Beranda News Mengenang Aksi Lompat Pagar di Kedubes AS

Mengenang Aksi Lompat Pagar di Kedubes AS

435
Thomas Ch Syufi. (Foto: Dok pribadinya)

Oleh Thomas Ch Syufi*

Pada suatu siang, saya mendengar sebuah cerita menarik dari seorang sahabat dan juga mantan aktivis Timor Timur, yang pernah bersama 28 rekannya melakukan gerakan heroik dan monumental, sekaligus menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Timor Timur(kini Timor Leste), yakni aksi lompat pagar di Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, di Jakarta.

Gerudukan itu dilangsungkan saat digelar KTT APEC atau Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik(Asia-Pacific Economic Coorperation), 15-16 November 1994 di Bogor, Jawa Barat, yang dihadiri para pemimpin dari negara-negara APEC, antara lain, PM Jepang Tomiichi Murayama, PM Australia Paul Keating, Presiden Filipina Fidel Ramos, Presiden Tiongkok Jiang Zemin, Presiden Meksiko Carlos Salinas, Presiden Chili Eduardo Frei Ruiz-Tagle, dan Presiden Indonesia Soeharto, termasuk Bill Clinton, presiden AS.

Sahabat yang ketika itu melakukan perjalanan pulang dari Dhaka, Bangladesh ke Dili, ibu kota Timor Leste dengan singgah di Jakarta selama hampir sepekan. Di situlah kami berkenalan lebih dekat setelah sebelumnya kami hanya saling kenal melalui media sosial. Sosok yang kini menjadi Konsul Jenderal(Konjen) Republik Demokratik Timor Leste(RDTL) di Sidney, Australia, itu bernama Luciano Romano Valentim da Conceicao atau “Timor Maubere”. Di Jakarta, kami saling berkenalan lebih dekat dan hubungan kami makin akrab(pribadi). Atas keakraban hubungan itu, membuat kami pun bebas bercerita tentang banyak hal, termasuk ia berkisah tentang aksi mereka (29 aktivis mahasiswa Timor Timur) melompat pagar Kedubes AS di Jakarta (1994), pejuangannya di panggung diplomasi dengan mengintari Eropa, Afrika, dan Amerika Latin(1995-1999). Ia juga mengulas soal sejarah rakyat Timor Timor menanamkan bibit nasionalisme, menenun persatuan, dan berjuang merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonialisme Portugis selama sekitar 400 tahun(1702-1975) dan Indonesia 24 tahun (1975-1999). Rasa-rasa benar adanya, bila masyarakat makin ditindas, makin terasa betapa cintanya akan kebebasan.

Namun, merasa masih muda dan belum memiliki pengalaman yang cukup, apalagi urusan politik dan diplomasi, saya memilih lebih banyak mendengar daripada berbicara. Saat itu saya merasa momentum paling penting dan terhormat, karena saya bisa berkesempatan bertemu dan berbagi cerita dengan seorang tokoh hebat(meski tidak setenar dalam masyarakat global, seperti seniornya; Jose Manuel Ramos-Horta dan Mari Alkatiri), yang pada zaman perjuangan menjadi diplomat di pengasingan, hingga ikut mencetuskan kemerdekaan Timor Timur.

