Oleh : Thomas CH Syufi
Tampak pemerintah Indonesia belum memiliki komitmen kuat untuk menuntaskan kasus kematian aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Bila terus diabaikan, kasus Munir akan menjadi noktah hitam yang ikut mencoreng jubah putih Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi yang menjunjung tinggi nil-nilai kemanusiaan universal.
Raibnya arsip Tim Pencari Fakta (TPF) kematian Cak Munir—begitu disapa, di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) RI, menjadi pukulan keras untuk lembaga (kemeneterian) yang berada di ring satu lingkaran Istana Negara.
Ataukah arsip investigasi TPF Munir Said Thalib (1964-2004), sengaja dihilangan pada pemerintahan sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kurun 2004-2014.Karena SBY merasa, bila kasus Munir diungkap secara terang-benderang, maka sejumlah pejabat tinggi negara di lingkarannya pun akan tesangkut. Dan itu sangat berbahaya bagi kesenyapan dan kemewahan pemerintahannya yang sedang dibangun kala itu.
Apa ceritanya, kini kasus Munir yang tempo 11 tahunsengaja dikunci rapat-rapat, kembali disibak oleh berbagai kalangan masyarakatdi Indonesia, terutama para pegiat HAM, dengan sokongan media massa.
Beredar kabar hilangnya dokumen investigasi TPF Munir mejadi susuatu yang sulit dibendung, kini jadi isu seksi. Akibat kehilangan dokumen itu, seperti membawa Indonesia terperosok ke lembah state power embroglio (kerancuan dan kelemahan kekuasaan negara), yang menyebabkan kinerja lembaga-lembaga negara tidak efektif, di antaranya, Kemensetneg.
“Dokumen investigasi TPF Munir sudah diserahkan langsung ke Presiden SBY sejak tahun 2005,” kata Sudi Silalahi, mantan Sekretaris Kabinet, kepada sejumlah media. Memang agak sulit untuk mencari, menemukan, dan menikmati sinar keadilan di Indonesia. Apalagi hukum telah berkelindan dengan politik, kondisi akan makin parah, dan keadilan begitu menjadi barang mahal di negeri berpenduduklebih dari 230 orang ini.
Benar juga kata orang, dengan melihat kondisi penegakan hukum di Indonesiayang carut-marut dan diskriminatif, disarankan para penegak hukum, seperti hakim, jaksa, dan Polri sebaiknya berumah di atas angin, agar terhindar dari cipratan dan limbah politik.
Ternyata lembaga kepresidenan yang sebesar itu masihsajaterjadi praktik kearsipan yang tidakprofesional. Mungkin sebagian dari kita telah mengetahui kata Karl Emil Maximilian Weber (1864-1920), ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman, “Pemerintahan yang baik—adalah yang didukung—oleh administrasi yang baik pula”.
Bagaimana mungkin mau menuntaskan berbagai persoalan yang datang pergi, silih berganti di negara ini, kalau kearsipan dalam rumah tangga (kepresidenan) saja belum bisa diurus dengan baik? Ini menjadi momentum koreksi untuk semua lembaga-lembaga setingkat kepresidenan. Karena, proses administrasi yang baik merupakan salah satu indikator utama dari kualitas suatu bangsa.
Apa pun alasannya, kasus Munir kini menguak ke permukaan, dan menjadi sorotan masyarakat nasional, termasuk komunitas internasional. Presiden Jokowi harus berhat-hati dalam perjalanannya! Boleh saja, pekan kemarin, Jokowi, pejabat resmi negara, kepala negara sekaligus kepala pemerintahan mendatangi Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra), dan berkuda bersama di halaman rumah pribadi Prabowo, di Bogor, Jawa Barat. Asalkan Jokowitak lupa dengan kasus Munir.
Tentu, kedua tokoh nasional itu bicara banyak hal: soal kondisi aktual bangsa, seperti masalah ekonomi, politik, hukum, dan pemerintahan. Selain itu, Presiden Jokowi yang merupakan orang baru dalam kancah politik (bukan politisi karier, dari aktivis-presiden), ia sangat ketakutan terhadap bayang-bayang gerbong Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dimotori Prabowo, dengan beberapapartai koalisi, yaitu Gerindra, Golkar, PAN, PPP, dan lain-lain,yang sudah di ambang kehacuran.
Karena Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN), yang merupakan sekutu dekat Gerindra telah masuk dalam ketiak penguasa. Merekamasuk menikmati kue kekuasaan yang telah disediakan oleh Presiden Jokowidi meja makan bernama “Kabinet Kerja”. Berikut, Jokowi merasa ketakutan ketika dalam pemerintahannya, ia mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kurang populis atau tak segaris dengan kehendak politik kelompok KIH, ia bakal digulung gelombang politik di parlemen (DPR).
Jadi, Jokowi akan habiskan waktu lima tahun pemerintahannya untuk membangun kemesraan dan kawan setia dengan para pemilik pohon politik di negeri ini. Namun, Jokowi belum tahu, bahwa konstelasi politik dalam negeri biasanyasangat dipengaruhi atmosfir politik dari luar negeri.
