Beranda Artikel Menyoal Kericuhan Advokat di Pengadilan

Menyoal Kericuhan Advokat di Pengadilan

4912
Thomas Ch. Syufi (Foto: Dokpri)

Oleh Thomas Ch. Syufi*

Kini, dunia Advokat menuai beragam tanggaapan pro-kontra dari publik, termasuk para netizen. Tanggapan masyarakat itu muncul setelah kedua advokat ternama Indonesia: Razman Arif Nasution (54) dan Hotman Paris Hutapea (65), terlibat dalam keributan di ruang sidang pengadilan Negeri Jakarta Utara, 6 Februari 2025. Diduga Razman yang bertatus sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik Hotman Paris itu tidak setuju dengan hakim yang mengadili perkaranya menggelar sidang ketiga secara tetutup lantaran materi sidang bermuatan asusila.

Atas tindakan Razman memprotes hakim di ruang sidang dan melontarkan aneka kata-kata yang dinilai kurang adab dan merendahkan marwah peradilan dan profesi hakim tersebut, akhirnya hakim menskors sidang, hingga situasi kembali kondusif barulah sidang dilanjutkan. Setelah sidang diskors, Razman pun menghampiri Hotman Paris yang belum beranjak dari kursi saksi depan meja hakim, dengan memegang bahu Hotman. Lalu, ia mengatakan sesuatu kepada Hotman dan menunjuk-nunjuk Hotman menggunakan jarinya. Performa Hotman tampak kalem. Tindakan Razman tersebut mengundang reaksi dari sejumlah orang di luar ruang persidangan, termasuk pegawai kejaksaan yang berlari masuk ke ruangan sidang untuk mencoba melerai kericuhan itu, dengan menggeser (menarik) Razman dari tempat duduk Hotman.
Atas upaya pertolongan yang dilakukan terhadap Hotman Paris itu, membuat pengacaranya Razman Nasution, Muhammad Firdaus Oiwobo (48) melakukan aksi tak terpuji di ruang sidang. Secara spontanitas Firdaus naik ke atas meja pengacara, dengan berlagak (berdalih) bahwa ia tidak menerima kliennya (Razman) yang dicekik lehernya. Atas sikap tidak patut dari Razman dan pengacaranya, Firdaus di ruanga pengadilan itu, berbuntut pada pemecatan keduanya dari oranisasi advokat, meski tidak didahului sidang kode etik. Juga pelaporan terhadap keduanya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ibrahim Palino ke Bareskrim Polri 11 Februari 2025 atas dugaan contempt of court atau penghinaan marwah atau kehormatan pengadilan. Sekaligus Berita Acara Sumpah (BAS) Razman dan Firdaus dibekukan oleh pengadilan tinggi masing-masing yang memberi sumpah kepada mereka.
Dari penggal penjelasan terkait kegaduhan di ruang sidang Pengadilan Jakarta Utara yang dilakukan oleh Razman Nasution dan Firdaus Oiwobo ini mungkin merupakan salah satu peristiwa pertama yang mengenaskan dan memalukan dalam sejarah peradilan di Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Apalagi perbuatan ini terjadi di ruang pengadilan yang sangat mulia oleh orang yang dianggap melek hukum, bahkan berstatus advokat. Kejadian paling dramatis yang merusak citra serta wibawa pengadilan, termasuk profesi advokat ini telah diliput luas oleh berbagai media cetak maupun elektronik di Tanah Air, termasuk dipublikasi oleh media asing, mulai dari di Hong Kong hingga Italia.
Ini akan menjadi memori buruk secara general yang menempel pada profesi advokat, yang dianggap sebagai “officium nobile” atau pekerjaan mulia/terhormat, yang pertama kali diperkenalkan pada zaman Romawi kuno. Secara historis, advokat berakar dari kata Latin, “advocatus”, yang dalam tradisi hukum Romawi “advocatus” mengandung empat kata sifat, yaitu companion (pendamping), helper (penolong), defender (pembela), dan advisor (penasehat). Advokat sebagai salah satu catur wangsa semestinya menjadi suri tauladan bagi profesi penegak hukum lainnya. Karena ia memiliki posisi sangat strategis dan vital dalam memperjuangkan penegakan hukum dan keadilan. Advokat merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang memiliki peranan sangat luas dalam penegakan hukum dan keadilan, yakni berperan melakukan advokasi atau pendampingan hukum di semua jenjang pemeriksaan, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga putusan pengadilan (hakim).