Selama kami bersama di Jakarta, benak saya ibarat kertas kosong yang siap menampung segala cerita tentang pengalaman menarik dan romantik dari pria yang pernah menggebuk Presiden Soeharto dengan koran di Kota Dresden, Jerman Timur tahun 1995, ketika Soeharto melakukan lawatan kenegaraan bersama romobongan, termasuk Menteri Luar Negeri Ali Alatas di “Negeri Hitler” , itu.
Luciano pun mulai bercerita bahwa tumpuan utama aksi demonstrasi mereka di Kedubes AS adalah mencari perhatikan kepada para pemimpin dari negara-negara Asia Pasifik, termasuk Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, yang tengah hadir di KTT APEC, di Bogor. Dan sekaligus mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta suaka politik ke luar negeri. Dalam aksi tersebut, tiga orang aktivis, termasuk “Timor Maubere” berhasil lolos melompati pagar dan masuk ke dalam kedutaan besar AS. “Waktu itu, kami tiga orang yang berhasil lompat pagar masuk ke dalam Kedutaan Besar dan kami rencana harus mengorbankan salah satu rekan di antara kami bertiga untuk menjadi tumbal, entah saya atau kedua teman yang lain, dengan cara meracuni. Biar ada yang mati dalam Kedubes, agar isu Timor Timur makin mencuat ke permukaan, hingga menarik perhatian semua pemimpin Asia Pasifik yang sedang mengikuti KTT APEC di Bogor,” begitu kenang Luciano. Menurut Luciano, juru bicara mereka saat melakukan aksi di Kedubes AS, itu adalah Domingo Sarmento Alves, mahasiswa jurusan psikologi perburuhan dan organisasi, di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. “ Iya, Domingo Alves yang dipercayakan menjadi juru bicara kami waktu itu, dan setelah Timor Timur memperoleh kemerdekaan, dia(Alves) ditunjuk menjadi Duta Besar Timor Leste untuk Jepang, kemudian Duta Besar untuk Amerika Serikat,” kata Luciano.
Peristiwa aksi lompat pagar itu membuat ketar-ketir dan mengganggu konsentrasi para pejabat Istana, termasuk Presiden Soeharto di tengah penyelenggaraan KTT APEC tersebut. Soeharto pun segera memerintahkan Menteri Luar Negeri Ali Alatas untuk mengoordinasikan hal tersebut dengan para pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat dan sejumlah kedutaan besar negara sahabat lainnya di Jakarta, untuk bisa membantu menerima aspirasi para pemuda Timor Leste yang meminta suaka politik ke berbagai negara yang dituju mereka, supaya tidak mengganggu kondusifitas KTT APEC yang tengah berlangsung dan juga tidak terkesan buruk terhadap reputasi Indonesia di mata para pemimpin negara-negara sahabatnya. Akhirnya, beberapa kedutaan besar, seperti Kedutaan Besar Portugal, Jerman, dan Inggris mengabulkan permohonan suaka politik para pemuda Timor Timur, itu.
Meski mereka telah mendapat jawaban positif atas permintaan suaka politik oleh sejumlah kedutaan besar negara-negara asing di Jakarta, tetapi aksi mereka itu sudah telanjur menyebar ke mana-mana, bahkan hingga terdengar oleh para Kepala Negara Asia Pasifik yang mengikuti KTT APEC di Bogor. Informasi itu disiarkan oleh berbagai media nasional dan internasional, termasuk diberitakan koran the Jakarta Post, dan Tempo atau Gatra. Dan, tentu insiden tersebut juga dilaporkan secara langsung oleh para Duta Besar dari setiap negara APEC di Jakarta kepada para pemimpinnya: kepala negara dan kepala pemerintahan yang hadir di KTT APEC.
Apa jadinya, setelah Soeharto lengser dari kursi presiden RI, 21 Mei 1998, setelah 32 tahun ia berkuasa, tekanan dunia internasional makin keras muncul dari berbagai arah, termasuk dari “Negeri Paman Sam” di bawah Presiden Bill Clinton tentang masalah pelanggaran hak asasi manusia(HAM) di Timor Timur, sekaligus mendesak pemerintah Indonesia segera menggelar referendum sebagai solusi demokratis bagi penyelesaian konflik 24 tahun di bekas provinsi ke-27 RI tersebut. Dan, BJ Habibie yang baru saja menjabat presiden di era transisi menggantikan Soeharto terpaksa mengajukan proposal referendum ke PBB dan disetujui badan perdamaian dunia itu. Hasilnya, 78,5 persen rakyat Timor Timur memilih merdeka dari Indoenesia dan 21,5 persen suara pro-integrasi, Indonesia. Akhirnya, semanis apa pun pamitan(farewell), yang namanya perpisahan adalah hal yang paling menyakitkan. Itulah perpisahan yang menyenangkan, juga menyakitkan antara Timor Leste dan Indonesia, di ujung pesta jajak pendapat(plebisit), yang membuat Indonesia mendapat banjiran pujian dan pengakuan dari masyarakat internasional, termasuk Inggris, AS, dan Australia. Mereka mengaku Indonesia sebagai negara yang demokratis dan layak menjadi salah satu negara dengan eksperimen demokrasi terbaik untuk negara-negara Asia Tenggara di masa depan.

