Beranda Birokrasi Munir dan Politik Pemerintahan

Munir dan Politik Pemerintahan

1323
orasi-okp-pmkri-pusat-indonesia
Thomas Ch Syufi (Dok.Pribadi)

Oleh : Thomas CH Syufi

Tampak  pemerintah Indonesia  belum memiliki komitmen kuat untuk menuntaskan  kasus  kematian aktivis hak asasi manusia Munir  Said  Thalib.  Bila terus  diabaikan,  kasus Munir  akan  menjadi  noktah  hitam yang   ikut  mencoreng  jubah  putih  Indonesia  sebagai  negara  hukum dan  demokrasi yang menjunjung  tinggi nil-nilai kemanusiaan universal.

Raibnya  arsip  Tim Pencari  Fakta (TPF) kematian  Cak  Munir—begitu  disapa,  di Kementerian  Sekretariat  Negara (Kemensetneg) RI,  menjadi pukulan  keras untuk lembaga (kemeneterian) yang  berada di  ring  satu  lingkaran Istana Negara.

Ataukah  arsip  investigasi  TPF Munir Said Thalib (1964-2004), sengaja  dihilangan  pada  pemerintahan  sebelumnya,  Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),   kurun  2004-2014.Karena  SBY   merasa, bila kasus Munir diungkap secara terang-benderang,  maka  sejumlah pejabat tinggi  negara di lingkarannya pun akan tesangkut. Dan  itu  sangat  berbahaya  bagi  kesenyapan dan kemewahan  pemerintahannya yang sedang dibangun  kala  itu.

Apa   ceritanya,  kini  kasus Munir  yang tempo  11 tahunsengaja  dikunci rapat-rapat, kembali disibak  oleh  berbagai kalangan masyarakatdi  Indonesia, terutama  para  pegiat   HAM,  dengan  sokongan  media  massa.

Beredar kabar hilangnya  dokumen  investigasi  TPF  Munir mejadi susuatu yang sulit dibendung, kini  jadi  isu  seksi. Akibat kehilangan dokumen  itu, seperti membawa Indonesia  terperosok  ke  lembah state  power  embroglio (kerancuan dan  kelemahan  kekuasaan  negara), yang  menyebabkan  kinerja lembaga-lembaga negara  tidak  efektif,  di antaranya,  Kemensetneg.

“Dokumen investigasi  TPF  Munir sudah diserahkan  langsung ke Presiden SBY sejak  tahun 2005,” kata  Sudi  Silalahi, mantan  Sekretaris Kabinet,  kepada  sejumlah media.  Memang agak  sulit untuk  mencari, menemukan, dan  menikmati sinar   keadilan di Indonesia. Apalagi hukum  telah  berkelindan  dengan   politik, kondisi  akan makin  parah, dan  keadilan  begitu   menjadi  barang mahal di negeri  berpenduduklebih dari   230  orang  ini.

Benar juga kata orang,  dengan melihat kondisi penegakan hukum di Indonesiayang carut-marut  dan  diskriminatif, disarankan  para penegak hukum, seperti hakim, jaksa, dan  Polri sebaiknya berumah di atas angin,  agar  terhindar  dari  cipratan  dan  limbah  politik.

Ternyata lembaga kepresidenan yang  sebesar  itu   masihsajaterjadi praktik kearsipan yang tidakprofesional. Mungkin sebagian dari  kita telah mengetahui  kata Karl Emil Maximilian Weber (1864-1920), ahli ekonomi politik dan  sosiolog dari Jerman, “Pemerintahan yang baik—adalah  yang didukung—oleh  administrasi  yang baik pula”.

Bagaimana  mungkin  mau menuntaskan berbagai persoalan yang datang pergi, silih berganti di negara ini, kalau kearsipan dalam rumah tangga (kepresidenan)  saja  belum bisa diurus  dengan  baik?  Ini menjadi momentum koreksi untuk  semua lembaga-lembaga setingkat kepresidenan. Karena, proses administrasi yang baik merupakan salah satu indikator  utama  dari kualitas suatu bangsa.