Dan tugas advokat tidak melulu membela kepentingan klien, tetapi peran krusial yang dimiliki advokat juga adalah menegakkan keadilan. Saking mulianya profesi advokat karena tugasnya membela semata-mata karena panggilan nurani dan rasa tanggungjawab membela orang yang lemah di hadapan penguasa dan kekuasaan yang lalim dan despotis, makanya profesi advokat yang awalya di zaman Romawi kuno disebut preator (pembela) ini amat dihargai dan dimuliakan sehingga dinamakan officium nobilium atau profesi yang mulia. Disebut profesi mulia karena advokat dalam menunaikan tugas kepengacaraannya atas dasar panggilan jiwa, bukan pekerjaan semata, apalagi menjelma menjadi profesi manipulative dan komersial.
Karena itu, penting bagi advokat untuk menegakkan etika profesi, menjaga integritas dan moralitasnya, atau setidaknya memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang mumpuni. Advokat sebisa mungkin untuk tidak menceburkan diri dalam kubangan amoralitas yang merusak reputasi advokat itu sendiri. Hingga seakan menyeret profesi termulia ini ke dalam apa yang dikekemukan oleh Cesare Baronio (1538-1607), kardinal dan sejarawan gereja berkebangsaan Italia, “Sacelum Obscurum” (zaman kegelapan/abad gelap). Di mana masalah etika dan moralitas tidak menjadi bagian (pertimbangan) penting dalam skema tata kelola pemerintahan sekular maupun religius. Zaman yang penuh dengan turbulensi, huru hara, disrupsi, dan kekacauan.
Advokat harus secara konsisten menjaga martabat dan nama baik dalam menjalankan profesinya, termasuk memproteksi keluhuran pengadilan yang menjadi pilar terakhir penegakan keadilan dan demokrasi, sebagaimana dikenal dengan dengan adagium, nec curia deficeret injustitia exhibenda, pengadilan adalah istana di mana dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma wangi akan keadilan. Setidaknya Kode Etik Advokat Indonesia memuat dua pasal tentang martabat Advokat, yakni pertama, Pasal 3 huruf f, yang memuat larangan untuk melakukan pekerjaan yang dapat merendahkan martabat Advokat. Kedua, Pasal 3 huruf h, menegaskan bahwa kewajiban mempertahankan martabat Advokat. Secara etimologis, kata martabat berasal dari bahasa Latin, “dignitatem” yang berarti harga diri, atau dalam bahasa Prancis “dignite”, yang artinya kualitas terhormat, kelayakan, dan keluhuran moral seseorang. Perihal pentingnya merawat martabat dan nama baik, Publilius Syrus, seorang penyair Latin yang hidup di tahun 85-43 SM, pernah menulis, “A good reputation is more valuable than money” (nama baik lebih bernilai daripada uang). Demikian juga sebagai advokat, wajib melindungi martabatnya dengan melakukan hal-hal baik, misalnya, menjaga nilai etika, sopan santun, kejujuran, dan berlaku adil, akan membuat hidup lebih bermakna. Juga karier pun makin cemerlang dan berumur panjang, tanpa memiliki nilai-nilai funadamental itu, segala ekspektasi menjadi sia-sia dan karier advokat pun tamat.
Karena itu, pikiran, perkataan, dan tindakan advokat harus bersih, separalel, dan tidak asmitris dalam menjalankan profesionalitasnya. Advokat sejatinya memiliki etika dan sopan santun yang tinggi serta menjunjung tinggi norma-norma yang menjadi konsensus bersama dalam situasi apa pun, termasuk berada di ruang persidangan maupun medan perang, dengan memberlakukan lawan sebagai dirinya yang lain. Namun, ia tetap konsisten dalam sikap dan perjuangannya untuk memenangkan argumentasi atau dalil-dalil hukum yang bersumber dari kebenaran sejati, tanpa terjebak dalam eforia demokrasi yang kebablasan, sebagaimana bunyi pepatah terkenal pasca-zaman klasik, fortiter in re suaviter in modo, tegas dalam prinsip, lembut (santun) dalam cara.
Tidak dapat dibenarkan, advokat dalam menjalankan profesinya secara vulgar menabrak nilai-nilai keadilan, kebenaran, etika, dan norma yang berlaku seperti yang diperlihatan oleh Razman Nasution bersama pengacaranya, Fidaus Oiwobo di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan alasan yang kurang objektif dan rasional, yaitu Razaman mendesak hakim menggelar sidang kasus asusila secara terbuka untuk umum. Padahal, hal tersebut secara eksplisit sudah diatur dalam Pasal 153 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bahwa untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdawaknya adalah anak-anak.
