dan inovatif dalam bidang apapun ;ilmu pengetahuan ,teknologi,seni,organisasi sosial ,dan bisnis .Lalu hasil daya cipta yang mereka lakukan harus mendapat ganjaran ,apakah itu dalam bentuk material atau imaterial .Menggagas narasi kebangsaan dan mengembangkan rasa nasionalisme mesti berangkat dari penghargaan pada hasil daya cipta kaum muda.
Penulis Adalah Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan