Beranda News Menyetop Demokrasi Kebablasan

Menyetop Demokrasi Kebablasan

1436
Thomas Ch. Syufi* ( Foto:Dok Pribadi /PapuaLives)

Oleh :Thomas Ch. Syufi*

Kenyataan  demokrasi  Indonesia  hari ini memang benar-benar berada di  jalan simpang  atau di ruang kosong. Sebab, riwayat demokrasi kita  yang telah dilahirkan  19  tahun silam dengan berbagai cara, entah air mata, keringat, darah, bahkan tak sedikit korban nyawa belum membawa situasi  yang  adil  di negeri ini.

Perihal ini merujuk pada sejumlah peritiswa, demo Gubernur  DKI  Basuki  Tjahaja  Purnama alias Ahok atas dugaan penistaan  agama, misalnya,  yang  akhir-akhir ini membuat situasi  Indonesia  kian gaduh,  seperti negara demokrasi tanpa pengawasan hukum atau mirip negara kerumunan  liar.Padahal, kejatuhan Orde Baru  pada  21 Mei  1998, dipikir  semua kesemrawutan,  seperti  praktik koruptif, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan pemerintahan  yang otoriter dan absulut akan ditinggalkan, kita  terbang ke awan putih demokrasi  yang  menjajikan, yakni terwujudnya  Indonesia  yang  adil,  damai, dan sejahtera.

Alhasil, harapan itu makin menjauh  bahkan menjadi anomali. Rakyat  diperhadapkan dengan kepulan asap hitam kebablasan demokrasi  yang  membumbung tinggi  di  seantero bumi  Indonesia,  terutama di  DKI. Memang, demokrasi bukanlah tujuan bernegara, tapi sebagai sebuah sistem  yang dipilih bangsa ini untuk mewujudkan  kehendak  bersama, bonum  commune, yakni kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.

Di  mana, konsep negara demokrasi menempatkan kedaulatan tertinggi ada  di  tangan rakyat. Sebuah pemerintahan  yang  diselenggarakan dari dan untuk seluruh rakyat  Indonesia, bukan untuk kepetingan sebagian  orang, mayoritas atau minoritas. Perlu dikonotasikan demokrasi secara luas dan positif, bukan sekadar dari rakyat, tapi juga untuk keadilan, kesejahteraan,  kerukunan, dan kejayaan rakyat.

Demokrasi juga menghendaki adanya partispiasi aktif dan penuh dari seluruh rakyat dalam proses penyelenggaran pemerintahan.  Dengan berbagai kajian yang  mendalam tentang demokrasi  di  negara-negara maju dan berkembang,  menunjukkan bahwa demokrasi sebagai salah satu cara  yang  paling baik untuk mewujudkan tujuan bersama,  kemajuan  bangsa. Hal  tersebut dikomparasikan  antara negara-negara  yang mengadopi  sistem demokrasi dan tidak. Hasilnya, negara-negara demokrasi justru lebih maju ketimbang negara bukan demokrasi.  Buktinya,  Indonesia  hari ini jauh lebih maju dalam bidang ekonomi urutan ketiga  di  dunia  setelah Tiongkok dan India,  yakni  hampir  menembus angka  5, 02  persen  ketimbang  sebelum  Reformasi 1998, ekonomi  Indonesia sangat terpuruk  hanya  berkutat  pada  angka  3-4  persen.

Pertanyaannya  apakah kita mau mengembalikan jarum sejarah ini ke masa-masa kelam Indonesia sebelum reformasi?  Tentu tidak. Demokrasi kita ibarat kata  taksi  argometer  yang  terus  bergerak  menuju stasiun kebaikan bersama. Itulah jalan terjal, jalan simpang, sekaligus  jalan konsolidasi sejarah  demokrasi  kita.
Hukum  ditegakkan
Apa pun alasannya, kita harus  mengakui  Indonesia  adalah negara hukum sebagaimana termaktub  dalam pasal  1 ayat  3 UUD NRI  1945.  Karena itu,  kontitusi sebagai radar demokrasi harus tegas dalam penegakkannya. Polri,  hakim, dan jaksa sebagai  watchdog  (anjing penjaga) hukum harus tegas  dalam menerapkan  hukum. Tak  ada negara hukum tanpa demokrasi, tak ada negara demokrasi tanpa hukum,  kedua-duanya saling beriringan atau seperti dua sisi mata uang koin, tak terpisahkan, namun tak juga dipertemukan.
Aristoteles (384-322 SM), filsuf dan murid Plato, menyatakan, “…demokrasi tanpa kontrol hukum akan berubah jadi tirani mayoritas.” Kelompok mayoritas terus mengklaim kebenaran sepihak, bahkan memaksa menjebol tembok hukum. Pengadilan dan penegak hukum dipaksa untuk menuruti kehendak segelintir orang, hingga membuat wajah pengadilan kita menjadi tak puritan, sekaligus terganggu independensinya. Inilah yang disebut pengkhianatan terhadap kewibawaaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, contempt of court….

Ujar-ujaran Aristoteles  tersebut  telah  membawa pesan lanjutan  melalui  pernyataan  Presiden RI Joko Widodo  pada  acara pengukuhan  dan  pelantikan  pengurus  DPP  Partai Hanura  periode 2016-2020, di Sentul, Bogor, Jawa Barat,  Rabu  (22/2/2017). Bahwa demokrasi  yang  kebablasan dibutuhkan hukum  yang  tegak (rule  of  law). Kebablasan demokrasi sangat berpotensi menimbulkan berbagai kejahatan,  terutama membuka peluang lahirnya artikulasi politik  yang  vulgar,  seperti esktrimisme,  radikalisme,  fundamentalisme,  sektarianisme, vandalisme,  ataupun  terorisme.
Semua warga negara mempunyai hak untuk  mengemukakan  pendapat  di muka umum, baik lisan, tertulis, maupun tindakan. Akan tetapi, semua tindakan ekspresi harus bertanggung jawab serta menjaga kesatuan  dan keutuhan  bangsa. Bukan berdemokrasi berarti sebebas-bebasnya bertindak,  akan tetapi butuh pertanggung jawaban. Boleh saja bebas, tapi juga menghargai  kebasan  orang  lain,  itulah demokrasi  yang  sejati. Atau lebih tepat  mengutip Franklin Delano  Roosevelt  (1882-1945),  presiden ke-32  AS, “Kebebasan tanpa ketertiban  ketertiban tanpa kebebasan sama-sama merusak”. Jadi kebebasan dan tanggung jawab  (ketertiban) adalah  sama-sama penting.

Sebuah negara menjadi baik kembali pada pada  proses  penegakan hukumnya.  Bila proses penerapan hukum lemah, dengan mudah warga negara bisa mengobrak-abrikan hukum  sesuai hasratnya. “Kitab suci  pun  ditafsirkan secara lokalistik dan menurut kepentingan  politik mereka,” kata Oesman Sapta, Ketua Umum Partai Gerindra dan  Wakil  Ketua  MPR RI (1999-2004, 2014-2019).

Bahkan, sejumlah anggota  DPR RI ramai-ramai ikut merongrong kewibawaan Ahok soal kasus dugaan penistaan  agama  sekalagus diaktifkan kembali bekas  bupati  Belitung  Timur  (2005-2006)  itu  menjadi  gubernur  DKI  setelah menjalani  cuti kampanye,  11  Februari  2017.  Padahal,  siapa  pun  orangnya,  namanya  pejabat negara,  entah  di  level  daerah atau nasional, apalagi sebagai anggota  DPR RI harus tampil sebagai sosok  negarawan  yang  bisa menyenangkan semua pihak, bukan sibuk membangun  isu  yang memecah belah kebhinekaan  dan merusak semangat sila ketiga Pancasila, “Persatuan  Indonesia”.
Eksistensinya  di  DPR bukan lagi melihat golongan atau kepentingan tertentu,  tapi harus melihat  Indonesia  secara utuh (Merauke-Sabang dan dari  Miangas-Rote, serta  Islam, Kristen/Katolik dan Protestan,  Hindu, ataupun Budha). Setidaknya  dalam jiwa dan sanubari para politikus  di Senayan harus berkobar semangat keindonesiaan  dan kemanusiaan untuk ikut mendukung  pemerintah  mencarikan jalan keluar atas kemelut  yang  terjadi,  bukan sebaliknya ikut menyampaikan kegaduhan  yang memperkusut situasi politik  di  Tanah  Air.

Meskipun sebagai utusan golongan  atau  partai  bernapaskan  agama, serta utusan daerah atau pun idelogi tertentu,  tapi  sudah berada  di jabatan publik,  yang  ada dalam benak kita adalah  keadilan,  kesejahteraan,  dan kedamaian untuk seluruh rakyat  Indonesia, bukan bangun intrik  yang memecah belah kesatuan bangsa.

Proklamator  kita Soekarno,  pernah mengatakan, “Ini dadaku mana dadamu, jangan saling fitnah dan saling menjatuhkan”. Jangan lagi sengaja mengotori (atau mencederai) demokrasi  yang tengah dibangun dengan saling menghina,  menjatuhkan,  fitnah,  mendongkel, apalagi saling meniadakan.

Cukup sudah bangun kepalsuan,  kebablasan, atau trik-intrik,  menghalalkan segala cara untuk menggapai kepentingan jangka pendek dan  pragmatisme  semata. Segera menyudahi semua kegaduhan dan friksi dengan mulai menancapkan sebuah  spirit solidaritas dan komitmen kolektif bangsa untuk membangun kesolidan dalam berdemokrasi dan kesolidan dalam  berindonesia.
If democracy  does  not bring justice we don’t need democracy, jika demokrasi membawa  situasi  tidak  adil,  kita  juga tak butuh apa  pun dari  demokrasi.  Akhir  kata, “…ni  Dieu ni maitre, tanpa Tuhan tanpa tuan”! Semoga.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulisa  dalah  Ketua Lembaga  Pusat Kajian Isu Strategis  (LPKIS)  Pengurus Pusat PMKRI  Sanctus  Thomas  Aquinas,  Periode  2013-2015.