Beranda News Nasib 85 Guru Non Sarjana di Dogiyai Berada di Ujung Tanduk

Nasib 85 Guru Non Sarjana di Dogiyai Berada di Ujung Tanduk

1208
Dokumen Guru (Foto: Yustinus Agapa)

 

Oleh Felix Degei*

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi pada supremasi hukum. Banyak aturan telah dibuat oleh negara dan daerah untuk menjamin asas peradilan, ketertiban dan perdamaian negara. Namun seringkali aturan yang dibuat berbenturan dengan kondisi dan tingkat kesulitan daerah. Sebagai contoh pada penerapan Undang-Undang tentang semua guru wajib berijazah sarjana.

Seorang guru dan dosen mesti profesional dalam mengembang tugas dan tanggung jawabnya. Hal tersebut adalah Amanat UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Pasal 39 (2) Tahun 2003. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.

Kini ada aturan turunan baru guna menjamin profesionalitas guru. Menurut UU Nomor 14 Pasal 9 Tahun 2005 seluruh guru harus berijazah S-1 sekaligus bersertifikat pendidik. Pasal tersebut berbunyi β€œkualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”. Untuk itu setiap guru diwajibkan mengikuti program pendidikan minimal Sarjana dan atau Diploma Empat.

Untuk penerapan dari UU tersebut diatur pada Bab V (Ketentuan Penutup) Pasal 82 Ayat 2. Ketentuan tersebut berbunyi:

β€œGuru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat, pendidik sebagaimana dimaksud pada UU ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya UU ini.”

Mengacu pada aturan tersebut maka Tahun 2015 adalah batas akhir setiap guru sudah harus berijazah S-1. Sebagai tindak lanjut penertiban atas aturan tersebut pada pertengahan Bulan Juli lalu Pemerintah Daerah di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara telah memberhentikan 1.695 guru non sarjana (Medcom, id., 26 Juli 2019). Mereka diberhentikan karena hanya memiliki Ijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Diploma II bahkan ada juga yang berijazah SMA dan SMK sederajat.

Namun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun tidak tinggal diam dengan konsisi tersebut. Mereka mengangkat 1.600 guru honorer sebagai pengganti para guru yang telah dipecat agar KBM tetap berjalan. Pemda juga telah memberikan dispensasi kepada para guru yang diberhentikan. Para guru yang belum memasuki usia 58 tahun masih diberikan kesempatan merampungkan kewajiban kuliahnya. Guru yang sedang menjalani sarjana (S1) akan diberi keringanan sampai menyelesaikan kuliahnya.

Lalu Bagaimana dengan Nasib Guru di Kabupaten Dogiyai?

Β Berdasarkan data yang dihimpun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Dogiyai sebanyak 85 guru aktif terpaksa harus pensiun dini pada tahun 2020. Ada 15 guru yang saat ini sedang menjabat sebagai kepala sekolah dari total 85 guru. Mereka kebanyakan tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Guru Olahraga (SGO), Pendidikan Guru Agama Katolik (PGAK) dan Diploma II sederajat.

Tepat pada Hari Senin (29/08/2019) gabungan PGRI Kabupaten Dogiyai telah melaksanakan demonstrasi ke Kantor DPR D. Demonstrasi tersebut bertujuan untuk menuntut Pemda agar meninjau kembali nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) yang dulu pernah dibuat dengan Universitas Negeri Manado (UNIMA). Mereka berharap agar Angkatan Ke-3 kerjasama Pemda Dogiyai dengan UNIMA dilanjutkan supaya para guru yang terbentur dengan regulasi baru tersebut selamat.

Pemda Dogiyai juga mesti segera menempuh alternatif lain untuk meminimalisir potensi masalah krisis tenaga pendidik atau guru. Misalnya Pemda melakukan kerjasama dengan FKIP Universitas Cenderawasih agar para alumninya datang mengabdi di Dogiyai. Selain para guru lama diberikan kesempatan untuk mengambil Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Pemda juga bisa merekrut ataupun memberdayakan para guru pensiunan jadi guru honorer dengan Dana APBD agar mata rantai pendidikan di daerah tersebut tidak putus hingga fakum.

Fakta telah membuktikan jika para guru lama memiliki semangat dan etos kerja yang sangat tinggi. Mereka tidak ambil pusing dengan jatah beras yang sering dikirim lama berbulan-bulan hingga makan tahun. Mereka juga tidak peduli dengan gaji yang jumlahnya terbilang kecil jika dikonversikan dengan biaya hidup di pedalaman. Sudah gaji kecil kadang dikirim lambat berhubung akses transportasi dari kota ke pedalaman. Sementara di sekolah mereka harus mengajar merangkap untuk beberapa pelajaran juga kelas berbeda.

Kita jangan kehilangan para guru yang memiliki hati untuk pendidikan di Dogiyai. Mereka para pemegang obor dan pelita bagi kemasyalatan bangsa. Mereka para patriot bangsa yang senantiasa melawan kedunguan berpikir dan bernalar. Mereka dikenal pahlawan tanpa tanda jasa. Namun karya mereka akan selalu dikenang oleh setiap anak didiknya.

β€œSebuah negara tidak akan tumbuh besar, jika guru di negara tersebut tidak tumbuh besar. Sebuah negara tidak akan sejahtera, jika guru mereka tidak sejahtera. kehebatan sebuah negara tergantung kehebatan guru mereka”. Anonim.

*Penulis adalah pegiat Masalah Pendidikan khusus Orang Asli (Indigenous Education) tinggal di Nabire Provinsi Papua.