Oleh :Nasarudin Sili Luli
Kekuatan uang mengancam masa depan partai dan negara. Jauh-jauh hari, Jurgen Habermas mengingatkan bahwa ruang publik yang sehat harus bebas dari dikte-dikte kuasa uang. Mengapa begitu?
Politik dan republik merupakan ranah publik, adapun dunia usaha merupakan ranah privat. Partai politik diidealisasikan sebagai medium (interface) untuk mengatasi konflik kepentingan antarkekuatan privat yang mengarah pada hukum rimba, dengan jalan memperjuangkan kepentingan kolektif dan kebajikan publik.Ketika partai politik didikte oleh kekuatan uang perorangan, sarana perjuangan kebajikan kolektif dikendalikan oleh kekuatan privat. Kepemimpinan partai yang lebih mengandalkan kemampuan memasok sumber daya materiil ketimbang kapasitas otoritatif akan menghancurkan kekuatan ide (ideologi partai) dan kekuatan pengaderan.Ketika partai menjadi instrumen berbagai kekuatan privat, pembuncahan fragmentasi internal tak terhindarkan, yang akan mengarah pada lumpuhnya solidaritas kolektif. Lumpuhnya solidaritas kolektif akan menyulitkan konsolidasi kepartaian, yang berakibat kemerosotan daya saing dalam kontestasi pemilihan umum Lebih jauh, karena partai merupakan pintu masuk bagi reproduksi kepemimpinan dan kebijakan negara, maka privatisasi kepartaian akan membawa konsekuensi pada privatisasi negara. Res publica (urusan dan kepentingan publik) akan dikolonisasi oleh res privata (urusan dan kepentingan privat). Dalam situasi demikian, politik dan republik akan mengingkari dasar mengadanya sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan umum, menjaga iklim kompetisi yang sehat, serta membela yang lemah; sebaliknya akan ditundukkan oleh kepentingan pribadi, kompetisi yang saling mematikan, serta memihak pada yang kuat.
Eksistensi “partai kuning” (Golkar) sekarang ini berada di lampu kuning seperti itu. Hal pertama dan utama yang ditawarkan oleh ketua barunya bukanlah kekuatan visi dan kapasitas otoritatif dalam kepemimpinan politik, melainkan kekuatan uang. Arena musyawarah nasional (munas) tidak menjadi arena kompetisi pasar gagasan, melainkan semata-mata sebagai arena kompetisi para petaruh di pasar perjudian.Pilkada serentak menjadi ajang jual beli dukungan ,calon yang di usung tanpa melihat rekam jejak dan integritas personal,semua dinafikan demi mahar Asal Bapa Senang (ABS).
Berangkat dari tradisi partai yang dikembangkan para inteligensia sipil dan militer yang relatif berhasil menjaga otoritas kaum inteligensi (political class) terhadap para pengusaha (economic class), kini di ambang sakaratul mautnya ketika kekuatan uang memperhambakan kekuatan ide.Di bawah kendali kaum inteligensia, partai ini sulit keluar dari stigma negatifnya. Sinisme masyarakat terhadap partai ini melukiskannya sebagai “binatang politik”, asal mendapat kekuasaan, sehingga tak memiliki keberanian beroposisi dengan kekuasaan. Namun setidaknya, dalam sejarah panjang kiprahnya, peran politik mereka relatif independen dari dikte-dikte kekuatan privat para pemodal, sehingga masih bisa mempertahankan solidaritas dan kesolidan partai serta relatif memiliki orientasi pada pelayanan umum.
pada kekuatan privat pemodal perorangan. Masing-masing pengurus dan kadernya menjadi bagian dari kepentingan kekuatan privat tertentu, yang melemahkan solidaritas kolektif, melemahkan visi kepartaian, melemahkan perhatiannya pada pengaderan dan jaringan.Dengan diperhambakan uang, partai ini justru terus menunjukkan penurunan kinerja dan dukungan. Tren kekalahan dalam pemilu dan pilkada menjadi bukti. Dengan diperhambakan uang, para pengurus partai lebih berorientasi jangka pendek, menjadikan posisinya bukan demi pembangunan dan penyehatan partai, melainkan demi menimbun pundi-pundi keuangannya sendiri.
Dalam obsesinya untuk tetap berada dalam lingkungan kekuasan, partai ini bahkan tak memiliki harga diri lagi, menyerahkan dirinya pada belas kasih partai pemenang pemilu. Kader-kader partai yang ingin ambil bagian dalam kekuasaan tak lagi mengandalkan kekuatan tawar kepartaian, melainkan dengan mendekatkan diri pada kekuatan pemodal yang punya akses ke pusat kekuasaan.Jika partai ini tidak ingin lekas memasuki museum sejarah, harus ada komitmen besar untuk menjadikannya sebagai partai sungguhan. Partai yang tetap dalam khitahnya sebagai katalis bagi perjuangan aspirasi dan kepentingan kolektif. Partai yang kepemimpinannya didasarkan pada daya otoritatif, bukan semata-mata daya beli.
Penulis:Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan