Oleh :Thomas Ch. Syufi*
Kenyataan demokrasi Indonesia hari ini memang benar-benar berada di jalan simpang atau di ruang kosong. Sebab, riwayat demokrasi kita yang telah dilahirkan 19 tahun silam dengan berbagai cara, entah air mata, keringat, darah, bahkan tak sedikit korban nyawa belum membawa situasi yang adil di negeri ini.
Perihal ini merujuk pada sejumlah peritiswa, demo Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas dugaan penistaan agama, misalnya, yang akhir-akhir ini membuat situasi Indonesia kian gaduh, seperti negara demokrasi tanpa pengawasan hukum atau mirip negara kerumunan liar.Padahal, kejatuhan Orde Baru pada 21 Mei 1998, dipikir semua kesemrawutan, seperti praktik koruptif, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan pemerintahan yang otoriter dan absulut akan ditinggalkan, kita terbang ke awan putih demokrasi yang menjajikan, yakni terwujudnya Indonesia yang adil, damai, dan sejahtera.
Alhasil, harapan itu makin menjauh bahkan menjadi anomali. Rakyat diperhadapkan dengan kepulan asap hitam kebablasan demokrasi yang membumbung tinggi di seantero bumi Indonesia, terutama di DKI. Memang, demokrasi bukanlah tujuan bernegara, tapi sebagai sebuah sistem yang dipilih bangsa ini untuk mewujudkan kehendak bersama, bonum commune, yakni kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Di mana, konsep negara demokrasi menempatkan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sebuah pemerintahan yang diselenggarakan dari dan untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kepetingan sebagian orang, mayoritas atau minoritas. Perlu dikonotasikan demokrasi secara luas dan positif, bukan sekadar dari rakyat, tapi juga untuk keadilan, kesejahteraan, kerukunan, dan kejayaan rakyat.
Demokrasi juga menghendaki adanya partispiasi aktif dan penuh dari seluruh rakyat dalam proses penyelenggaran pemerintahan. Dengan berbagai kajian yang mendalam tentang demokrasi di negara-negara maju dan berkembang, menunjukkan bahwa demokrasi sebagai salah satu cara yang paling baik untuk mewujudkan tujuan bersama, kemajuan bangsa. Hal tersebut dikomparasikan antara negara-negara yang mengadopi sistem demokrasi dan tidak. Hasilnya, negara-negara demokrasi justru lebih maju ketimbang negara bukan demokrasi. Buktinya, Indonesia hari ini jauh lebih maju dalam bidang ekonomi urutan ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India, yakni hampir menembus angka 5, 02 persen ketimbang sebelum Reformasi 1998, ekonomi Indonesia sangat terpuruk hanya berkutat pada angka 3-4 persen.
Pertanyaannya apakah kita mau mengembalikan jarum sejarah ini ke masa-masa kelam Indonesia sebelum reformasi? Tentu tidak. Demokrasi kita ibarat kata taksi argometer yang terus bergerak menuju stasiun kebaikan bersama. Itulah jalan terjal, jalan simpang, sekaligus jalan konsolidasi sejarah demokrasi kita.
Hukum ditegakkan
Apa pun alasannya, kita harus mengakui Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Karena itu, kontitusi sebagai radar demokrasi harus tegas dalam penegakkannya. Polri, hakim, dan jaksa sebagai watchdog (anjing penjaga) hukum harus tegas dalam menerapkan hukum. Tak ada negara hukum tanpa demokrasi, tak ada negara demokrasi tanpa hukum, kedua-duanya saling beriringan atau seperti dua sisi mata uang koin, tak terpisahkan, namun tak juga dipertemukan.
Aristoteles (384-322 SM), filsuf dan murid Plato, menyatakan, “…demokrasi tanpa kontrol hukum akan berubah jadi tirani mayoritas.” Kelompok mayoritas terus mengklaim kebenaran sepihak, bahkan memaksa menjebol tembok hukum. Pengadilan dan penegak hukum dipaksa untuk menuruti kehendak segelintir orang, hingga membuat wajah pengadilan kita menjadi tak puritan, sekaligus terganggu independensinya. Inilah yang disebut pengkhianatan terhadap kewibawaaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, contempt of court….