Memang, Timor Timur harus merdeka, karena selama 24 tahun pemerintah Indonesia mensimplikasi persoalan di negeri yang kini berganti nama menjadi Timor Leste, itu sebagai hal minor yang bisa diselesaikan secara internal, dalam negeri Indonesia. Padahal, secara faktual, pemerintah Indonesia telah mengetahui bahwa masalah Timor Timur sudah merebak ke mana-mana, menjadi sorotan masyarakat internasional, termasuk di berbagai forum resmi, seperti Komisi HAM PBB, Parlemen Eropa, Inter-Parlementary Union(IPU), dan Mejalis Umum PBB. Presiden BJ Habibie mempertahankan pilihannya dengan menjatuhkan referendum kepada Timor Timur merupakan jalan terbaik. Sebab, menurut Habibie, negoisiasi masalah Timur Timur yang berlangsung di New York(PBB) sudah selling-off, sudah melewati rambu-rambu. Keputusan itu diambil juga karena atas keyakinan Habibie dan bisikan Badan Intelejen Negara(BIN) bahwa pihak pro-integrasi(Indonesia) akan menang dalam referendum nanti. Namun, semua keyakinan itu menjadi sirna, hasil jajak pendapat terjadi di luar dugaan, tidak memihak kepada Indonesia, yakni sebagian besar rakyat Timor Timur memilih merdeka.

Itulah konsekuensi yang harus diterima oleh Indonesia, setelah kelompok pro-kemerdekaan memenangkan jajak pendapat di Timor Timur. Karena, tampak pemerintah Indonesia lalai dan sengaja tidak mau menyelesaikan persoalan Timor Timur melalui jalan dialog sebagaimana ditawarkan oleh Portugal tahun 1986- 1987. Juga pemerintah Indonesia bersikap antagonistis; ingin agar persoalan Timor Timur segera diselesaikan, namun di sisi lain, Indonesia sendiri tidak mau menerima proposal Portugal yang mengusulkan akses atas kunjungan pejabat asing ke Timor Timor, seperti pejabat PBB, Misi Parlemen yang mewakili semua partai politik dalam parlemen Portugal(diikutsertakan wartawan asing). Portugal juga mengusulkan agar Jose Ramos-Horta(aktivis Fretilin di luar negeri) diizinkan bekunjung ke Timor Timur untuk memantau situasi dan bertemu dengan para pemimpin gerilyawan Front Revolusi untuk Pembebasan Timor Leste(Fretilin), agar ia dapat memberikan kontribusi ke arah penyelesaikan.

Sebelumnya, pada 30 April 1987, Sekjen PBB, Javier Perez de Quellar(1920-2020) asal Peru, berkunjung ke Portugal, mengadakan pembicaraan dengan Presiden Portugal Mario Soares dan Menteri Luar Negerinya, Jaime Gama. Dari hasil pembicaraan tersebut, Portugal menghendaki Sekjen PBB memediasi atau menaungi perundingan langsung Indonesia-Portugal untuk membahas persoalan Timor Timur ke arah penyelesaian. Namun, semua hasrat yang disampaikan oleh Portugal, yang masih sebagai penguasa sah secara hukum internasional atas Timor Timur, itu tidak dapat digubris oleh Jakarta. Mengapa Indonesia tidak mau berdialog? Tentu, ada dua alasan yang mendasari itu.

Pertama, adalah pemerintah Indonesia merasa telah memperoleh sebuah kemenangan di KTT Gerakan Non-Blok(GNB) ke-7 di New Delhi, India, pada 7-12 Maret 1983. Di forum itu terjadi pertarungan sengit antara diplomat Indonesia dan Portugal serta masing-masing dengan negara sahabat dan pendukungnya tentang status Timor Timur dalam komunike yang akan dilahirkan. Akhirnya, Indonesia sukses melobi India sebagai Ketua GNB sekaligus tuan rumah KTT GNB untuk tidak mengeluarkan pernyataan tentang Timor Timur. Dan, pemerintah Indonesia merasa tidak penting lagi berdialog dengan Portugal, tetapi melanjutkan perjuangan di Majelis Umum PBB. Pemerintah Indonesia berekspektasi agar MU PBB akan menghapus persoalan Timor Timur dari agenda PBB , dan itu akan memperoleh dukungan sangat besar dari negara-negara anggota PBB. Sehingga dapat dicapai penyelesaian konflik Timor Timur, yang dapat diterima masyarakat internasional, termasuk sebagai solusi terhormat bagi Portugal.

Kedua, pemerintah Indonesia tidak meladeni keinginan Portugal untuk berdialog langsung tentang status politik Timor Timur, yang dimediasi oleh PBB, karena dikhawatirkan Fretilin sebagai organisasi perjuangan pembebasan rakyat Timor Timur akan diakui PBB sebagai wadah resmi. Hal ini akan merepotkan posisi Indonesia dalam percaturan politik global, karena Indonesia telah menuduh dan menstigmatisas Fretilin sebagai organisasi ilegal, gerakan separatis, pro- komunis, dan Gerakan Pengacau Keamanan(GPK). Bila Fretilin diakui PBB, maka pemerintah Indonesia dan Fretilin akan memiliki derajat yang setara, sama-sama sebagai subjek hukum internasional, hingga mendapat penghormatan dan perlakuan yang sama juga di panggung internasional. Itu akan merugikan Indonesia secara politik.