Bagaimana kalau kasus Munir yang kini menjadi bola liar yang terus bergelinding ke mana-mana, sejagad, harus segeradibereskan oleh Jokowi. Memang ketidakjelasan arsip TPF Munir ditangan Presiden SBY, akan tetapi, kenyataan hari ini Jokowi-lah yang presiden.
Karena itu, Jokowi sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, tidak perlu mempersoalkan kesalahan rezim atau pemerintahan sebelumnya, SBY. Tetapi, sebaiknya, Jokowi menjadikan itu sebagai persoalan bersama (atau rakyat) dengan segera mengajak Presiden RI ke-6 itu, untuk bicara.
Diharapkan, kedua tokoh nasional itu selesai bicara, segera mencari jalan keluar, bukan saling menunggu apalagi saling menyalahkan. Juga yang menjadi harapan kita semua adalah…”fiat justitia ruat caelum, hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh”.
Resonansi kegetiran rasa perasaan rakyat Indonesia akibat kematian Cak Munir tak bisa diabaikan. Munir mati keracunan di atas pesawat, ketika terbang dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda, untuk melanjutkan kuliah S-2 hukum, di Negeri Kincir Angin itu.
Guntur ketidakadilan penegakan hukum atas kematian Munir telah terdengar di mana-mana, termasuk masyarakat internasional. Bahkan, di Belanda pada 14 April 2015, diabadikan (atau diresmikan) nama Munir di salah satu nama jalan umum di negeri yang pernah selama 350 tahun menjadi boss-Indonesia itu oleh Walikota Den Haag, Joziaas van Aartsen.
Pemberian nama tersebutsebagai bentuk penghormatan kepada seorang pejuang kemanusiaan dariIndonesia yang dibunuh oleh tangan-tangan gelap yang tidak bertanggung jawab. Sekaligus sebagai wujud dukungan pemerintah Belanda untuk segera dituntaskan kasus Munir. Sorotan internasional ini akansangat buruk, menjadi centang-perenang bagi Indonesia untuk berkiprah di panggung dunia ke depan.
Maka, satu jalan terbaik bagi pemerintah Indonesia melalui Presiden Jokowi harus memelopori sebuah badan atau menunjuk salah satu “kementerian khusus” untuk mengurus kasus Munir. Hal ini sebagai tindakan cerdas dan maju untuk memberi kemudahan pada langkah diplomasi Indonesia selanjutnya.
Bila tidak, Jokowi akan menuai kritikan tajam, sekaligus digulung habis-habisan oleh isu internasionalisasi kasus Munir. Ketika tanggul kekuasaan Jokowi jebol, sangatlah parah. Banjiran air kepentingan akan mengalirmasuk, sekaligus memporak-porandakan kemolekan dan kecantikan republik kita, Indonesia.
Selain itu, berembusnya kasus Munir ke berbagai penjuru negeri dan komunitas internasional akan mebuat popularitas Jokowi makin hancur pada Pemilu Presiden 2019. Dan, bila itu anak pengusaha meubel dari Surakarta, Jawa Tengah, juga mantan Wali Kota Solo itu masih ingin melenggang kembali ke kursi RI Satu, untuk menikmati kebun mawar kekuasaan pada periode kedua. Juga sekaligus melanjutkan bangunan masjid atau katedral yang ia telah letakkan dasar pada periode pertama permerintahannya (2014-2019).
Apakah 2019, Jokowi masih hitung arah angin politik Indonesia? Ataukah ia ingin meninggalkan konglomerat kita dari tanah Sulawesi Selatan, Daeng Jusuf Kalla, dan ingin mengajak Mas Prabowo, yang cerdas, energik, dan tegas untuk bersamanya”Satu Sekoci” pada tahun 2019-2024.Biarlah waktu dan sejarahlah yang membenarkan semua itu.
“Membiarkan kebenaran sejarah masa lalu berbicara, kerap dianggap membahayakan persatuan dan menghambat masa depan sistem politik yang lebih demokratis. Namun, pengakuan kebenaran sejarah masa lalu lebih dipersulit lagi ketika para pelaku kejahatan masih mengendalikan kekuasaan” (Otto Gusti :2015).
Oleh sebab itu, proses apologi terkait kasusMunir harus dipercepat. Karena untuk membangun masa depan yang lebih baik, masa sekarang harus berdamai dengan masa lalu. Dan, impian besar akan tercapainya Indonesia yang lebih adil, damai, demokratis, bermartabat, dan sejahtera adalah Indonesia yang berjalan tanpa beban masa lalu, tanpa diinterupsi bayang-bayang sejarah masa lalu.
Mengutip Oscar Wills Wilde (1854-1900), penulis, penyair, dan dramawan Irlandia, “Pukullah aku dengan kebenaran, tetapi jangan siksa aku dengan kebohongan”. Salam sukses untuk Presiden Joko Widodo!Semoga.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis (LPKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, Periode 2013-2015.