Ujar-ujaran Aristoteles tersebut telah membawa pesan lanjutan melalui pernyataan Presiden RI Joko Widodo pada acara pengukuhan dan pelantikan pengurus DPP Partai Hanura periode 2016-2020, di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/2/2017). Bahwa demokrasi yang kebablasan dibutuhkan hukum yang tegak (rule of law). Kebablasan demokrasi sangat berpotensi menimbulkan berbagai kejahatan, terutama membuka peluang lahirnya artikulasi politik yang vulgar, seperti esktrimisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, vandalisme, ataupun terorisme.
Semua warga negara mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat di muka umum, baik lisan, tertulis, maupun tindakan. Akan tetapi, semua tindakan ekspresi harus bertanggung jawab serta menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa. Bukan berdemokrasi berarti sebebas-bebasnya bertindak, akan tetapi butuh pertanggung jawaban. Boleh saja bebas, tapi juga menghargai kebasan orang lain, itulah demokrasi yang sejati. Atau lebih tepat mengutip Franklin Delano Roosevelt (1882-1945), presiden ke-32 AS, “Kebebasan tanpa ketertiban ketertiban tanpa kebebasan sama-sama merusak”. Jadi kebebasan dan tanggung jawab (ketertiban) adalah sama-sama penting.
Sebuah negara menjadi baik kembali pada pada proses penegakan hukumnya. Bila proses penerapan hukum lemah, dengan mudah warga negara bisa mengobrak-abrikan hukum sesuai hasratnya. “Kitab suci pun ditafsirkan secara lokalistik dan menurut kepentingan politik mereka,” kata Oesman Sapta, Ketua Umum Partai Gerindra dan Wakil Ketua MPR RI (1999-2004, 2014-2019).
Bahkan, sejumlah anggota DPR RI ramai-ramai ikut merongrong kewibawaan Ahok soal kasus dugaan penistaan agama sekalagus diaktifkan kembali bekas bupati Belitung Timur (2005-2006) itu menjadi gubernur DKI setelah menjalani cuti kampanye, 11 Februari 2017. Padahal, siapa pun orangnya, namanya pejabat negara, entah di level daerah atau nasional, apalagi sebagai anggota DPR RI harus tampil sebagai sosok negarawan yang bisa menyenangkan semua pihak, bukan sibuk membangun isu yang memecah belah kebhinekaan dan merusak semangat sila ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia”.
Eksistensinya di DPR bukan lagi melihat golongan atau kepentingan tertentu, tapi harus melihat Indonesia secara utuh (Merauke-Sabang dan dari Miangas-Rote, serta Islam, Kristen/Katolik dan Protestan, Hindu, ataupun Budha). Setidaknya dalam jiwa dan sanubari para politikus di Senayan harus berkobar semangat keindonesiaan dan kemanusiaan untuk ikut mendukung pemerintah mencarikan jalan keluar atas kemelut yang terjadi, bukan sebaliknya ikut menyampaikan kegaduhan yang memperkusut situasi politik di Tanah Air.
Meskipun sebagai utusan golongan atau partai bernapaskan agama, serta utusan daerah atau pun idelogi tertentu, tapi sudah berada di jabatan publik, yang ada dalam benak kita adalah keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan bangun intrik yang memecah belah kesatuan bangsa.
Proklamator kita Soekarno, pernah mengatakan, “Ini dadaku mana dadamu, jangan saling fitnah dan saling menjatuhkan”. Jangan lagi sengaja mengotori (atau mencederai) demokrasi yang tengah dibangun dengan saling menghina, menjatuhkan, fitnah, mendongkel, apalagi saling meniadakan.
Cukup sudah bangun kepalsuan, kebablasan, atau trik-intrik, menghalalkan segala cara untuk menggapai kepentingan jangka pendek dan pragmatisme semata. Segera menyudahi semua kegaduhan dan friksi dengan mulai menancapkan sebuah spirit solidaritas dan komitmen kolektif bangsa untuk membangun kesolidan dalam berdemokrasi dan kesolidan dalam berindonesia.
If democracy does not bring justice we don’t need democracy, jika demokrasi membawa situasi tidak adil, kita juga tak butuh apa pun dari demokrasi. Akhir kata, “…ni Dieu ni maitre, tanpa Tuhan tanpa tuan”! Semoga.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulisa dalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis (LPKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, Periode 2013-2015.