Akan tetapi, semua langkah yang ditempuh Indonesia seperti simalakama. Dilematis! Membuka ruang dialog, segala borok tentang invasi militer Indonesia yang berekses pada pelanggaran hak asasi manusia(HAM) di “Bumi Lorosae”, itu akan terkuak ke permukaan. Sebaliknya, tidak membuka keran dialog pun kebenaran yang terkubur di atas tumpukan kebohongan itu akan berubah menjadi “kanker ganas” yang merusak seluruh tubuh republik.

Seandainya, ketika itu pemerintah Indonesia berani menerima proposal Portugal untuk mengizinkan para pejabat PBB atau Parlemen Portugal berkunjung ke Timor Timur. Juga termasuk mengindahkan saran dari Nelson Mandela pada medio 1990-an bahwa untuk mengakhiri konflik Timor Timur, pemerintah Indonesia hanya bisa berdialog dengan pemimpin politik rakyat Timor Timur, yaitu Xanana Gusmao(yang dipenjara di LP Cipinang, Jakarta), tentu akan mengikis segala kecurigaan dan kekhawatiran yang kian melebar dari masyarakat internasional terhadap pemerintah Indonesia atas masalah Timor Timur.

Namun, sikap Indonesia yang tak pernah terbuka itulah yang mengundang reaksi dan tekanan internasional makin keras tentang masalah Timor Timur, seperti banjir bandang yang menyapu habis daratan republik dengan membawa negara demokrasi termuda di Asia yang lahir pada awal abad ke-21, itu pergi untuk selamanya, melalui proses referendum, 30 Agustus 1999. Selain itu, terjadi distorsi antara fakta di lapangan dengan laporan yang diterima oleh para diplomat Indonesia yang terus berjuang dengan gigih di forum PBB untuk mempertahankan Timor Timur tetap dalam NKRI. Diplomat Indonesia ternyata tidak menghadapi lawan yang mudah dikalahkan. Jose Ramos-Horta, seorang aktivis Fretilin di luar negeri yang gencar melakukan kampanye anti-Indonesia tentang invasi militer Indonesia dan pelanggaran HAM di Timor Timur. Juga, opini publik (public opinion) telah dibangun Portugal dan negara-negara sekutunya tentang pelanggaran HAM di Timor Timur. Sebagaimana dikatakan Nana Sutresna, seorang diplomat senior Indonesia dalam bukunya, “Otobiografi Nana Sutresna, Jejek Seorang Diplomat”(2009), bahwa pelanggaran HAM di Timor Timur memang telah mencapai tahap di luar kewajaran.

”Dunia luar mengetahui itu(pelanggaran HAM)), tetapi kita sendiri(Indonesia) tidak mengetahuinya. Misalnya, ketika terjadi pembantaian di Santa Cruz, semua informasi yang diterima dari Jakarta tentang kasus Santa Cruz sangat bertolak belakang dengan laporan pers asing di media mereka. Semua bahan suplay informasi itu memang dari Departemen Luar Negeri, namun Deplu sendiri memperoleh informasi tersebut dari pihak intejelen,” kata Nana Sutresna—yang pernah menjabat Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk PBB—merangkap Bahamas, Jamaika, dan Nikaragua(1988-1992), serta Dubes LBBP RI untuk Inggris Raya dan Irlandia kurun 1999-2002. Nana mengatakan, perwakilan Indonesia di luar negeri tidak dibekali fakta mengenai sesuatu insiden.

“Menurut yang saya dengar dari wakil tetap kita(Indonesia) di PBB, Anwar Sani, para diplomat kita di sana tidak jarang diberi informasi yang tidak benar. Artinya, para diplomat(perwakilan Indonesia di PBB), itu dibohongi dengan bahan-bahan yang diberikan telah dimanipulasi,” ujar Ketua Delegasi RI pada Konferensi Pelucutan Senjata di Jenewa, Swiss(1981-1983) dan Dirjen Politik Deplu(1983-1988), itu. Namun, semua itu sudah terjadi dan berlalu. Tidak mungkin lagi untuk mengubah masa lalu, tetapi masa lalu hanyaa bisa menjadi pelajaran berharga untuk mengubah(atau membangun) masa depan yang lebih baik . Begitulah manusia, sering menyadari sebuah kebenaran ketika waktunya sudah terlambat.