Apa pun alasannya, kasus Munir kini menguak ke permukaan, dan  menjadi  sorotan masyarakat nasional, termasuk  komunitas internasional. Presiden Jokowi harus berhat-hati  dalam perjalanannya! Boleh saja, pekan  kemarin,  Jokowi, pejabat resmi negara, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan  mendatangi  Prabowo Subianto (Ketua  Umum  Partai  Gerindra),   dan  berkuda  bersama di  halaman rumah pribadi Prabowo,  di Bogor, Jawa Barat. Asalkan  Jokowitak  lupa  dengan kasus  Munir.

Tentu,  kedua tokoh nasional itu bicara banyak hal: soal kondisi  aktual  bangsa, seperti  masalah  ekonomi, politik, hukum, dan pemerintahan. Selain  itu, Presiden Jokowi  yang merupakan orang baru dalam kancah politik (bukan politisi karier, dari aktivis-presiden), ia  sangat  ketakutan  terhadap  bayang-bayang  gerbong Koalisi Indonesia  Hebat (KIH)  yang  dimotori  Prabowo, dengan  beberapapartai  koalisi, yaitu  Gerindra, Golkar,  PAN,  PPP,  dan lain-lain,yang sudah di ambang kehacuran.

Karena  Golkar dan  Partai  Amanat  Nasional (PAN),  yang  merupakan  sekutu  dekat  Gerindra  telah  masuk dalam  ketiak  penguasa. Merekamasuk  menikmati kue kekuasaan yang  telah  disediakan  oleh Presiden  Jokowidi  meja makan bernama  “Kabinet  Kerja”.  Berikut,  Jokowi  merasa  ketakutan  ketika dalam pemerintahannya,  ia  mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kurang populis atau  tak   segaris  dengan   kehendak   politik   kelompok  KIH,  ia bakal digulung  gelombang  politik di parlemen (DPR).

Jadi, Jokowi  akan  habiskan waktu lima tahun  pemerintahannya untuk membangun kemesraan  dan  kawan  setia dengan para pemilik  pohon politik di negeri ini. Namun, Jokowi   belum  tahu,  bahwa  konstelasi politik dalam negeri  biasanyasangat  dipengaruhi atmosfir politik dari luar negeri.

Bagaimana kalau  kasus Munir yang kini menjadi bola liar yang terus bergelinding ke mana-mana,  sejagad, harus   segeradibereskan oleh Jokowi. Memang ketidakjelasan  arsip   TPF Munir ditangan  Presiden  SBY,  akan  tetapi,  kenyataan  hari ini Jokowi-lah yang   presiden.

Karena itu, Jokowi sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, tidak perlu mempersoalkan kesalahan rezim atau pemerintahan  sebelumnya, SBY. Tetapi, sebaiknya, Jokowi  menjadikan  itu sebagai  persoalan bersama (atau  rakyat)  dengan  segera  mengajak Presiden RI ke-6  itu,  untuk  bicara.

Diharapkan, kedua tokoh   nasional itu  selesai  bicara, segera mencari jalan keluar, bukan  saling menunggu apalagi saling menyalahkan. Juga  yang menjadi  harapan  kita semua adalah…”fiat  justitia ruat  caelum,  hendaklah  keadilan  ditegakkan,  walaupun  langit  akan  runtuh”.

Resonansi kegetiran rasa perasaan rakyat Indonesia akibat kematian Cak Munir  tak bisa diabaikan. Munir mati  keracunan di atas pesawat,  ketika  terbang dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda, untuk  melanjutkan kuliah S-2  hukum, di  Negeri Kincir Angin itu.

Guntur  ketidakadilan penegakan hukum atas kematian Munir telah terdengar di mana-mana,  termasuk  masyarakat internasional. Bahkan, di Belanda  pada  14  April  2015,  diabadikan (atau  diresmikan)  nama  Munir  di  salah  satu  nama  jalan  umum  di  negeri  yang  pernah selama  350  tahun  menjadi boss-Indonesia  itu oleh Walikota  Den  Haag,  Joziaas van Aartsen.