Pengeculian sidang terbuka untuk umum sehingga sidang dinyatakan tertutup untuk umum adalah untuk kasus-kasus dalam ranah hukum keluarga, pidana anak, kasus kesusilaan, dan kasus tertentu yang diatur dalam beberapa ketentuan. Bahkan prosedur sidang tertutup untuk umum tidak hanya berlaku di peradilan umum (pengadilan negeri), tetapi juga berlaku di peradilan militer, peradilan agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Advokat adalah seorang pembela yang mewakili orang dalam perkaranya secara bulat (atornatus fere in omnibus personan domini represestat), sehingga diharapkan advokat dalam membela hak-hak kliennya harus secara total, entah di dalam maupun luar pengadilan, tanpa harus melanggar etika, undang-undang (lege), peraturan (lex), dan hukum (iure/jure), termasuk hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat dan diakui keberadaannya (the living law), seperti hukum adat, hukum agama, dan kebiasaan.
Advokat berhak mengemukakan pendapat hukum secara bebas, termasuk terlibat dalam perdebatan terbuka dengan para pihak demi kepentingan hukum kliennya, agar terwujudnya keadilan yang berbasis pada hukum. Jika membaca sejarah profesi advokat, debat itu sudah menjadi keseluruhan profesi ini, yang berkenaan dengan frasa argue about a subject, saling mengajukan argumen yang berlawanan. Tradisi tersebut sudah lahir sejak dibukanya kelas Iuris Consulti di era Romawi kuno untuk para calon advocatus. Dengan berdebat, para calon advokat pengasah penalaran hukum yang dipelajarinya. Dan salah satu praetor (pembela/advokat) paling melegenda di era Republik Romawi tahun 340 adalah Tullius Cicero yang aktif membela hak-hak orang miskin dan tertindas yang diadili di pengadilan, agar keadilan hukum bagi para terdakwa bisa tercipta melalui due process of law (proses hukum yang semestinya/benar) dan right to a fair trial (hak atas peradilan yang jujur). Juga perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang merampas hak asasi manusia.
Keadilan sendiri tidak mengizinkan penegakan keadilan (penyelesaian) yang bertentangan dengan hukum. Artinya, keadilan dan kepastian hukum harus jalan beriringan sebagai komplementer. Apalagi Indonesia merupakan cicit kandung dari hukum Romawi, yang menjunjungi tinggi peraturan tertulis (lex scripta) dan menganut sistem hierarki hukum, maka advokat tidak diperkenaankan melihat hukum dengan kacamata kuda, pandangan sempit, dan egoistik. Tetapi advokat harus condongkan semua indranya pada positivisme hukum sebagai pedoman berbangsa dan bernegara.
Karena itu, bila advokat, termasuk Razman Nasution (terdakwa) bersama pengacanya, Firadus Oiwobo merasa terjadi kejanggalan atau proses peradilan yang mengabaikan prinsip keadilan, kepastian, kemanfaatkan hukum, kejujuran, tranparansi, dan pelanggaran terhadap hak sasi manusia, bisa melaporkan hal tersebut melalui kanal resmi yang telah tersedia secara internal maupun eksternal. Misalnya, menyampaikan kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), berdasarkan bukti-bukti yang akurat, relevan, dan admissible, baik melalui informasi yang diperoleh maupun isi putusan hakim yang tidak sesuai dengan hukum.
Selain itu, bisa melakukan upaya hukum sebagai koreksi atas putusan pengadilan negeri yang dianggap tidak fair, dengan cara naik banding ke pengadilan tinggi, bukan “naik meja” di ruang pengadilan. Dan tindakan naik menja di pengadilan bukanlah cara yang tepat dan cerdas bagi seorang advokat untuk penyelesaikan suatu persoalan hukum. Tetapi itu hanya membuat keriuhan—yang dapat menggerus wibawa pengadilan dan menodai nama baik profesi advokat secara individu maupun asosiasi. “Errare humanum est, turpe in errore perseverare” (membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan)! Liberte.

*) Penulis adalah Advokat dan Pegiat Hukum Tata Negara (HTN) tinggal di Kota Jayapura, Papua.