G20 dan isu HAM Papua

Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi(KTT) Kelompok Duapuluh atau Group of Twenty(G20), yang direncanya akan digelar di Nusa Dua, Bali, September 2022 mendatang(tegantung pada normalisasi situasi invasi Rusia ke Ukraina). Hal itu sesuai kesepakatan KTT G20 di Roma, Italia, 30-31 Oktober tahun 2021 lalu, yang mana Italia sebagai ketua sekaligus tuan rumah KTT G20. Kelompok Duapuluh atau G20 adalah kelompok yang terdiri dari 19 negara dengan perekonomian besar di dunia, antara lain, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Australia, Italia, Jerman, Cina, Kanada, Jepang, Arab Saudi, Inggris, Argentina, Australia, Brasil, Indonesia, dan ditambah dengan satu organisasi antar-pemerintahan dan supranasional, yaitu Uni Eropa.
Namun, sebelum proses penyelenggaran KTT G20 di Bali pada September mendatang, berbagai pihak, terutama para pemimpin Pasifik telah menyinggung tentang isu pelanggaran hak asasi manusia(HAM) di Tanah Papua, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. Para pemimpin Pasifik itu mendesak pemerintah Indonesia segera mengizinkan Kantor Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB), untuk kunjungi Tanah Papua, sebelum pertemuan para petinggi dari berbagai negara yang terhimpun dalam G20, di Bali nanti. Tujuannya agar hasil penyelidikan tentang situasi HAM di Tanah Papua oleh badan HAM PBB tersebut juga bisa menjadi rekomendasi dan bahan pertimbangan di KTT G20.

Para tokoh senior Pasifik yang terjadiri dari Hilde Heine(mantan Presiden Republik Kepulauan Marshall), Thomas Ramengesau(mantan Presiden Republik Kiribati), Emele Sopoaga(mantan Perdana Menteri Tuvalu), Dame Meg Taylor(mantan Sekjen PIF), Robert Underwood(mantan Kongres AS dan Presiden Univerity of Guam), dan Kaliopate Tavola(Duta Besar dan mantan Menteri di Fiji), itu mengeluarkan sebuah surat penyataan. Esensi dari surat pernyataan yang diterbitkan tanggal 21 April 2022 tersebut, mereka memohon pemerintah Indonesia dapat memperbolehkan kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke Tanah Papua atas sejumlah laporan mutakhir yang memperlihatkan semakin memburuknya situasi hak asasi manusia di Papua, seperti eksekusi ekstra yudisial, penghilangan paksa, dan masifnya pengungsiaan internal orang Papua. Desakan para sesepuh Pasifik itu mengingatkan kembali Komunike bersama para pemimpin negara-negara Pasifik yang terhimpun dalam Forum Kepulauan Pasifik atau Pacific Islands Forum(PIF) di Tuvalu 2019, silam. Yang mana, PIF sangat menyambut baik undangan Indonesia untuk misi ke Papua oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB. Komunike sangat mendorong agar sebelum pertemuan PIF berikutnya pada tahun 2020, kedua pihak untuk menyelesaikan waktu kunjungan dan membuat laporan informasi yang berbasis bukti tentang situasi HAM di Tanah Papua, untuk diberikan pada pertemuan PIF 2020.

Permintaan kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke Tanah Papua, dengan tujuan agar PBB sendiri memastikan tentang situasi dan dinamika hak asasi manusia di Tanah Papua. Melalui kunjungan itu, para observer Komisoner Tinggi HAM PBB bisa membandingkan secara langsung antara data atau laporan yang diperoleh dengan fakta di lapangan. Bahkan, memburuknya situasi HAM di Papua juga telah menjadi sorotan Komisioner Tinggi HAM PBB itu sendiri dan mereka meminta Pemerintah Indonesia segera menjawab pertanyaan dan mengatasi hal tersebut.

“Dugaan pelanggaran HAM itu di antaranya pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan, dan pemindahan massal orang, sedikitanya 5.000 penduduk asli Papua oleh pasukan keamanan. Pengungsi di Papua dan Papua Barat mencapai 60.000-100.000 orang sejak eskalasi kekerasaan pada Desember 2018. Mayoritas pengungsi itu belum bisa kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan yang ketat dan bentrokan senjata antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka(TPNPB-OPM) terus terjadi di daeran konflik. Beberapa pengungsi juga tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi itu juga melarikan diri ke hutan tanpa akses makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan”(Kompas, 3 Maret 2022). Itulah sedikit potret buramanya situasi hak asasi manusia di Tanah Papua kurun tiga tahun terakhir(2018-2022).