Pemberian  nama  tersebutsebagai  bentuk  penghormatan kepada seorang pejuang kemanusiaan dariIndonesia  yang dibunuh oleh tangan-tangan gelap  yang  tidak  bertanggung  jawab. Sekaligus  sebagai wujud dukungan  pemerintah  Belanda  untuk  segera  dituntaskan  kasus  Munir. Sorotan  internasional  ini  akansangat buruk, menjadi centang-perenang   bagi Indonesia  untuk  berkiprah  di panggung dunia ke depan.

Maka, satu jalan terbaik bagi  pemerintah Indonesia melalui Presiden Jokowi harus memelopori sebuah badan atau menunjuk salah satu “kementerian  khusus”  untuk mengurus  kasus  Munir. Hal ini  sebagai tindakan cerdas  dan  maju untuk memberi  kemudahan pada langkah diplomasi Indonesia selanjutnya.

Bila tidak, Jokowi  akan menuai  kritikan  tajam,  sekaligus  digulung  habis-habisan  oleh isu  internasionalisasi  kasus Munir. Ketika tanggul kekuasaan  Jokowi jebol,  sangatlah  parah. Banjiran air kepentingan akan mengalirmasuk, sekaligus memporak-porandakan  kemolekan dan kecantikan republik kita, Indonesia.

Selain  itu,  berembusnya  kasus  Munir  ke  berbagai  penjuru negeri dan  komunitas internasional akan  mebuat  popularitas  Jokowi  makin  hancur  pada  Pemilu  Presiden  2019.  Dan,  bila itu  anak  pengusaha  meubel   dari Surakarta, Jawa Tengah, juga mantan Wali Kota Solo  itu  masih ingin melenggang  kembali ke kursi RI  Satu,  untuk  menikmati  kebun mawar  kekuasaan pada  periode  kedua.  Juga sekaligus  melanjutkan  bangunan  masjid atau  katedral  yang ia telah letakkan dasar  pada  periode  pertama permerintahannya (2014-2019).

Apakah  2019, Jokowi  masih  hitung  arah  angin  politik  Indonesia?  Ataukah  ia  ingin  meninggalkan konglomerat kita dari  tanah Sulawesi Selatan,   Daeng Jusuf Kalla, dan ingin mengajak  Mas Prabowo, yang cerdas, energik, dan  tegas untuk bersamanya”Satu Sekoci” pada tahun 2019-2024.Biarlah waktu dan  sejarahlah yang membenarkan semua  itu.

“Membiarkan  kebenaran sejarah masa  lalu berbicara, kerap  dianggap membahayakan  persatuan dan  menghambat masa depan sistem politik yang lebih demokratis. Namun,  pengakuan kebenaran sejarah masa lalu lebih dipersulit lagi ketika para pelaku kejahatan masih mengendalikan kekuasaan” (Otto Gusti :2015).

Oleh  sebab  itu, proses apologi  terkait  kasusMunir harus dipercepat. Karena   untuk membangun masa depan  yang  lebih  baik, masa sekarang harus berdamai dengan masa lalu. Dan, impian besar  akan  tercapainya  Indonesia  yang  lebih adil, damai, demokratis, bermartabat, dan  sejahtera adalah  Indonesia yang  berjalan  tanpa  beban masa lalu,  tanpa  diinterupsi  bayang-bayang sejarah masa lalu.

Mengutip Oscar Wills  Wilde (1854-1900), penulis, penyair, dan dramawan  Irlandia, “Pukullah aku dengan  kebenaran, tetapi  jangan siksa aku dengan  kebohongan”. Salam  sukses  untuk  Presiden Joko Widodo!Semoga.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

*). Penulis  adalah  Ketua Lembaga  Pusat  Kajian Isu  Strategis (LPKIS) Pengurus  Pusat PMKRI  Sanctus Thomas  Aquinas, Periode  2013-2015.