Belum lagi, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak Papua dimasukan ke NKRI, 1 Mei 1963, hingga sekarang, sekitar ratusan ribu-jutaan orang Papua telah mati dibunuh oleh militer Indonesia. Dan yang bisa memastikan objektivitas dari data para korban pelanggaran HAM di Papua selama 50 tahun lebih Papua menjadi bagian dari Indonesia, tidak hanya datang dari pihak korban(rakyat Papua) sendiri, apalagi jawaban atau keterangan sepihak dari pihak yang diduga atau dituduh melakukan pelanggaran HAM, yakni pemerintah Indonesia. Tetapi, pengamatan dan penyelidikan terhadap kasus pelanggaan HAM di Papua harus dilakukan oleh pihak atau badan resmi yang independen dan imparsial, dengan memiliki reputasi dan kredibilitas internasional, yaitu Komisioner Tinggi HAM PBB. Kalau pemerintah Indonesia belum bisa mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke Tanah Papua, sebagaimana telah didesak oleh berbagai pihak, baik PIF, Melanesian Spearhead Group(MSG), kelompok negara Afrika, Karibia, dan Pasifik(ACP), Parlemen Uni Eropa, Parlemen Belanda, termasuk Komisi HAM PBB. Itu sama halnya pemerintah Indonesia sendiri tengah sengaja melapangkan jalan untuk mengulangi sejarah kelam Timor Timur untuk terjadi lagi Tanah Papua. Apalagi permintaan kunjungan tersebut harus dilakukan sebelum digelarnya KTT G20 di Bali, September mendatang. Sebab, mata dunia, termasuk para aktivis, politisi, dan negara-negara penduli HAM Papua, baik di Oseania, Afrika, Karibia, maupun Eropa akan tertuju ke KTT G20 di Bali, sekaligus mereka akan melihat apakah langit Indonesia sudah bersih dari segala persoalan HAM atau masih menggantung awan gelap problem kemanusiaan di Tanah Papua? Kelompok pemerhati isu HAM Papua akan memberikan tekanan keras kepada 19 pemimpin atau perwakilan dari negara-negara G20 yang akan hadir di KTT G20, perihal memburuknya situasi HAM di Tanah Papua. Mereka meminta para pemimpin G20 untuk dapat melihat dan membantu menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua, yang terjadi selama lebih dari 50 tahun Papua menjadi bagian dari Indonesia.

Bahkan, peristiwa aksi lompat pagar 28 tahun lalu oleh 29 aktivis mahasiswa Timor Timur di Kedutaan Besar AS, di Jakarta, bisa terjadi lagi oleh aktivis mahasiswa Papua, di tengah penyelenggaraan KTT G20 di Bali nanti. Juga sejumlah Konsulat dari negara-negara G20 yang ada di Bali serta beberapa kota studi di seluruh Indonesia akan digeruduk anak-anak muda Papua, demi menuntut penyelesaian masalah status politik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Dan, bila itu terjadi, akan menyedot perhatian para pemimpin atau wakil dari negara-negara G20, hingga menggerus reputasi serta mengancam eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat, yang menganut sistem politik demokrasi sekaligus telah meratifikasi Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948, melalui UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jadi, tekanan dan intervensi dunia internasional bisa terjadi kapan saja, bila pemerintah Indonesia masih terus larut dan lalai dalam menyelesaikan kemelut kemanusiaan di Tanah Papua, termasuk tidak mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung ke “Bumi Cenderawasih”. Jadi, HAM juga bisa menjadi “pintu” masuk kemerdekaan Papua, seperti Timor Timur di masa lalu!
Sejarah aksi lompat pagar di Kedutaan Besar AS, pasti akan terulang, meski di garis waktu yang berbeda. Sebab kata pepatah Perancis, l‘histoire se repete, sejarah pasti terulang dengan sendirinya, atau dalam rumusan lain Victor Hugo(1802-1885), pujangga, novelis, dan dramawan Perancis abad ke-19, “Apakah sejarah itu? Pengulangan masa lalu di masa depan; refleksi dari masa depan pada masa lalu.”

Penulis adalah Koordiantor Papuan Observatory for Human Rights(POHR) dan Advokat muda Papua.